Senja masih tampak memerah. Waktu menunjukkan pukul 18.01. Kami masih duduk di teras dekat taman kampus menunggu jam terakhir pukul 18.30 yang akan  berakhir pukul 20.30.Â
Angin senja berhembus menerpa dedaunan  menebarkan kesegaran.  Beberapa teman bergerombol dan bergurau, walaupun ada juga yang menyendiri ditemani buku dan gawainya.
      "Ada yang ingin cerita nggak? Yang serem-serem atau yang lucu-lucu juga boleh,"pinta Mira memandang kami berlima satu per satu.
     "Seharian kerja, lalu kuliah sore hari, jenuh juga senja ini,"lanjutnya.
      Aditya mendekat kemudian duduk bersila di teras yang lebih tinggi dengan lagak siap bercerita.
       "Ayo Pak Dalang, kami siap mendengarkan,"kata Santi. Kami berlima senja itu. Aku, Tyas, Mira, Aditya, dan Jono. Kebetulan kami sekelompok pada mata kuliah jam pertama tadi.
     "Seringkali setelah kuliah selesai, aku nggak segera  pulang. Aku putar-putar keliling kota. Tahu nggak?"
      "Nggak tahu,"sahut Mira sambil memainkan gawainya.
      "Lebih dari sekali, setelah pukul 12 lewat, di jalan tol sekitar 200 meter menuju belokan ke rumahku, kulihat nenek-nenek menyeberang. Hih...serem deh. Rambut putihnya selalu terurai, memakai longdress warna putih tulang."
      "Kamu sih, setelah kuliah nggak segera pulang,"sahut Jono.
      "Kamu selalu pulang, Jon?" tanyaku.
      "Tentu. Isteriku nggak bisa tidur kalau aku belum pulang."
      "Walah, Kamu tipe STI kali? Suami Takut Isteri,"goda Aditya.
      "Bukan begitu. Namanya juga terikat komitmen, ya Jon,"teriak Santi dari kejauhan. Ia berlalu sebentar membeli gorengan, kemudian datang mendekat membuka beberapa potong singkong keju panas.
      "Yo wis deh. Aku mengalah saja daripada ditawur emak-emak,"sahut Aditya.
      "Bagaimana, cerita dilanjutkan nggak?" tanyanya.
      "Tentu. Bagaimana nenek-nenek itu? Mencegat dan minta menumpang mobilmu?"
      "Tidak,"jawabnya,"Ia hanya lewat saja, membuatku mengerem mendadak. Dua kali aku mengerem mendadak, untung saja nggak selip."
       "Wah, ada yang nggak beres nih, dengan halusinasimu. Ngantuk berat mungkin. Aku saat lewat situ nggak diganggu apa-apa tuh" jawab Mira.
       "Malam itu gerimis,"lanjut Aditya,"Hatiku sudah membisikkan nenek itu akan lewat lagi karena jam menunjukkan pukul 11.59. Tengkukku terasa dingin. Pukul 12 tepat, kulirik spion. Aduh...kendaraan di belakangku berjajar sekitar lima bahkan lebih. Dari kiri depan dalam bayanganku nenek itu sudah mulai berjalan menyeberang. Lalu...,"ia menarik napas panjang.
       "Dalam waktu yang sangat singkat, aku harus berpikir cepat. Aku mengerem mendadak dengan risiko ada kemungkinan terjadi tabrakan beruntun? Tiba-tiba aku teringat masinis kereta api. Bukankah rel itu jalan khusus kereta api? Bukankah jalan tol pun bukan untuk pejalan kaki? Logikaku pun  cepat bekerja. Lagipula, bagaimana mungkin ada nenek-nenek berjalan malam hari selalu dengan jam yang sama, di tempat yang sama, dengan busana yang sama pula. Kemudian,  sambil berdoa dan meneriakkan nama Tuhan keras-keras, tubuh itu pun kutabrak. Tahu nggak?"
       "Nggak tahu,"sahut Mira sambil mengunyah singkong keju.
      "Ternyata nggak ada benda padat yang hancur berkeping-keping....
       "Berarti halusinasi Kamu kan?" lanjut Mira kemudian termenung,"Tapi, di jalan itu memang sering kecelakaan. Makanya jangan melamun...
       "Aditya lagi mengantuk atau lagi takut isterinya karena pulang kemalaman kali," goda Dila yang lewat dan mendengarkan sekilas cerita Aditya.
        "Enggaklah. Aku kan nggak sama dengan Jono. Ia memang anggota STI. Punya kartu anggota pula."goda Aditya.
Jono hanya tertawa mengacak-acak rambutnya,
       "Harus dong. Diri ini sudah tampil ala pria beristeri aja masih saja ada yang menggoda,"jawabnya santai.
       "Aku juga ingin cerita nih. Kisah nyata. Pesanku, andaikan suatu hari nanti Kalian kenal isteriku, kumohon jangan diceritakan kisah ini. Aku cemas ia nggak percaya walaupun begitulah kenyataannya diriku ini."
       "Asal Kamu nggak bohong,"jawab Santi.
       "Tentu tidak,"jawab Jono,"Saat itu aku berjalan-jalan dengan dua orang teman. Tiba-tiba teman yang mengajak kami jalan-jalan itu mengatakan bahwa ia akan menraktir untuk menikmati cewek bispak...
"Apa itu?"
"Bisa Pakai."
"Duh, Kamu cari masalah saja,"jawab Santi lagi.
"Ia ingin merasakan sensasi rasa nggak nyaman di hati,"sahutku.
"Sensasi rasa nggak nyaman di hati itu namanya dosa,"jawab Aditya.
"Teruskan Jon ceritanya,"kata Mira.
"Setiba di tempat, kulihat cewek itu. Cantik. Muda belia. Tapi...
"Kamu nggak selera? Ah,bohong,"keras suara Santi.
 "Tuh, emak-emak belum-belum sudah nggak percaya tuh,"jawab Jono tertawa.
"Tapi bagaimana? Mengapa?" lanjut Santi.
       "Gadis belia. Cantik. Aku jadi ingat awal aku mengenal isteriku. Ia kubuntuti dari belakang ingin tahu ke mana dia sepulang kuliah, mengapa lurus saja nggak belok menuju gang rumahnya. Ternyata ia menuju warung makanan. Di sana ia langsung menyingsingkan lengan blusnya, mengangkat piring yang menumpuk lalu mencucinya. Kudekati ia setelah mengendap-endap. Mengapa Kamu di sini? Mengerjakan ini? Jawabnya ini warung orangtuaku."
"Huhu...aku terharuu,"goda Aditya. Jono tertawa kemudian menyahut,
       "Tentu saja. Selain cekatan yang menjadi kebiasaan setelah berumah tangga, ia pun setia. Walaupun bentuk tubuh iateriku tidak  seindah gadis belia itu. Tapi aku merasa ilfil ...
"Bohong,"kami bertiga menjawab serentak.
"Duh...ternyata emak-emak ini negatif thinkingnya kebangeten," jawab Jono dengan ekspresi serius.
"Padahal yang kuceritakan ini kenyataan,"lanjutnya.
"Karena nggak jelas motifmu ilang feeling itu. Kebetulan lagi capek atau betul-betul ingat isteri?"
"Betul-betul ingat isteri. Ingat pengorbanannya, ingat kesetiaannya."
Kami terdiam beberapa saat, sampai akhirnya Jono meneruskan ucapannya,
"Tapi aku juga nggak pernah berani bercerita kepada isteriku kisah kesetiaan yang membanggakan ini...
"Padahal seharusnya mendapat apresiasi dari isteri ya,"kataku.
"Seharusnya begitu. Agar nggak kehilangan arah dan sesekali salah jalan,"sahut Aditya.
"Tapi emak-emak ini sudah telanjur sulit mempercayai kesetiaan kita, kaum lelaki ini, ya Dit."
"Karena mereka sukanya menggoda-goda sih," sanggah Mira.
"Kalau digoda juga sulit mengelak. Nggak seperti kami, kaum wanita,"tambah Santi.
     "Karena itulah, aku belum berani bercerita kepada isteriku padahal seharusnya kesanggupanku untuk setia ini layak diapresiasi. Suami kan juga ingin dikagumi perjuangannya termasuk perjuangan untuk bisa setia."
     "Kalau pun misalnya isterimu nggak percaya, apa yang Kaucemaskan?"tanyaku.
      "Cemas nggak dipercaya, lalu nggak diberi me time? Kasihan deh Lu,"sahut Santi.
      "Bukan begitu. Isteriku sih bukan tipe penguasa. Ia tetap akan memberiku me time. Ia akan tetap menghargai privacyku. Ia  tak akan memaksa berteman denganku di media sosial jika aku tidak memintanya lebih dulu. Apapun yang berkaitan dengan privasiku, ia selalu meminta izinku."
      "Lalu apa yang Kaucemaskan?" Aditya penasaran juga akhirnya.
      "Aku cemas  ia nggak percaya pada ceritaku itu karena prasangka buruknya terhadap tradisi patriarki yang telah mengendap di dasar hatinya selama bertahun-tahun. Jika ia malah tidak percaya, konsentrasinya akan terganggu. Pasti terganggu. Itulah yang kucemaskan. Selama ini ia kan tampak bahagia dengan merasa dicintai dan mencintai...
      "Merasa dicintai dan mencintai memang kebahagiaan wanita yang utama,"sahut Mira.
      "Memang kenapa kalau konsentrasinya terganggu?" tanya Aditya lagi.
      "Wah...ia kan wanita. Segalanya serba melibatkan perasaan terlebih saat bermesraan. Jika konsentrasinya terganggu, ia bisa menjadi beku,"lanjut Jono menghela napas,"Jika ia beku, aku bisa coba-coba untuk tidak setia nih. Malah bahaya kan?"
       Kami pun terdiam. Angin kembali berhembus menggoyang dedaunan kering yang segera berjatuhan. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.25. Kami pun beranjak menuju kelas sambil masih terbawa perasaan setelah mendengar cerita Jono tersebut.
      "Jangan bilang isteriku,"kembali terngiang permintaannya walaupun sebetulnya ia sangat ingin bercerita. Lelaki memang tidak semuanya menerapkan aji mumpung. Akan tetapi, sulit juga menepis prasangka buruk yang telah mengendap selama bertahun-tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H