"Aku terjebak pada obsesi juga akhirnya,"ceritanya sambil tangannya meraih piring kecil berisi ketan,"Ibu membeli di mana ini? ketannya pulen banget."
"Di warung depan saat jalan-jalan pagi tadi. Minggu pagi, banyak orang berjalan-jalan, banyak pula orang berjualan."
"Sebagai anak sulung, tuntutanku dua,"sekali lagi ia menghapus keringat di pelipisnya yang baru saja dihangati sinar matahari.
"Pertama tuntutan ekonomi, kedua tuntutan perhatian. Aku sudah berusaha untuk memenuhi sendiri semuanya. Begitu bekerja, aku bisa memenuhi tuntutan ekonomi, tapi tidak untuk perhatian."
"Kamu merasa jatuh cinta karena perhatiannya?"
"Iya. Tapi aku salah sangka. Seharusnya cinta itu kunikmati saja, tanpa harus merasa obsesif dengan mengatakan kepadanya, toh ia lelaki. Jika ia juga cinta, pasti akan memburuku suatu saat. Jika tidak, biarlah rasa itu hilang dengan sendirinya,"ia menghela napas sesaat sebelum melanjutkan ceritanya,
"Aku seharusnya hanya memanfaatkan energi cinta yang kurasakan sebagai penyemangat hidupku, bukan terjebak pada obsesi untuk memilikinya. Aku iseng mengatakan kepadanya bahwa aku mencintainya. Fatal akibatnya. Ia mengatakan perhatiannya kepadaku dulu itu sekadar teman. Ia pun berterus terang sudah punya pasangan."
"Kamu sakit hati?" tanya ibunya memperhatikan ekspresi wajahnya.
Ia menggeleng.
"Bukankah cinta itu selamanya indah? Jatuh cinta tidak mudah. Maka, saat sanggup merasakannya, nikmatilah. Itu saja yang kurasakan.
"Tapi Kamu sempat terlihat stress gitu. Dua bulan kulihat Kamu murung,"goda ibunya.