Sebentar. Halaman rumahku kosong, tapi ada yang terasa janggal... sepertinya ada yang hilang dari daerah sini...
OH TIDAK, MOTORKU! Aku tadi pagi berangkat sekolah menaiki motorku! Bagaimana bisa aku melupakannya, dan memilih untuk membonceng Jessi tadi? Padahal aku seharian memikirkan tentang jalanan dan kendaraan - bahkan terbawa mimpi!
Aku panik, tidak tahu apakah aku harus memanggil kembali pengemudiku tadi untuk mengambil motorku ke sekolah, atau pasrah saja dan mengambilnya besok. Tanpa berpikir matang, aku mengikuti naluri bodohku untuk menelpon Sena.
"Halo, Sen- maaf... kamu tahu nggak kalau tadi pagi aku ke sekolah naik motorku?" Aku membuka percakapan dengan sedikit rasa bersalah.
"Lho, iya kah, Ndri? Terus, kenapa kamu membonceng Jessi tadi?" Tanya Sena heran.
"Aku juga nggak tahu! Aku sekarang bingung, bagaimana nasib motorku yang kesepian di pojok tempat parkir?"
"Ya sudah, tenang saja, Ndri!" Begitulah kata-kata terakhir Sena sebelum menutup teleponnya.
Tenang dari mana? Apa yang akan dia lakukan setelah ini? Apa yang harus aku lakukan demi motorku? Siapa yang akan bersedia menjadi perahu kecilku saat aku sedang tenggelam seperti ini?
Aku menenangkan diriku sejenak, berbaring di sofa ruang keluarga. Berharap ini semua hanya mimpi. Mustahil - aku berharap motorku secara ajaib sudah ada di depan rumahku saja. Tapi pastinya hal itu tidak bisa terjadi tanpa ada yang mengendarainya - yang seharusnya aku.
"TIIIN! TIIIN!" Hah? Oh, aku tertidur. Dan kembali dibangunkan oleh suara keras. Tapi, suara apa itu tadi?
Aku melihat ke luar jendelaku, dan aku melihat- Rafi? Apa yang sedang dia lakukan di depan rumahku?