Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Indahnya Mencintai

7 November 2020   08:03 Diperbarui: 7 November 2020   08:11 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan semalam menyisakan bintik-bintik air yang menempel di kelopak bunga mawar merah gelap, membuatnya ingin segera melukisnya. Hm....bau tanah basah disertai sinar mentari pagi  tiba-tiba menyentuh wajahnya. Angin pagi pun tak kalah gesit datang untuk turut memanjakannya pula dengan hembusan yang hilang timbul. Sesekali ia datang menggoyangkan ranting-ranting dan dedaunan, merontokkan daun-daun kering dan beberapa helai kelopak mawar yang juga telah gering.

Kupu-kupu dan capung serta kumbang pun melintas-lintas di taman kecilnya pagi itu. Mentari masih belum menebar panasnya, kendati sinarnya sudah memancar ke segala arah, mulai mengeringkan sisa embun semalam yang menempel di rerumputan. Walaupun demikian, ia belum beranjak dari kursi kecil di taman itu.

"Kamu selalu menikmati kesendirian. Tidak inginkah Kamu tersentuh cinta?" tanya ibunya mendekatinya sambil meletakkan sepiring kecil ketan putih hangat yang di atasnya ditaburi kukuran kelapa muda dan kedelai tumbuk diberi bumbu pedas.

"Ingin, tapi tidak mudah,"jawabnya sambil mengusap keringat di dahinya, bekas lari pagi yang dilakukannya sebelum duduk di taman mungilnya. Taman  yang bersebelahan dengan carportnya.

"Bagiku, lebih baik dicintai. Tidak ribet. Ayahmu selamanya mencintai aku kan? Ia yang berjuang mengejarku. Lelaki itu jika cinta, ke ujung dunia pun diburu," kata ibunya sambil menyeruput teh hangat dari cangkir yang diletakkan di sebelah nampan berisi ketan.

"Tapi bisa mencintai juga menghadirkan sensasi tak kalah indah, Bu,"sanggahnya sambil ikut menyeruput teh dari cangkir di sebelah cangkir ibunya yang telah kosong.

"Mencintai itu,"ia berhenti sesaat. Matanya menatap seekor kupu-kupu bersayap biru yang mendekati setangkai mawar kuning. Angin kembali berhembus lalu menghilang, membuat keduanya tampak berayun-ayun sesaat diterpa hembusannya.

"Mencintai itu memacu semangat hidup. Kata psikolog, ketika kita mencintai secara ikhlas semata memberikan kasih sayang, hormon oksitosin menjadi aktif lho. Itu bagus untuk kesehatan fisik dan mental,"jawabnya,"Ibu ingat kan, ada seorang wanita yang sudah berhenti menstruasi empat tahun, begitu ia jatuh cinta secara tulus ikhlas semata berbagi kasih sayang, ia pun menstruasi kembali,"ceritanya dengan wajah berbinar-binar.

"Tapi hati-hati. Apa pun judulnya, cara mencintainya pun harus wajar. Cinta jangan dibiarkan meluber berlebihan.  Apalagi cinta yang sudah ditunggangi obsesi untuk memiliki.  Yang muncul bukan hormon awet muda tapi  adrenalin dan hormon kortisol membludak. Stress jadinya,"sanggah ibunya.

Ia terdiam mendengar sanggahan ibunya. Melihatnya terdiam, ibunya melanjutkan dengan pertanyaan,

"Kamu dulu pernah merasa mencintai dengan tulus, katamu. Tapi, akhirnya saat kecewa sempat stress juga kan?"

"Aku terjebak pada obsesi juga akhirnya,"ceritanya sambil tangannya meraih piring kecil berisi ketan,"Ibu membeli di mana ini? ketannya pulen banget."

"Di warung depan saat jalan-jalan pagi tadi. Minggu pagi, banyak orang berjalan-jalan, banyak pula orang berjualan."

"Sebagai anak sulung, tuntutanku dua,"sekali lagi ia menghapus keringat di pelipisnya yang baru saja dihangati sinar matahari.

"Pertama tuntutan ekonomi, kedua tuntutan perhatian. Aku sudah berusaha untuk memenuhi sendiri semuanya. Begitu bekerja, aku bisa memenuhi tuntutan ekonomi, tapi tidak untuk perhatian."

"Kamu merasa jatuh cinta karena perhatiannya?"

"Iya. Tapi aku salah sangka. Seharusnya cinta itu kunikmati saja, tanpa harus merasa obsesif dengan mengatakan kepadanya, toh ia lelaki. Jika ia juga cinta, pasti akan memburuku suatu saat. Jika tidak, biarlah rasa itu hilang dengan sendirinya,"ia menghela napas sesaat sebelum melanjutkan ceritanya,

"Aku seharusnya hanya memanfaatkan energi cinta yang kurasakan sebagai penyemangat hidupku, bukan terjebak pada obsesi untuk memilikinya. Aku iseng mengatakan kepadanya bahwa aku mencintainya. Fatal akibatnya. Ia mengatakan perhatiannya kepadaku dulu itu sekadar teman. Ia pun berterus terang sudah punya pasangan."

"Kamu sakit hati?" tanya ibunya memperhatikan ekspresi wajahnya.

Ia menggeleng.

"Bukankah cinta itu selamanya indah? Jatuh cinta tidak mudah. Maka, saat sanggup merasakannya, nikmatilah. Itu saja yang kurasakan.

"Tapi Kamu sempat terlihat stress gitu. Dua bulan kulihat Kamu murung,"goda ibunya.

"Itu karena aku dipermalukan,"kilahnya.

"Dipermalukan bagaimana?"

"Saat ia mengatakan sudah punya pasangan sih tidak ada masalah bagiku. Toh, kecewa akibat penolakan itu pun bisa membuatku semangat  berjuang untuk esok yang  lebih baik."

"Lalu apa yang membuatmu syok?"

"Ia cerita-cerita kepada temannya."

"Wah, gawat. Tapi itu haknya walaupun sikap yang tidak empatik."

"Setelah itu, pacarnya pun menggunakan fotonya untuk profil, mungkin untuk mempertegas agar aku sadar diri. Berlanjut dengan si pria pun memasang foto profil mereka berdua. Momen saat ia mencium pipi pacarnya."

"Itu momen indah. Mungkin bisikan ajakan menikah."jawab ibunya.

"Makanya, mencintai itu mengerikan bagiku. Lebih nikmat dicintai."lanjutnya.

"Bukan,"sanggahnya,"Mencintai itu selamanya indah, asal...

"Yang dicintai bisa bersikap empatik. Apa sih ruginya merahasiakan? Atau jika ia ingin aku segera sadar diri tapi nggak tega berterus terang, kan bisa langsung memasang foto profil tengah berdua dengan pasangan cantiknya itu. Nggak usah cerita-cerita ke orang lain jika aku mencintainya. Simpel kan?"

"Itu kan maumu. Barangkali ia ingin pamer bahwa ia dicintai wanita lain tapi ia bisa setia pada pasangannya?"

"Mungkin. Tapi untuk apa pamer segala?"

"Bagi sebagian orang, pamer juga memberikan kepuasan kan?" kilah ibunya beranjak dari kursi setelah merasakan sang mentari dalam mengajak bergurau sudah berlebihan, tidak lagi menghangatkan tapi mencampurnya  dengan sedikit panas.

"Sudah pukul 09.30. Ayo masuk,"ajak ibunya.

"Selamanya bagiku lebih baik dicintai daripada mencintai,"tegas ibunya benar-benar beranjak memasuki rumahnya.

Ia pun masih duduk di taman. Tubuhnya tersentuh mentari tapi wajahnya tertutupi daun-daun jambu air yang buahnya mulai bertumbuhan.

Mencintai dan dicintai, memang ada kelebihan dan kekurangannya. Ia teringat bacaan yang diperolehnya dari majalah beberapa tahun yang lalu. Yang paling indah memang bisa mencintai dan dicintai, karena keduanya bisa saling memberi dan menerima. Apabila keduanya tidak memungkinkan? Lebih indah mana mencintai atau dicintai?

"Mencintai bisa menjadikan diri rendah hati dan dalam situasi tertentu bahkan bisa menyemangati diri menjadi lebih baik,"komentar seorang temannya tentang cinta,"Daripada hanya menuntut dicintai, jika kita tak kunjung sanggup membalas mencintai si pencinta kan fatal akibatnya, misalnya menduakan. Itu sama saja dengan mempermalukan juga, kan? Selain itu, dicintai saja bisa membuat kita menjadi arogan."

"Tapi mencintai juga ada kelemahannya lho,"sahut  temannya yang lain lagi,"Bagaimana jika malah dimanfaatkan?"

"Misalnya lelaki yang Kaucintai itu. Yang akhirnya pamer di media sosial telah memiliki pasangan dengan cara mencium pipi pasangannya. Jika kepada teman pun ia bercerita, tentu kepada pasangannya pun ia bercerita kan?"

"Lalu?" tanyanya menatap wajah temannya yang telah banyak makan asam garam dalam masalah percintaan.

"Bagaimana jika keduanya sekongkol memorot Kamu? Akting pura-pura putus agar Kamu menghubungi lagi, kemudian si lelaki pun dengan leluasa mengeluh bahwa era pandemi ini ia kekurangan uang. Kamu pun dengan mudahnya memberikan pinjaman dengan dalih toh pernah cinta."

"Lalu?"

"Lalu, nyaman deh si cewek yang pernah dicium pipinya dan dipamerkan di media sosial itu, karena akan ditaburi dengan uang darimu. Lalu dengan bangganya keduanya bercerita ke sana kemari telah berhasil memorotimu. Nggak tahu malu deh Kamu jika rela dipermalukan kedua kalinya oleh mereka. Hehehe."

Mereka pun tertawa.

"Jadi, lebih enak mana, mencintai atau dicintai?"

"Seharusnya dua-duanya deh. Aku lebih rela menjanda sampai mati daripada tidak bisa menemukan seseorang yang bisa membuatku mencintai dan dicintai,"jawab temannya yang telah banyak makan asam garam tentang cinta.

Ia pun beranjak dari taman menuju kamar mandi kemudian meluncur menuju mall untuk berbelanja. Hal yang juga membahagiakannya selain jatuh cinta. Walaupun keduanya pun rentan menguras uangnya jika tidak waspada. Akan tetapi, mencintai selamanya memang indah. Baik mencintai diri sendiri maupun seisi semesta. Ia hanya tinggal menata emosinya. Itu yang tidak mudah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun