Imam Syafi'i memiliki nama lengkap Muhammad bin Idris asy-Syafi'i lahir di Gaza,
Palestina pada 150 H/767 M dan meninggal di Fustat, Kairo 204 H/820 M. Ia dilahirkan
bertepatan dengan tahun meninggalnya Abu hanifah, saat usianya mencapai 2 tahun
beliau di bawa oleh ibunya ke Hijaz, keduanya pun menetap di sana. Namun ketika
umurnya telah mencapai sepuluh tahun, ibunya memindahkannya ke Makkah karena
khawatir akan melupakan nasabnya. Di Mekkah beliau banyak mendapatkan Hadits
dari ulama-ulama Hadits. Karena kepakirannya, ia sering memungut kertas-kertas yang
telah dibuang kemudian dipakainya untuk menulis. Ketika semangatnya untuk
menuntut ilmu makin kuat dan menyadari bahwa Al-Qur'an itu bahasanya sangat indah
dan maknanya sangat dalam, maka pergi ke Kabilah Hudzail untuk mempelajari dan
mendalami Sastra Arab serta mengikuti saran hidup Nabi Muhammad SAW. Namun
demikian, Imam Syafi'i belum puas menuntut ilmu karena semakin dalam ia menekuni
suatu ilmu, semakin banyak yang belum ia mengerti. Meskipun menguasai hampir
seluruh disiplin ilmu, Imam Syafi'i lebih dikenal sebagai ahli hadits dan hukum karena
inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut.
Madzhab yang dicetuskan oleh Abu Abdullah Muhammad bin Idris As-Syafi'i pada
awal abad ke-9 ini dinamakan dengan madzhab Syafi'i.
2. Model Pengkajian Imam Syafi'i
Model kajian madzhab Syafi'i merupakan pendekatan dalam studi agama Islam
yang berfokus pada pemahaman dan interpretasi hukum-hukum Islam berdasarkan
ajaran yang dikembangkan oleh Imam Asy-Syafi'i, salah satu dari empat imam mazhab
dalam Sunni Islam. Model ini menekankan pada metodologi penalaran hukum (usul al-
fiqh) serta pemahaman terhadap teks-teks utama Islam, seperti Al-Qur'an dan Hadis,
serta prinsip-prinsip yang dihasilkan dari penelitian terhadap teks-teks tersebut. Para
ulama Syafi'i berusaha memahami dan menerapkan hukum-hukum Islam sesuai dengan
kerangka pemikiran yang telah ditetapkan oleh Imam Asy-Syafi'i.
Terdapat pula upaya untuk mencapai keseimbangan antara naskh (teks) dan ra'yu
(penalaran) dalam proses ijtihad. Naskh merujuk pada teks-teks utama Islam seperti Al-
Qur'an dan Hadis, sedangkan ra'yu adalah penalaran manusia berdasarkan konteks dan
kebutuhan zaman. Madzhab Syafi'i menghargai otoritas naskh namun juga
memperbolehkan penggunaan ra'yu dalam kasus-kasus di mana tidak ada nash yang
jelas atau situasi yang belum tercakup dalam teks-teks utama. Keseimbangan ini
memungkinkan untuk fleksibilitas dalam penalaran hukum, sambil tetap
mempertahankan keutamaan teks-teks utama dalam menentukan hukum-hukum Islam.
3. Pengaruh wilayah
Mazhab ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir selatan, Arab Saudi bagian
barat, Palestina, Suriah, Kurdistan, Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina, pantai
Koromandel, Ceylon, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain.
      Dalam proses perumusan usul fikihnya itu, Al-Syafi'i melakukan sintesis terhadap dua pemikiran usul fikih sebelumnya yang is kuasai kedua-duanya dengan baik : pemikiran yang bercorak rasional (ahl al-ra?y) yang diimami oleh Imam Abu Hanifah, dan pemikiran yang bercorak tradisional (ahl al-hadits) yang dimotori oleh Imam Malik. Pemikiran yang dibangun pertama kali oleh Al-Syafi'i, yang kemudian dijadikan referensi panting dalam perumusan metode ilmiah dalam disiplin ilmu-ilmu keistaman, adalah upayanya melahirkan konsep Al-bayan. Al-bayan (secara harfiah berarti `penjelasan'), yang diuraikannya dalam karya usul fikihnya yang begitu monumental, Al-Risalah, pada awalnya memang merupakan analisis tekstual (kebahasaan) sebagai upaya metodis memahami Al-Qur'an.
      Selain berhasil menyusun metodologi perumusan fikih, Al-Syafi'i juga berhasil menunuskan sutuber hukum Islam yang tersusun secara hirarkis, yaitu : AI-Qur'an, Al-Hadis, Ijmak, dan Qiyas. Dua somber hukum pertama masuk kategori wahyu (divine revelation), sementara dua sumber hukum berikutnya masuk kategori akal (human reason). Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa Al-Syafi'i telah berhasil mengintegrasikan atau mensintesiskan wahyu di satu sisi, dan akal di sisi lain. Hanya saja, akal ditempatkan Al-Syafi'i di bawah wahyu, yang kebebasannya dibatasi dan digunakan hanya sekadar untuk mengokohkan wahyu. Ini bisa dibuktikan terutama oleh pandangannya yang menganggap qiyas sebagai satu-satunya metode ijtihad, dan menolak metode lain yang relatif memberikan ruang yang lebih luas bagi akal, seperti istihsan (preferensi juristik) dan istislah (keniaslahatan juristik).
Periode Pertama
Makkah adalah periode pertama Imam Syafi'i berkiprah dalam bidang fiqih. Setelah meninggalkan kota Baghdad, dia tinggal di Makkah selama sembilan tahun. Di kota Makkah ini dia telah mencurahkan waktunya untuk terjun di dunia ilmu pengetahuan. Di sana ia benar-benar telah mendapatkan kematangan ilmunya dan mampu menghimpun berbagai hadits yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Karena itu, Imam Syafi'i sering menemukan pertentangan antara hadits yang satu dengan yang lainnya dan dalam tataran praktis dia harus mengunggulkan satu pendapat di antara pendapat-pendapat lainnya. Pengunggulan pendapat tersebut bisa dilihat dari segi sanad hadits yang dijadikan sandarannya atau dari segi ketidakberlakuan sebuah dalil (nasikh mansukh).
Di Makkah Imam Syafi'i juga mendalami dalil-dalil al-Qur'an dan menghimpun berbagai hadits. Upaya tersebut membuatnya tahu sejauh mana kedudukan hadits di sisi al-Qur'an. Kitab ar-Risalah adalah buah karya Imam Syafi'i selama periode makkah yang sengaja ia susun atas permintaan Abdurrahman al-Mahdi.
Di dalam buku karangan Dr. Muhammad Ibrahim al fayyumi tahun 2009 yang berjudul " imam syafi'i  pelopor fiqih dan sastra" dijelaskan periode fiqih imam syafi'I dibagi menjadi 3 periode dalam menentukan hukum islam, sesuai dengan kota tempat ia berkiprah.
periode Kedua
Imam Syafi'i datang ke kota Baghdad pada tahun 195 H. Dia tinggal di sana selama kurang lebih tiga tahun. Pada masa ini Imam Syafi'i mulai mengeksplorasi berbagai pendapat ahli fiqih yang semasa dengannya, pendapat dari para sahabat dan tabi'in. Di masa ini pula Imam Syafi'i mulai mengekspresikan pendapat-pendapatnya dengan berpijak pada ushulnya. Kemudian Imam Syafi'i memilih pendapat yang lebih mendekati ushulnya.
Imam Syafi'i menghabiskan periode ketiga ini setelah dia pindah ke Mesir pada tahun 199 H. Di sana dia menetap selama empat tahun, hingga wafat. Di sanalah Imam Syafi'i mengalami kematangan-kematangannya.
Mengenai sumber fiqihnya, Imam Syafi;i memiliki lima sumber yang kesemuanya dituturkan dalam kitabnya al-Umm. Dia berkata "Ilmu memiliki beberapa tingkatan: Pertama, al-qur'an dan as-sunnah yang dianggap valid. Kedua, ijmak dan ini berlaku apabila yang sedang digali tidak ditemukan, baik di dalam al-Qur'an maupun as-Sunnah.Â
Ketiga, pendapat salah satu sahabat lain yang menentangnya. Keempat, sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi Saw. Kelima, Qiyas. Ketahuilah tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan referensi, selama ada al-qur'an dan hadits".
Cara-Cara Ijtihad Imam Syafi'i
Seperti Imam Madzhab lainnya, Imam Syafi'i menentukan thuruq al-istinbath al-ahkam tersendiri. Adapun langkah-langkah ijtihadnya yang dijelaskan dalam buku karangan Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqiey pada tahun 1997 yang berjudul "Pengantar Hukum Islam" adalah sebagai berikut :
1) Dhahir-dhahir Al-Qur'an selama belum ada dalil yang menegaskan, bahwa yang dimaksud bukan dhahirnya.
2) Sunnatur Rasul
As-Syafi'i mempertahankan hadits ahad selama perawinya kepercayaan, kokoh ingatan dan bersambung sanadnya kepada Rasul. Beliau tidak mensyaratkan selain daripada itu. Lantaran itulah beliau dipandang Pembela Hadits. Beliau menyamakan Sunnah yang shahih dengan Al-Qur'an.
3) Ijma'
Menurut pahamnya ialah : "tidak diketahui ada perselisihan pada hukum yang dimaksudkan". Beliau berpendapat, bahwa meyakini telah terjadi persesuaian paham segala ulama tidak mungkin.
4) Qiyas
Beliau menolak dasar istihsan dan dasar istishlah. Metodologi ijtihad Imam Syafi'i tidak ada yang menggunakan logika kecuali terbatas pada Qiyas saja.
5) Istdlal
As-Syafi'i dapat memahamkan dengan baik fiqh ulam Hijaz dan fiqh ulama Iraq dan beliau terkenal dalam medan munadharah sebagai seorang yang sukar dipatahkan hujjahnya.
Dalam menetapkan metode urutan hukum di atas, Imam al-Syafi'I meletakkan al-Qur'an dan al-Sunnah sejajar pada urutan yang paling diutamakan, sebagai Gambaran pentingnya sunnah dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an, serta menguatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bertindak sesuai dengan petunjuk Allah SWT. melalui wahyu bukan berdasarkan hawa nafsu, meski perlu diketahui bahwa proses lahirnya hukum tersebut berrbeda (Karim, 2013:189).
Format hirarkis yang disusun oleh Imam al-Syafi'i telah memberikan pengaruh yang signifikan dalam Sejarah pemikiran Islam. Buktinya pada saat itu tidak ada kritik terkait pemikiran al- Syafi'i, para ulama seolah-olah menerimanya begitu saja baik dari pemikir al-Asyariyah maupun Mu'tazilah. Misalnya saja Juwayni dalam kitab al-Burhan yang mengatakan bahwa dalil fiqih adalah teks Al-Qur'an, Sunnah mutawatir dan Ijma'.Â
Bukan hanya itu, dampak epistimologisnya jug sangat besar, misalnya dalam jenis ilmu, semua mesti sesuai dengan standarisasi al-Qur'an. Maka seandainya ada ilmu yang bertentangan dengan Al-Qur'an maka hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, ilmu tersebut salah dan  kedua pemahaman terkait al-qur'an itu yang dialah artikan, karena Al-Qur'an mustahil salah. (Syafrin, 2009:242).
Terobosan landasan pengambilan hukum yang ditetapka Imam al-Syafi'I ini sangat mengutamakan kehati-hatian (ikhtiyat) apabila terdapat dua dalil yang sama kuat, Imam al-Syafi' kemudian memberikan suatu sikap yang baik dan bahkan berani merevisi hasil pemikirannya yang lama dengan mengemukakan yang baru, baik karena ditemukannya dalil lain maupun karena pengaruh lingkungan. Dari sikap tersebut dikenal lah adanya dua pendapat yang bersumber dari Imam al- Syafi'i, yakni pendapat lama (qoul qodim) dan pendapat baru (qoul jadid) (Karim, 2013:190).
Pada tataran praktik metode Imam al-Syafi'i dalam berijtihad dan beristidlal sebenarnya tidak hanya terpaku pada sumber dan dalil hukum berupa al-Qur'an, al-Sunnah, Ijma' dan Qiyas, namun beliau juga dalam menggali hukum memakai metode Istishab, Urf, Fatwa Sahabat, Istiqra' dan Akhdzu Aqall Maa Qiyla. Metode Istiqra' dan Ahdzu Aqall Maa Qiyla, dua metode yang tidak digunakan oleh ulama madzhab, baik imam Abu Hanifah, imam Malik bin Anas maupun imam Ahmad bin Hanbal.
KESIMPULAN
Imam al-Syafi'i merupakan tokoh ulama fiqih yang sangat pandai, ia juga menguasai banyak cabang ilmu dan berguru pada ulama-ulama besar pada masa itu. Imam Syafi'i disebut sebagai pembuat kaidah ushul fiqih pertama dengan kitabnya yang terkenal yaitu al-Risalah. Kitab tersebut berisi tentang aturan pengambilan hukum terhadap suatu permasalahan yang ditulis dengan lengkap. Sumber hukum Islam yang ditetapkan oleh Imam al- Syafi'i adalah Al-Qur'an, As-Sunnah,Ijma' dan Qiyas.
Dalam pengembangannya, Qiyas terus mengalami perubahan namun dalam makna yang sama yakni sebagai produk ijtihad dan menjadi sumber hukum Islam. Qiyas dimasa ini menjadi landasan hukum yang sering digunakan para praktisi ekonomi Syariah dalam menciptakan produk dan akad yang sesuai dengan perkembangan zaman dan ketentuan Syariah.
Daftar rujukanÂ
Bahrudin, M. (2019). Ilmu Ushul Fiqh.. Penerbit AURA.
Fadli, M. R. (2021). Memahami desain metode penelitian kualitatif. Humanika,
21(1), 33--54. https://doi.org/10.21831/hum.v21i1.38075
Sanusi, A. (2018). Pemikiran Ushul Fiqh Imam Syafi'i. Syakhsia, 19(2), 223--244.
https://lib.ui.ac.id/detail?id=78187&lokasi=lokal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H