Kugy yang memiliki hobi menulis dongeng pun merasa dimengerti bahwa menekuni hobi bukan kesalahan. Kalaupun ada hobi yang menghasilkan banyak uang dalam sekejap ada pula yang tidak, itu hanyalah soal tempat dan waktu.
Mereka kemudian berkolaborasi untuk menghasilkan karya bersama. Keenan melukis berdasarkan dongeng yang ditulis Kugy. Keduanya seolah menemukan indahnya hidup tatkala sanggup mengekspresikan potensi tanpa dicela, tanpa dituntut karya tersebut harus menghasilkan uang secepatnya.Â
Dalam pikiran mereka yang terlintas adalah bagaimana berbahagia dengan menekuni hobi, bukan bagaimana bisa menjadi kaya dengan memaksa diri?
Dalam menekuni hobi, keduanya pun berpikir realistis. Andaikan uang belum juga datang dari hobi tersebut, hobi yang diremehkan tak akan segera menghasilkan banyak uang, mereka pun telah mencoba menjalani hidup seadanya.Â
Keduanya mencoba menikmati makan di warung indomie, bermain pasir gratis di pantai, memasang tenda di pantai yang dibayangkan lebih mewah daripada hotel berbintang lima.
Keduanya sangat menikmati bayangan akan kemungkinan terburuk, kesederhanaan, jika kelak lukisan dan tulisan mereka tidak segera menghasilkan uang. Parahnya mereka bisa. Mengapa? Andaikan kemungkinan buruk mereka alami, itu bukan efek bermalasan, bukan? Keduanya telah bekerja keras.Â
Hanya saja, lukisan dan tulisan belum laku! Itu saja masalahnya jika mereka kelak merasakan krisis keuangan. Jadi, mengalami krisis keuangan karena bermalasan, karena gaya hidup mewah, tentu lain rasanya dengan krisis keuangan karena karya mereka memang belum laku, bukan? Coba rasakan bedanya.
Oleh karena itu, keduanya menikmati kebersamaan bukan dengan makan es krim atau kemewahan lainnya, melainkan cukup makan indomie di warung dan mereka pun sudah merasa berbahagia.Â
Bahkan, manakala Keenan ingin membahagiakan Kugy yang telah menanggapi perasaannya sejak dulu, sejak lukisannya belum laku, dengan mengajak makan es krim, karema ada lukisan yang laku, Kugy malah tidak dapat menikmatinya karena ia menemukan fakta bahwa Keenan telah bersama Luhde.
Fakta yang pahit memang, karena ia tidak dapat memprotes suara hatinya yang cemburu dengan mengatakan Luhde tidak baik untuk Keenan seperti Wanda dulu. Ia telah mengenal Luhde, Gadis Bali itu, sebagai gadis yang sangat baik. Â Yang dilakukan Kugy kemudian adalah menghilang, menenangkan perasaannya yang juga hampa tatkala Remi menyematkan cincin ke jarinya.Â
Sudahkah ia mencintai Remi? Cinta atau hanya nyaman saja, karena Remi, atasannya, sanggup memberikan finansial yang lebih dari cukup? Mengapa Kugy merasa tidak sebahagia seperti bersama Keenan? Bukankah Remi pun bisa menampung kreativitasnya sebagai penulis naskah iklan? Mengapa Keenan tetap tak tergantikan?