Pendekatan Fraud Triangle oleh Jack Bologna
Berdasarkan Fraud Triangle, kasus Rafael Alun dapat dijelaskan dengan mengidentifikasi tekanan, peluang, dan rasionalisasi yang mungkin memotivasi tindakannya:
1. Tekanan: Sebagai pejabat di instansi yang mengelola keuangan negara, tekanan untuk mempertahankan gaya hidup tinggi atau memenuhi ekspektasi sosial-ekonomi bisa menjadi salah satu faktor pendorong. Beberapa bukti yang terungkap menunjukkan gaya hidup mewah yang tidak sebanding dengan penghasilan resmi.
2. Peluang: Rafael Alun memiliki posisi yang memberinya akses signifikan terhadap kebijakan finansial dan aset negara. Lemahnya sistem pengawasan internal di lingkup tugasnya menciptakan peluang besar untuk menyalahgunakan wewenang.
3. Rasionalisasi: Rasionalisasi dapat muncul dari keyakinan bahwa tindakan tersebut adalah "praktik biasa" di lingkungan kerja tertentu atau bahwa sistem hukum dan pengawasan yang lemah dapat melindungi tindakannya.
Pendekatan ini membantu memahami motivasi pribadi yang mendasari kejahatan korupsi, menjelaskan mengapa seseorang dengan jabatan strategis dapat terlibat dalam perilaku koruptif.
Pendekatan Robert Klitgaard
Robert Klitgaard menyoroti dimensi struktural dalam kasus korupsi melalui formula "Korupsi = Monopoli + Diskresi Akuntabilitas". Dalam kasus Rafael Alun:
1. Monopoli Kekuasaan: Posisi strategisnya dalam mengelola keuangan negara memberinya otoritas yang signifikan atas pengambilan keputusan.
2. Diskresi Berlebihan: Kurangnya batasan yang jelas terhadap kewenangannya memungkinkan Rafael Alun bertindak tanpa pengawasan yang memadai.
3. Minim Akuntabilitas: Pengawasan internal yang tidak efektif, ditambah dengan kurangnya transparansi, menjadi faktor utama yang memperkuat praktik korupsi.
Pendekatan ini menyoroti bagaimana kelemahan sistemik di institusi publik dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi korupsi.
Implikasi dari Penyetoran Rp 40 Miliar ke Kas Negara
Keberhasilan KPK menyetorkan hasil eksekusi perkara ini menunjukkan komitmen dalam mengembalikan kerugian negara. Namun, hal ini hanya menyelesaikan sebagian kecil dari persoalan. Analisis di atas menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan menghukum pelaku. Perlu ada langkah-langkah untuk memperkuat sistem akuntabilitas, membatasi monopoli kekuasaan, dan mengurangi diskresi pejabat.
Kesimpulan
Dengan menggabungkan pendekatan Jack Bologna dan Robert Klitgaard, kasus Rafael Alun dapat dilihat sebagai hasil dari kombinasi faktor individu dan kelemahan sistemik. Solusi yang efektif harus mencakup reformasi struktural untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas di lembaga publik, disertai dengan pendidikan antikorupsi untuk mengurangi tekanan dan rasionalisasi di tingkat individu. Pendekatan ini dapat menjadi model dalam menangani kasus-kasus serupa di masa depan, menciptakan sistem yang lebih tangguh melawan korupsi.
Daftar Pustaka
1. Klitgaard, R. (1988). Controlling Corruption. University of California Press.
2. Bologna, J., & Lindquist, R. J. (1995). Fraud Auditing and Forensic Accounting. John Wiley & Sons.
3. Komisi Pemberantasan Korupsi. (2023). Laporan Tahunan KPK 2023. Jakarta: KPK.
4. Transparency International. (2022). Corruption Perceptions Index 2022. Retrieved from www.transparency.org.
5. Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. (2023). Data Kasus Dana Desa. Jakarta: Depdagri.
6. Media Indonesia. (2023). "Korupsi Bansos Covid-19: Pelajaran Penting dari Sistem Pengawasan". Retrieved from www.mediaindonesia.com.
7. Tempo. (2023). "Studi Kasus: Skandal e-KTP dan Efeknya pada Sistem Kepemerintahan". Retrieved from www.tempo.co.
8. Siaran Pers(2024). Eksekusi Perkara Rafael Alun, KPK Setorkan Rp 40 Miliar ke Kas Negara. Retrieved from kpk.go.id
9. World Bank. (2023). Indonesia Public Sector Integrity Review. Washington, DC: World Bank.9.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H