"Santai, Fara... memang kondisinya kayak gini. Kemarin aku rasanya mau pukul Ella karena tumpahin air. Ga sengaja dia...."
Suara Nancy semakin melemah, yang diiringi dengan tetesan air mata.
Bila ini terjadi empat tahun yang lalu, mungkin orang lain, termasuk aku, akan tertawa melihat Nancy bisa menangis hanya karena air yang tumpah.Â
Tapi kondisi air saat ini sekarat.
Setitik air yang jatuh, begitu berharga.Â
Kami rela menangis, dan berkelahi untuk mendapatkan setitik air, saking langkanya.Â
Negeri kami sudah hampir seperti gurun. Hampir... hanya hampir...
"Ga nyangka ya, Fara, kita ada dititik ini...", suara Nancy memecah keheningan.
"Iya, Nan.. cuman bisa nyalahin diri sendiri aja, ga dari dulu aja kita jaga lingkungan kita", kataku muram sambil melihat telapak tanganku yang kulitnya sudah mengelupas semua, tanda kekeringan.
Kami kini tinggal di ujung pulau.Â
Pulau yang selama ini jadi kebanggaan negeri kami, sebagai ibukota, telah tenggelam sebagian, dikarenakan tsunami.Â