"Boleh. Nanti kamu aku antar ya, sekarang aku mau tidur dulu," sahut Rafi.
"Aku bisa ikut, tapi mungkin aku agak telat, karena ada keperluan OSIS sebentar..." jawab Jessi.
"Aku kosong kok nanti pulang sekolah," jawabku.
Kami hening sejenak, menunggu jawaban dari 1 anak yang tersisa ini.
"Kamu bisa nggak, Erna?" Sena berusaha menarik perhatian Erna yang dari tadi sibuk sendiri dengan ponselnya.
"Nggak bisa, aku ada perlu malam ini. Aku kerjakan dari rumah saja, apa boleh?" Akhirnya, Erna menjawab.
"Sekarang saja, lalu kamu langsung kumpulkan ke Sena, supaya setidaknya kamu berkontribusi sedikit kepada kelompok ini," jujur, menurutku omongan Jessi ini agak menusuk. Tidak ada cara lain, sih.
Kami membagi tugas per anak, dan aku mendapatkan bagian definisi. Hasil studi dan pendapat ahli dapat kucari di internet dalam sekejap mata, namun itu semua sekadar untuk melengkapi tugas ini. Dari dulu, aku tidak pernah memahami apa makna "pahlawan" itu secara mendasar.
Maksudku, apakah kita perlu menggencat senjata demi diberi label "pahlawan"? Apakah kita harus berada dalam posisi yang terhormat, seperti guru dan orang tua agar bisa dipanggil "pahlawan"? Ku rasa aku belum menemukan syarat utama dalam menjadi pahlawan, karena jika pahlawan hanya berupa figur-figur seperti itu, maka penamaannya hanya bersandarkan pada pangkat dan tenaga.
Suara bel pulang yang begitu nyaring seharusnya merenggangkan kesesakan pada dadaku dari seharian, namun kali ini ikatan di dadaku tetap ketat. Agak melelahkan jika aku harus berkegiatan dengan mendadak seperti ini, tapi aku setuju dengan Sena - sebaiknya diselesaikan hari ini juga daripada ditunda-tunda - apalagi jika salah satu anggota kita kurang menjanjikan. Ah, meski begitu jelas bagaimana keberlangsungan kelompok ini nanti, aku tetap tidak boleh berburuk sangka.
"Ndri, kamu kenapa melamun begitu? Ayo, kuantarke rumahku naik motorku!" Sapa Jessi.