Gambar tersebut merupakan representasi teori penyebab korupsi menurut Robert Klitgaard. Dalam teori ini, korupsi (C) terjadi sebagai hasil dari tiga elemen utama:
1. D = Dictionary: Mengacu pada diskresi, yaitu kebebasan atau keleluasaan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang dalam membuat keputusan. Ketika diskresi terlalu besar tanpa pengawasan, peluang untuk penyalahgunaan wewenang meningkat.
2. M = Monopoly (Monopoli): Monopoli dalam konteks ini berarti konsentrasi kekuasaan atau wewenang pada individu atau kelompok tertentu. Semakin besar monopoli kekuasaan, semakin tinggi potensi terjadinya korupsi.
3. A = Accountability (Akuntabilitas): Kurangnya akuntabilitas atau mekanisme pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh individu atau institusi memperbesar risiko korupsi. Akuntabilitas yang rendah membuat pelaku korupsi merasa tindakannya tidak akan diketahui atau dihukum.
Berdasarkan teori ini, korupsi dapat dijelaskan dengan formula sederhana: Â
Korupsi (C) = Monopoli (M) + Diskresi (D) Akuntabilitas (A)
Teori ini memberikan penekanan pada pentingnya reformasi sistemik untuk mengurangi monopoli kekuasaan, membatasi diskresi, dan meningkatkan akuntabilitas sebagai langkah strategis dalam memberantas korupsi.
Pendahuluan
Korupsi telah menjadi salah satu permasalahan serius yang menghambat pembangunan dan kesejahteraan di Indonesia. Kasus korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. Salah satu kasus korupsi yang mendapat perhatian besar adalah kasus Rafael Alun Trisambodo, seorang pejabat Kementerian Keuangan yang terungkap memiliki kekayaan tidak wajar dan terlibat dalam tindak pidana pencucian uang. Kasus ini mencerminkan betapa mendalamnya akar korupsi di dalam birokrasi Indonesia, yang mencakup kelemahan sistem pengawasan, penyalahgunaan wewenang, hingga gaya hidup mewah yang tidak sesuai dengan profil seorang aparatur sipil negara. Â
Dalam memahami akar permasalahan ini, teori-teori antikorupsi seperti Fraud Triangle oleh Jack Bologna dan pendekatan sistemik Robert Klitgaard menjadi relevan. Teori Fraud Triangle menjelaskan bahwa korupsi terjadi karena adanya tekanan, peluang, dan rasionalisasi pada individu pelaku, sementara Robert Klitgaard menawarkan perspektif struktural bahwa korupsi adalah hasil dari monopoli kekuasaan, diskresi yang berlebihan, dan rendahnya akuntabilitas. Pendekatan ini sangat cocok digunakan untuk menganalisis kasus Rafael Alun, di mana faktor individu dan kelemahan institusi saling berkontribusi terhadap terjadinya praktik korupsi. Â
Kasus ini juga memberikan pelajaran penting tentang perlunya memperbaiki sistem birokrasi dan pengawasan di Indonesia. Penyelesaian kasus yang menghasilkan setoran Rp 40 miliar ke kas negara oleh KPK menunjukkan komitmen dalam menindak pelaku korupsi, tetapi lebih jauh lagi, kasus ini menggarisbawahi pentingnya membangun sistem yang mencegah korupsi sejak awal. Oleh karena itu, pendekatan teori antikorupsi perlu digunakan tidak hanya untuk memahami pola perilaku koruptif, tetapi juga untuk merumuskan strategi pemberantasan korupsi yang efektif dan berkelanjutan di Indonesia.
Korupsi merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Praktik ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan. Dalam konteks Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menindak perilaku koruptif, namun hasilnya sering kali belum optimal. Beragam teori dan pendekatan akademik menawarkan pandangan berbeda untuk memahami akar permasalahan korupsi dan mencari solusi yang efektif. Dua pendekatan yang relevan dalam konteks ini adalah pendekatan Fraud Triangle dari Jack Bologna dan pendekatan sistemik oleh Robert Klitgaard.
Jack Bologna, melalui konsep Fraud Triangle, menyoroti bahwa korupsi terjadi akibat kombinasi dari tiga faktor utama: tekanan, peluang, dan rasionalisasi. Pendekatan ini membantu mengidentifikasi aspek individual yang memotivasi seseorang untuk melakukan korupsi. Di sisi lain, Robert Klitgaard menawarkan pendekatan makro yang melihat korupsi sebagai fenomena sistemik, dirumuskan dalam persamaan terkenal: "Korupsi = Monopoli + Diskresi Akuntabilitas". Pendekatan Klitgaard memberikan kerangka untuk memahami bagaimana struktur kelembagaan dan kebijakan publik memengaruhi tingkat korupsi.
Dengan menggabungkan kedua pendekatan ini, analisis terhadap kasus-kasus korupsi di Indonesia dapat lebih mendalam. Pendekatan Jack Bologna memberikan wawasan tentang faktor-faktor psikologis dan perilaku individu, sedangkan Robert Klitgaard memperluas perspektif dengan menganalisis konteks institusional dan sistemik. Pendahuluan ini bertujuan untuk menguraikan penerapan kedua teori tersebut dalam mengkaji kasus-kasus korupsi di Indonesia, sekaligus mengidentifikasi potensi solusi yang dapat diterapkan untuk memerangi korupsi secara lebih efektif.
 What
Korupsi merupakan salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh Indonesia. Fenomena ini mencakup berbagai sektor dan melibatkan aktor dari level bawah hingga atas. Dampaknya tidak hanya merugikan negara secara finansial tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah. Untuk memahami dan mengatasi korupsi, diperlukan pendekatan yang holistik dan terstruktur.
Dua pendekatan yang sering digunakan untuk menganalisis korupsi adalah teori Robert Klitgaard dan Jack Bologna. Klitgaard dikenal dengan model ekonominya yang mengaitkan korupsi dengan insentif dan peluang, sedangkan Bologna fokus pada pendekatan sistematis dalam mendeteksi dan mencegah tindak korupsi melalui kerangka fraud triangle. Artikel ini akan menjelaskan penerapan kedua pendekatan tersebut pada kasus-kasus korupsi di Indonesia, disertai analisis bagaimana langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi.
Mengapa Pendekatan Klitgaard dan Bologna Penting? (Why)
Pendekatan Klitgaard dan Bologna menjadi penting karena menawarkan kerangka konseptual yang berbeda namun saling melengkapi. Model Klitgaard fokus pada akar masalah korupsi melalui persamaan:
Korupsi = Monopoli + Diskresi - Akuntabilitas
Model ini membantu mengidentifikasi faktor-faktor struktural yang memungkinkan korupsi terjadi. Sebaliknya, fraud triangle dari Bologna berfokus pada psikologi individu, melibatkan tiga elemen utama: kesempatan (opportunity), tekanan (pressure), dan rasionalisasi (rationalization).
Kombinasi kedua pendekatan ini memungkinkan analisis yang lebih menyeluruh terhadap korupsi, baik dari aspek sistemik maupun perilaku individu. Implementasi kerangka ini di Indonesia dapat memberikan wawasan baru untuk membangun kebijakan antikorupsi yang lebih efektif.
Bagaimana Pendekatan Klitgaard dan Bologna Diterapkan? (How)
1. Pendekatan Klitgaard: Memahami Korupsi Secara Sistemik
Model Robert Klitgaard memandang korupsi sebagai hasil dari kombinasi faktor-faktor struktural dalam sistem. Penerapannya di Indonesia dapat dilihat melalui analisis berikut:
Monopoli Kekuasaan
Monopoli terjadi ketika satu pihak memiliki kendali penuh terhadap suatu sumber daya atau proses pengambilan keputusan. Contohnya adalah kasus korupsi di sektor sumber daya alam seperti tambang dan kehutanan. Monopoli pada izin eksploitasi seringkali menjadi celah korupsi, seperti dalam kasus korupsi izin usaha pertambangan yang melibatkan pejabat daerah.
Diskresi Tanpa Kontrol
Diskresi merujuk pada kebebasan pejabat dalam membuat keputusan tanpa mekanisme kontrol yang memadai. Sebagai contoh, pengaturan anggaran daerah sering kali dilakukan tanpa transparansi. Pada kasus Dana Desa, beberapa kepala desa menyalahgunakan diskresi mereka untuk kepentingan pribadi.
Minimnya Akuntabilitas
 Akuntabilitas yang rendah menciptakan lingkungan di mana korupsi sulit dideteksi dan dihukum. Misalnya, lemahnya pengawasan internal pada lembaga seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sering menjadi alasan terjadinya penyimpangan dana.
Strategi Implementasi:
Untuk menerapkan pendekatan Klitgaard, pemerintah Indonesia dapat melakukan langkah-langkah berikut:
1. Desentralisasi yang Transparan: Mengurangi monopoli dengan membagi kewenangan secara adil dan transparan.
2. Peningkatan Pengawasan: Memperkuat lembaga pengawas independen seperti KPK dan Ombudsman.
3. Penerapan Teknologi Digital: Mengadopsi sistem e-government untuk mengurangi peluang diskresi tanpa kontrol.
2. Pendekatan Jack Bologna: Menangkap Elemen Individu dalam Korupsi
Fraud triangle dari Jack Bologna memberikan fokus pada tiga elemen kunci yang memotivasi individu untuk melakukan korupsi:
1. Kesempatan (Opportunity)
  Kesempatan muncul ketika terdapat celah dalam sistem yang memungkinkan individu melakukan korupsi. Misalnya, dalam kasus korupsi e-KTP, lemahnya sistem pengadaan barang dan jasa memberi kesempatan kepada pelaku untuk menggelembungkan anggaran.
 Solusi:
  - Meningkatkan sistem audit internal.
  - Menerapkan mekanisme whistleblowing untuk mendeteksi celah sejak dini.
2. Tekanan (Pressure)
  Tekanan sering kali datang dari kebutuhan finansial, target organisasi, atau tekanan eksternal lainnya. Dalam kasus korupsi bansos Covid-19, tekanan untuk mencapai target pendistribusian cepat menjadi alasan sebagian pihak mengambil jalan pintas.
Solusi:
  - Memberikan insentif yang sesuai untuk pejabat yang bekerja jujur.
  - Menawarkan dukungan psikologis dan pelatihan etika bagi pegawai.
3. Rasionalisasi (Rationalization)
  Rasionalisasi terjadi ketika pelaku membenarkan tindakannya sebagai sesuatu yang dapat diterima. Misalnya, dalam kasus korupsi proyek infrastruktur, pelaku sering merasionalisasi tindakannya dengan dalih untuk mendanai partai politik.
Solusi:
  - Meningkatkan kesadaran etika melalui pendidikan antikorupsi.
  - Menegakkan sanksi hukum yang tegas untuk menciptakan efek jera.
3. Studi Kasus: Penerapan di Beberapa Kasus Korupsi di Indonesia
a. Kasus Korupsi e-KTP
Kasus ini melibatkan kerugian negara sebesar Rp2,3 triliun. Dalam pendekatan Klitgaard, korupsi ini mencerminkan monopoli dalam pengadaan barang, diskresi tanpa kontrol pada proses tender, dan minimnya akuntabilitas pada sistem pengawasan proyek. Sementara itu, berdasarkan fraud triangle, kesempatan terjadi akibat lemahnya sistem pengadaan elektronik, tekanan muncul dari target proyek, dan rasionalisasi pelaku didasari oleh kepentingan politik.
b. Kasus Dana Desa
Banyak kepala desa di Indonesia terlibat korupsi dengan memanipulasi laporan penggunaan dana. Monopoli kewenangan kepala desa, diskresi dalam perencanaan anggaran, serta lemahnya pengawasan merupakan faktor utama dalam model Klitgaard. Dari sisi fraud triangle, kesempatan muncul karena pengawasan yang longgar, sementara tekanan berasal dari kebutuhan pribadi.
4. Evaluasi dan Rekomendasi
Untuk mengimplementasikan kedua pendekatan ini secara efektif, diperlukan:
Kerja Sama Lintas Sektor: Pemerintah, masyarakat, dan swasta harus bekerja sama dalam menciptakan sistem antikorupsi.
Teknologi untuk Transparansi: Sistem seperti blockchain dapat membantu menciptakan transparansi dalam pengelolaan anggaran.
Pendidikan dan Budaya Antikorupsi: Menanamkan nilai antikorupsi sejak dini melalui kurikulum sekolah dan pelatihan di tempat kerja.
Kesimpulan
Korupsi di Indonesia merupakan persoalan kompleks yang memerlukan pendekatan menyeluruh untuk memahaminya dan mencari solusinya. Pendekatan Jack Bologna melalui konsep Fraud Triangle memberikan penekanan pada aspek individu, dengan melihat tekanan, peluang, dan rasionalisasi sebagai faktor utama yang mendorong perilaku koruptif. Sementara itu, pendekatan Robert Klitgaard memperluas perspektif dengan menyoroti aspek sistemik melalui rumus "Korupsi = Monopoli + Diskresi Akuntabilitas". Â
Dengan menggabungkan kedua pendekatan ini, kita dapat memahami korupsi dari dua sudut pandang: mikro dan makro. Pendekatan Bologna membantu mengidentifikasi motivasi individu, sedangkan Klitgaard menawarkan analisis struktural yang menunjukkan bagaimana kelemahan institusi menciptakan peluang korupsi. Sinergi antara kedua pendekatan ini memberikan landasan yang kuat untuk merumuskan strategi yang komprehensif dalam mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia. Â
Oleh karena itu, penguatan sistem akuntabilitas, pengurangan monopoli kekuasaan, dan pembatasan diskresi pejabat harus diiringi dengan upaya mengurangi tekanan yang mendorong korupsi dan menciptakan sistem nilai yang menekan rasionalisasi perilaku tersebut. Pendekatan holistik ini diharapkan mampu menghadirkan perubahan nyata dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
 KasusÂ
Eksekusi Perkara Rafael Alun, KPK Setorkan Rp 40 Miliar ke Kas Negara (kpk.go.id)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melaksanakan eksekusi perkara atas nama Rafael Alun Trisambodo berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor: 4101 K/Pid.Sus/2024 tanggal 16 Juli 2024 jo Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 8/Pid.Sus-TPK/2024/PT DKI tanggal 7 Maret 2024 Â jo Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 75/Pid.Sus-TPK/2023/PN.Jkt.Pst tanggal 8 Januari 2024.
Jaksa Eksekusi KPK Leo Sukoto Manalu menyebut, KPK telah menyetorkan total nilai Rp 40,5 Miliar ke kas negara pada Selasa (27/8). "Nilai ini berasal dari uang pengganti yang dibebankan kepada terpidana Rafael Alun Trisambodo sebesar Rp10.079.095.519,00 (Sepuluh Milyar Tujuh Puluh Sembilan Juta Sembilan Puluh Lima Ribu Lima Ratus Sembilan Belas Rupiah), serta uang rampasan perkara gratifikasi dan TPPU Dengan jumlah keseluruhan Rp 29.907.264.407,00 (Dua Puluh Sembilan Miliar Sembilan Ratus Tujuh Juta Dua Ratus Enam Puluh Empat Ribu Empat Ratus Tujuh Rupiah)," terang Leo.Â
Selain dari perkara gratifikasi, KPK pun telah menyetorkan uang rampasan dari perkara TPPU Rafael Alun dengan jumlah Rp577.081.893,66 (Lima Ratus Tujuh Puluh Tujuh Juta Delapan Puluh Satu Ribu Delapan Ratus Sembilan Puluh Tiga Koma Enam Puluh Enam Rupiah).
Leo menyebut, pelaksanaan pidana badan terhadap Rafael Alun telah dilaksanakan pada tanggal 22 Agustus 2024 bertempat di lapas Kelas I Sukamiskin Bandung. Rafael Alun Trisambodo sebelumnya telah dijatuhi hukuman oleh majelis hakim berupa pidana penjara selama 14 tahun denda Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah jika tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
KPK pun terus berkoordinasi dengan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta III dan KPKNL Manado untuk melakukan penilaian terhadap sejumlah barang rampasan negara dari perkara Rafael Alun. Barang rampasan tersebut terdiri dari Handphone sebanyak 4 unit, Luxury goods sebanyak 32 unit, 2 paket perhiasan, kendaraan sebanyak Sembilan unit, tanah dan/atau bangunan sebanyak 13 titik di Jakarta dan Sulawesi Utama, Hasil penilaian yang dikeluarkan KPKNL ini selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan proses eksekusi lelang barang rampasan negara.
Teori ini menyoroti empat elemen utama yang mendorong perilaku korupsi:
1. Greed (Keserakahan): Dorongan untuk memperoleh kekayaan atau keuntungan pribadi yang melampaui kebutuhan normal. Keserakahan sering menjadi motivasi utama pelaku korupsi, seperti gaya hidup mewah yang tidak sesuai dengan penghasilan resmi.
2. Opportunity (Peluang): Situasi atau kondisi yang memungkinkan seseorang melakukan korupsi karena lemahnya pengawasan, kontrol, atau sistem keamanan. Peluang muncul dari kelemahan institusi atau sistem.
3. Need (Kebutuhan): Dorongan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak, baik itu kebutuhan ekonomi, sosial, atau psikologis. Dalam beberapa kasus, tekanan ekonomi atau sosial menjadi alasan bagi individu untuk melakukan tindakan koruptif.
4. Exposure (Paparan atau Risiko Terbongkar): Paparan merujuk pada risiko pelaku korupsi untuk tertangkap atau terungkap. Jika risiko ini rendah---karena lemahnya hukum atau sistem pengawasan---pelaku merasa aman untuk melakukan korupsi.
Penerapan Teori GONE dalam Kasus Rafael Alun
Dalam konteks kasus Rafael Alun, keempat elemen GONE dapat diidentifikasi:
1. Greed: Keserakahan terlihat dari gaya hidup mewah Rafael Alun dan kepemilikan aset yang tidak sesuai dengan pendapatan resminya sebagai pejabat Kementerian Keuangan. Motivasi untuk memperoleh kekayaan melampaui kebutuhan normal sangat mencolok dalam kasus ini.
2.Opportunity: Posisi strategis Rafael Alun dalam mengelola keuangan negara memberinya peluang besar untuk menyalahgunakan jabatan. Sistem pengawasan internal yang lemah memperbesar peluang ini.
3. Need: Meskipun kebutuhan ekonomi Rafael Alun mungkin terpenuhi dari gaji resmi, kebutuhan sosial dan status sering kali mendorong pejabat publik untuk mempertahankan gaya hidup tertentu, yang berujung pada tindakan koruptif.
4. Exposure: Sebelum kasusnya terungkap, risiko yang dihadapi Rafael Alun untuk tertangkap tampak rendah. Kurangnya transparansi dan lemahnya penegakan hukum terhadap pejabat publik memberikan kesan bahwa tindakannya dapat berlangsung tanpa terdeteksi.
Relevansi GONE dalam Solusi
Teori ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi memerlukan pendekatan komprehensif:
- Mengurangi keserakahanmelalui pendidikan etika dan pembatasan gaya hidup mewah.
- Menutup peluang dengan memperkuat sistem pengawasan dan transparansi.
- Mengelola kebutuhan individu melalui kebijakan remunerasi yang wajar.
- Meningkatkan paparan risiko dengan memperkuat penegakan hukum dan memastikan sanksi yang tegas.
Analisis  :
Kasus korupsi yang melibatkan Rafael Alun Trisambodo, seorang pejabat Kementerian Keuangan, menjadi salah satu kasus yang menonjol dalam lanskap pemberantasan korupsi di Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini menyetorkan Rp 40 miliar ke kas negara sebagai hasil dari proses hukum terhadap perkara ini. Dalam menganalisis kasus ini, pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna menawarkan dua perspektif yang dapat melengkapi pemahaman kita.
Pendekatan Fraud Triangle oleh Jack Bologna
Berdasarkan Fraud Triangle, kasus Rafael Alun dapat dijelaskan dengan mengidentifikasi tekanan, peluang, dan rasionalisasi yang mungkin memotivasi tindakannya:
1. Tekanan: Sebagai pejabat di instansi yang mengelola keuangan negara, tekanan untuk mempertahankan gaya hidup tinggi atau memenuhi ekspektasi sosial-ekonomi bisa menjadi salah satu faktor pendorong. Beberapa bukti yang terungkap menunjukkan gaya hidup mewah yang tidak sebanding dengan penghasilan resmi.
2. Peluang: Rafael Alun memiliki posisi yang memberinya akses signifikan terhadap kebijakan finansial dan aset negara. Lemahnya sistem pengawasan internal di lingkup tugasnya menciptakan peluang besar untuk menyalahgunakan wewenang.
3. Rasionalisasi: Rasionalisasi dapat muncul dari keyakinan bahwa tindakan tersebut adalah "praktik biasa" di lingkungan kerja tertentu atau bahwa sistem hukum dan pengawasan yang lemah dapat melindungi tindakannya.
Pendekatan ini membantu memahami motivasi pribadi yang mendasari kejahatan korupsi, menjelaskan mengapa seseorang dengan jabatan strategis dapat terlibat dalam perilaku koruptif.
Pendekatan Robert Klitgaard
Robert Klitgaard menyoroti dimensi struktural dalam kasus korupsi melalui formula "Korupsi = Monopoli + Diskresi Akuntabilitas". Dalam kasus Rafael Alun:
1. Monopoli Kekuasaan: Posisi strategisnya dalam mengelola keuangan negara memberinya otoritas yang signifikan atas pengambilan keputusan.
2. Diskresi Berlebihan: Kurangnya batasan yang jelas terhadap kewenangannya memungkinkan Rafael Alun bertindak tanpa pengawasan yang memadai.
3. Minim Akuntabilitas: Pengawasan internal yang tidak efektif, ditambah dengan kurangnya transparansi, menjadi faktor utama yang memperkuat praktik korupsi.
Pendekatan ini menyoroti bagaimana kelemahan sistemik di institusi publik dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi korupsi.
Implikasi dari Penyetoran Rp 40 Miliar ke Kas Negara
Keberhasilan KPK menyetorkan hasil eksekusi perkara ini menunjukkan komitmen dalam mengembalikan kerugian negara. Namun, hal ini hanya menyelesaikan sebagian kecil dari persoalan. Analisis di atas menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan menghukum pelaku. Perlu ada langkah-langkah untuk memperkuat sistem akuntabilitas, membatasi monopoli kekuasaan, dan mengurangi diskresi pejabat.
Kesimpulan
Dengan menggabungkan pendekatan Jack Bologna dan Robert Klitgaard, kasus Rafael Alun dapat dilihat sebagai hasil dari kombinasi faktor individu dan kelemahan sistemik. Solusi yang efektif harus mencakup reformasi struktural untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas di lembaga publik, disertai dengan pendidikan antikorupsi untuk mengurangi tekanan dan rasionalisasi di tingkat individu. Pendekatan ini dapat menjadi model dalam menangani kasus-kasus serupa di masa depan, menciptakan sistem yang lebih tangguh melawan korupsi.
Daftar Pustaka
1. Klitgaard, R. (1988). Controlling Corruption. University of California Press.
2. Bologna, J., & Lindquist, R. J. (1995). Fraud Auditing and Forensic Accounting. John Wiley & Sons.
3. Komisi Pemberantasan Korupsi. (2023). Laporan Tahunan KPK 2023. Jakarta: KPK.
4. Transparency International. (2022). Corruption Perceptions Index 2022. Retrieved from www.transparency.org.
5. Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. (2023). Data Kasus Dana Desa. Jakarta: Depdagri.
6. Media Indonesia. (2023). "Korupsi Bansos Covid-19: Pelajaran Penting dari Sistem Pengawasan". Retrieved from www.mediaindonesia.com.
7. Tempo. (2023). "Studi Kasus: Skandal e-KTP dan Efeknya pada Sistem Kepemerintahan". Retrieved from www.tempo.co.
8. Siaran Pers(2024). Eksekusi Perkara Rafael Alun, KPK Setorkan Rp 40 Miliar ke Kas Negara. Retrieved from kpk.go.id
9. World Bank. (2023). Indonesia Public Sector Integrity Review. Washington, DC: World Bank.9.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H