"Tentu. Isteriku nggak bisa tidur kalau aku belum pulang."
      "Walah, Kamu tipe STI kali? Suami Takut Isteri,"goda Aditya.
      "Bukan begitu. Namanya juga terikat komitmen, ya Jon,"teriak Santi dari kejauhan. Ia berlalu sebentar membeli gorengan, kemudian datang mendekat membuka beberapa potong singkong keju panas.
      "Yo wis deh. Aku mengalah saja daripada ditawur emak-emak,"sahut Aditya.
      "Bagaimana, cerita dilanjutkan nggak?" tanyanya.
      "Tentu. Bagaimana nenek-nenek itu? Mencegat dan minta menumpang mobilmu?"
      "Tidak,"jawabnya,"Ia hanya lewat saja, membuatku mengerem mendadak. Dua kali aku mengerem mendadak, untung saja nggak selip."
       "Wah, ada yang nggak beres nih, dengan halusinasimu. Ngantuk berat mungkin. Aku saat lewat situ nggak diganggu apa-apa tuh" jawab Mira.
       "Malam itu gerimis,"lanjut Aditya,"Hatiku sudah membisikkan nenek itu akan lewat lagi karena jam menunjukkan pukul 11.59. Tengkukku terasa dingin. Pukul 12 tepat, kulirik spion. Aduh...kendaraan di belakangku berjajar sekitar lima bahkan lebih. Dari kiri depan dalam bayanganku nenek itu sudah mulai berjalan menyeberang. Lalu...,"ia menarik napas panjang.
       "Dalam waktu yang sangat singkat, aku harus berpikir cepat. Aku mengerem mendadak dengan risiko ada kemungkinan terjadi tabrakan beruntun? Tiba-tiba aku teringat masinis kereta api. Bukankah rel itu jalan khusus kereta api? Bukankah jalan tol pun bukan untuk pejalan kaki? Logikaku pun  cepat bekerja. Lagipula, bagaimana mungkin ada nenek-nenek berjalan malam hari selalu dengan jam yang sama, di tempat yang sama, dengan busana yang sama pula. Kemudian,  sambil berdoa dan meneriakkan nama Tuhan keras-keras, tubuh itu pun kutabrak. Tahu nggak?"
       "Nggak tahu,"sahut Mira sambil mengunyah singkong keju.