Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dalam Selubung Kabut (25)

8 Agustus 2020   06:33 Diperbarui: 8 Agustus 2020   07:26 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kompasiana.com/pakcah/

                 Ira yang sejak lama terdiam mulai mendekat ke arah Lala. Sambil mengakhiri  suapan terakhir dari nasi goreng di piringnya, ia pun berkomentar,

                "Mengapa harus bercerai? Barangkali Tuhan menitipkan dia ke Kamu? Agar ia bisa berubah menjadi lelaki baik-baik? Bukankah jodoh itu tidak dapat dilogikakan seperti matematika?" ia berkata sambil mengerdipkan mata ke arah Rani.

                Rani yang masih memendam kekesalan masa lalu kepada Randy ditambah dengan kegagalan berkali-kali dari prinsip hidup yang dialami Ira, menjawab dengan ketus,

                "Walah! Kalau berniat sengsara tak usahlah mencari teman," ia masih kesal kepada Ira, maka ia pun berkata seolah menantang adu mulut. Bukan semata membela Lala dan kenangan masa lalunya, namun ingin menyudutkan Ira, atau lebih tepatnya menyadarkannya,

                "Memang mudah mengajak orang menjadi baik? Kita jangan sok yakin. Perubahan ke arah kebaikan harus atas kesadaran yang bersangkutan, bukan kita. Jangan sok-sokan merasa ditugasi Tuhan untuk membuat seseorang akan berubah menjadi baik, jika yang bersangkutan tidak ada niatan...

                "Tapi  bisa saja kan? Salah sendiri mengapa Lala menikah dengan niat agar tak lagi terbebani gelar perawan tua...

                "Itu kan karena Lala berusaha jujur. Jika mau jujur, niatmu menikahi suamimu pertama yang akhirnya bercerai juga, apa niatmu?"

                "Cintalah."

                "Jika cinta, mengapa bercerai...

                "Ia kawin lagi,"sahut Ira mulai tersudut dengan berondongan Rani yang memang suka bicara dengan nada ketus.

                "Lah, siapa yang menyuruh minta cerai? Kan ia lelaki."

                "Tapi ia nggak adil."

                "Masih nggak adil, Kamu sudah nggak tahan. Bayangkan yang dialami Lala. Sudah nggak dinafkahi, masih diporot dimintai uang dengan dalih pinjam. Mobil yang semula dipinjam pun dijual."

Ira yang tersudut tidak menyerah begitu saja. ia pun segera menjawab,

                "Tapi setidaknya niatku awal kan karena cinta. Bukan asal menikah agar nggak dijuluki perawan tua...

                "Walah, selagi Kamu hidup di lingkungan yang suka kepo urusan kawin dan anak, siapa yang percaya ketulusan niatmu. Kecuali Kamu tahan banting. Nyatanya Kamu pun lari saat merasa diperlakukan tidak adil, padahal Kalian sudah punya anak."

                "Salahkah?"

                "Siapa yang menyalahkan Kamu. Tapi Kamu juga jangan sok menyalahkan orang lain. Semua orang memiliki kapasitas ketahanan mental. Daripada depresi mending lari, itu pilihan hati nurani daripada dunia dipenuhi orang-orang gila, lebih baik kamu lari. Tapi, Kamu jangan menyudutkan Lala."

                "Kamu membelanya?"

                "Aku nggak membela siapapun. Tapi, faktanya Lala pun sudah belepotan gara-gara keputusan ngawurnya itu. Jangan malah disudutkan."

                "Belepotan? Aku juga kan? Untuk lelaki-lelaki berikutnya setelah aku lari dari suamiku karena nggak mau dimadu, aku selalu menerima ulah nakalnya atas dasar cinta. Aku berusaha tulus...

                "Berusaha tulus, tapi Kamu dikadali kan?"

                "Iya. Motor delapan untuk delapan lelaki."

                "Makanya, Lala malah mobil, belum utang-utangnya demi menuruti gaya hidup sok gengsi yang ditampilkan Randy. Lalu, Kamu suruh apalagi dia? Teganya Kamu."

 Lala memperhatikan Rani seolah tertegun. Kesal di hatinya akibat saran Ira yang membuatnya terdiam sesaat, tak disangka dijawab oleh Rani. Tentu saja. jika bukan Rani, siapa lagi? Bukankah mereka hanya bertiga karena teman mereka yang lain sedang berjalan entah ke mana. Mungkin selfi, mungkin mencari view untuk berfoto.

                "Maksudku, aku kehilangan delapan motor, juga masih tegar."

                "Tapi Kamu juga nggak bertahan pada satu lelaki kan? Delapan motor itu untuk delapan lelaki, kan? Toh, Kamu lari dan lari, cari ganti lagi dan lagi. Mengapa Lala Kusuruh bertahan pada Randy?"

                "Daripada ganti lagi lalu kehilangan lagi?"

                "Kalaupun ganti lelaki lain, belum tentu keputusan untuk ganti lelaki itu sama dengan cara-caramu. Paham?"

                Kali ini Ira terdiam, kemudian menjawab sebelum beranjak,

                "Yakh, sudahlah. Maaf deh, betul yang dikatakan Rani. Kalaupun Lala meninggalkan Randy untuk lelaki lain, belum tentu bergaya lem biru seperti aku. Belum tentu, Lempar Randy ganti lelaki  yang baru."

                "Makanya, jangan mendikte. Jangan sok tahu,"sahut Rani masih kesal.

                "Aku hanya cemas, ia akan kehilangan mobil lagi seperti aku yang kehilangan 8 motor."

                "Karena Kamu selalu ganti dengan lelaki yang baru lagi. Baru dan selalu baru. Padahal belum tentu Lala begitu itu."

                "Mungkin ia cemas aku cari lelaki yang baru lagi, padahal enggak,"jawab Lala mencoba menengahi. Ia ngeri jika keduanya bertengkar. Sementara itu, Ira beranjak untuk mengambil air minum.

                "Duh, Kalian sudah berteman sejak SMA. Memang selalu begitu gaya komunikasi Kalian?"

Lala memperhatikan ekspresi Rani yang masih kesal,

                "Memang. Hal itu bukan masalah bagi dia. Kami seringkali berdebat karena ia sulit diingatkan."

                "Memang ia ganti pacar berapa kali sejak bercerai dari suami pertamanya?"

                "Mungkin delapan kali, seperti yang dikatakan tadi. Kehilangan motor delapan. Hehehe," Rani kemudian meneruskan ucapannya,

                "Yang menjengkelkan dari dia, ia menyudutkanmu, mengatakan bahwa barangkali Randy dititipkan Tuhan kepadamu agar menjadi lelaki baik-baik. Sementara itu, ia tak sanggup bertahan pada satu orang lelaki. Ada sedikit benturan, ia sudah lari cari yang baru dan selalu baru. Yang terbaru malah kenalanku."

                "Ia menyabot darimu?"

                "Enggak. Sejak suamiku meninggal, aku sudah nggak terpikir untuk menikah lagi. Aku hanya mencari hiburan dengan berkumpul teman-teman seperti saat ini, biar nggak depresi saja."

                "Mungkin ia cemas aku akan meniru jejaknya."

                "Tapi setidaknya tidak memberi saran agar Kamu bertahan pada Randy dengan dalih Tuhan menitipkan dia kepadamu, sebelum ia sanggup membuktikan bisa bertahan pada satu orang lelaki. Kini ia sedang dalam proses mencari lelaki kesembilan. Tapi menyuruhmu bertahan pada Randy."

                "Yakh...anggap saja ia nggak tega aku bernasib serupa dirinya."

                "Tapi ia memang asal saja. ia sangat egois menurutku," keluh Rani masih kesal.

                "Egois bagaimana misalnya?" Lala jadi kepo juga akhirnya

                "Bukan hal yang rahasia bahwa kaum wanita seperti kita ini. Sejak remaja jika kita pergi dan makan bersama, kita kan tanpa malu-malu menarik dana patungan," kata Rani tertawa yang disambut tawa pula oleh Lala,

                "Betul," jawab Lala,"Kecuali jika ada teman yang sedang ingin nraktir. Seperti bulan lalu kita diajak Mira vakansi menyewa dua home stay saat merayakan ulang tahun pernikahan mereka pada angka spesial mereka berdua. Satu rumah untuk keluarganya dan rumah berikutnya untuk teman-temannya."

                "Kalau teman-teman lelaki sih, saat mengajak teman-temannya berkumpul untuk reuni, mereka menyewa home stay rumah A untuk teman-teman perempuan, rumah B untuk teman-teman lelaki. Kita bertemu di hall untuk rapat atau menyanyi. Pada umumnya kita kaum perempuan diundang gitu aja, nggak diminta patungan. Yang mendanai mereka. Saat kutanya,"Kalian sudah izin isterimu? Dijawab, izin pergi sudah. Tapi ini uang lelaki, bukan uang belanja isteri,"lanjut Rani sambil menoleh ke arah Ira yang masih duduk menjauh menikmati kopi yang baru diseduhnya.

                "Ira mana mau tahu jika teman-teman wanita saat pergi bersama tidak seperti itu. Kita ini walaupun pekerja, nggak kenal uang perempuan. Semua uang juga untuk keperluan pribadi dan keluarga. Maka, saat pergi bersama-sama begini, kita patungan."

                "Memang Ira nggak pernah mau ikut patungan?"

                "Ia nggak pernah nanya, patungan nggak? Ia ikut gitu saja, Kita nggak tega memintanya,"Rani menghela napas,

                "Bukan Kami itung-itungan. Namanya juga teman. Biar sajalah asalkan masih ada tempat di mobil dan di kamar hotel, nggak apa. Tapi, lama kelamaan, Kami merasa bahwa dendamnya kepada kaum lelaki yang memorotnya itu, dilampiaskan kepada kami, teman-teman perempuannya. Itu yang membuat kami kesal banget. Kesal bercampur iba."

                Lala terkejut sampai-sampai ia yang semula duduk bersandar di kursi, mengangkat tubuhnya dan mendekat sambil berbisik,

                "Bagaimana contohnya?"

                "Walah, Bu Guru ini memintaku membuat contoh,"Rani tertawa,"Contohnya? Ia tidak sekadar tidak mau ikut patungan saat pergi. Tapi juga seenaknya minta kiriman pulsa pada kami. Lho, itu kan ulah lelaki-lelaki yang memorotnya. Ngirim sms minta pulsa. Mengapa ia kopi paste kepada Kami, teman-teman perempuannya yang sudah berbaik hati mengajaknya pergi tanpa patungan?"

                "Hehehe. Ia ingin bagi tugas mungkin. Ia merasa ditugasi Tuhan untuk meluruskan lelaki-lelaki pemalas yang dipacarinya. Bagi tugas dengan cara meminta kalian minimal memberinya pulsa."

                "Pemikiran model apa itu,"tukas Rani masih kesal,

                "Lalu, dengan seenaknya memintamu bertahan pada Randy? Kan ambigu antara memintamu bersabar atau malah mencari teman untuk hancur?"

                                                (bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun