Abstrak
Gangguan disosiatif adalah kondisi psikologis yang melibatkan gangguan pada integrasi kesadaran, memori, identitas, atau persepsi individu terhadap dirinya sendiri dan dunia sekitar. Gangguan ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti gangguan identitas disosiatif yang sering kali terkait dengan pengalaman trauma berat, terutama pada masa kanak-kanak. Faktor genetik dan lingkungan juga turut berperan. Gejalanya dapat mencakup perasaan terlepas dari diri sendiri atau dunia sekitar, serta adanya identitas atau peran yang terpisah. Penanganan gangguan disosiatif memerlukan pendekatan multidisipliner, termasuk psikoterapi seperti terapi perilaku kognitif dan terapi trauma, serta dukungan medis untuk mengatasi gejala terkait. Pemahaman yang lebih baik mengenai gangguan ini penting untuk meningkatkan diagnosis dan pengobatan yang efektif guna memperbaiki kualitas hidup pasien.
Gangguan Disosiatif
Disosiatif merujuk pada suatu kondisi psikologis di mana seseorang mengalami gangguan dalam integrasi atau keterhubungan antara berbagai aspek kesadaran, identitas, memori, atau persepsi diri dan dunia sekitarnya. Secara sederhana, disosiasi adalah keadaan di mana seseorang merasa terpisah atau terlepas dari pikiran, perasaan, kenangan, atau bahkan tubuh mereka sendiri.
Disosiatif dapat terjadi sebagai respons terhadap trauma atau stres berat, di mana otak berusaha melindungi individu dari perasaan atau kenangan yang sangat mengganggu dengan memisahkannya secara sementara dari kesadaran mereka. Meskipun disosiatif bisa berfungsi sebagai mekanisme pertahanan yang berguna dalam jangka pendek, dalam jangka panjang kondisi ini bisa berkembang menjadi gangguan psikologis yang membutuhkan perhatian medis atau terapi.(Hidayat, A. (2016) )
Gangguan Disosiatif: Pemahaman dan Penanganannya
Gangguan disosiatif merupakan kelompok gangguan mental yang ditandai dengan gangguan dalam integrasi antara kesadaran, ingatan, identitas, dan persepsi diri. Kondisi ini menyebabkan individu merasa terpisah atau terlepas dari realitas mereka, yang bisa memengaruhi cara mereka mengingat kejadian-kejadian tertentu, mengenali diri mereka sendiri, atau bahkan berinteraksi dengan orang lain. Biasanya, gangguan disosiatif terjadi sebagai respons terhadap trauma atau tekanan psikologis yang berat. Dalam tulisan ini, akan dibahas berbagai jenis gangguan disosiatif, penyebabnya, gejala yang muncul, serta pendekatan pengobatan yang dapat membantu individu yang mengalaminya.
Jenis-Jenis Gangguan Disosiatif
Gangguan disosiatif adalah kondisi psikologis di mana terjadi gangguan dalam integrasi antara berbagai aspek kesadaran, identitas, memori, atau persepsi diri dan dunia sekitar. Beberapa jenis gangguan disosiatif yang umum dijumpai meliputi:
Gangguan Identitas Disosiatif (DID)
Gangguan identitas disosiatif adalah salah satu jenis gangguan disosiatif yang paling dikenal, di mana individu memiliki dua atau lebih identitas atau kepribadian yang berbeda. Setiap identitas ini dapat muncul secara bergantian dan memiliki pola pikir, perilaku, ingatan, serta perasaan yang berbeda. DID sering terjadi akibat trauma berat, terutama yang dialami sejak masa kanak-kanak, seperti kekerasan fisik, emosional, atau seksual. Individu dengan DID mungkin merasa bingung tentang siapa diri mereka atau merasa bahwa mereka memiliki kehidupan yang terpisah dalam pikiran mereka.Amnesia Disosiatif
Amnesia disosiatif adalah kondisi di mana individu mengalami kehilangan ingatan yang signifikan terhadap peristiwa atau periode tertentu dalam hidup mereka. Kehilangan ingatan ini biasanya tidak dapat dijelaskan dengan kondisi medis lainnya, seperti cedera otak, dan sering kali terjadi setelah pengalaman traumatis. Amnesia disosiatif tidak hanya melibatkan hilangnya ingatan tentang fakta atau kejadian, tetapi juga dapat mencakup hilangnya identitas pribadi atau perasaan terlepas dari diri sendiri.Depersonalisasi dan Derealisasi
Depersonalisasi dan derealisasi adalah kondisi di mana individu merasa terpisah dari diri mereka sendiri (depersonalisasi) atau merasa bahwa dunia sekitar mereka tidak nyata (derealisasi). Seseorang yang mengalami depersonalisasi mungkin merasa bahwa tubuh mereka bukan milik mereka atau mereka sedang mengamati diri mereka dari luar. Sementara itu, derealisasi melibatkan perasaan bahwa lingkungan sekitar tidak nyata atau seperti dalam mimpi. Kedua kondisi ini sering kali disertai dengan perasaan cemas atau bingung dan bisa disebabkan oleh stres atau trauma yang luar biasa.
Penyebab Gangguan Disosiatif
Gangguan disosiatif umumnya berakar pada pengalaman trauma yang ekstrem, terutama pada masa kanak-kanak. Trauma yang tidak teratasi atau tidak dapat diproses secara emosional sering menjadi penyebab utama gangguan ini. Ketika individu mengalami trauma yang sangat mengganggu, otak mereka dapat "melindungi" mereka dengan cara menangguhkan atau memisahkan ingatan atau perasaan terkait dengan kejadian tersebut. Meskipun ini dapat dianggap sebagai mekanisme pertahanan psikologis yang berguna dalam jangka pendek, dalam jangka panjang hal ini bisa berkembang menjadi gangguan disosiatif.
Selain trauma, faktor lain seperti faktor genetik, pola pengasuhan yang buruk, dan stres lingkungan yang berkelanjutan juga dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami gangguan disosiatif. Namun, tidak semua orang yang mengalami trauma akan mengembangkan gangguan disosiatif, yang menunjukkan bahwa faktor individu, seperti ketahanan mental dan dukungan sosial, juga memainkan peran penting. Berikut adalah beberapa penyebab utama gangguan disosiatif:
Trauma Psikologis (Terutama pada Masa Kanak-Kanak)
Trauma ekstrem pada masa kanak-kanak, seperti kekerasan fisik, emosional, atau seksual, adalah penyebab utama gangguan disosiatif. Disosiasi bertindak sebagai mekanisme perlindungan yang memungkinkan individu untuk melarikan diri dari kenyataan yang menyakitkan.Kekerasan atau Pelecehan
Kekerasan fisik atau pelecehan seksual adalah bentuk trauma yang dapat memicu gangguan disosiatif. Disosiasi membantu individu mengatasi pengalaman yang sangat mengganggu dengan memisahkan diri dari perasaan atau kenangan terkait peristiwa tersebut.Stres atau Tekanan Psikologis Berat
Stres berat, seperti kecelakaan, bencana alam, atau kehilangan orang yang sangat dekat, bisa menjadi pemicu gangguan disosiatif. Individu yang menghadapi stres berlebihan tanpa mekanisme koping yang memadai bisa merespons dengan disosiasi.Lingkungan Keluarga yang Tidak Stabil atau Tidak Mendukung
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh kekerasan atau pengabaian cenderung lebih berisiko mengembangkan gangguan disosiatif.Faktor Genetik dan Keturunan
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik dapat berperan dalam pengembangan gangguan disosiatif. Individu dengan riwayat keluarga gangguan mental tertentu lebih rentan mengalaminya.Kehilangan yang Drastis atau Peristiwa Kehilangan Menghancurkan
Kehilangan yang besar, seperti kematian orang dekat, perceraian, atau kehilangan status sosial, dapat memicu gangguan disosiatif.
Pendekatan Pengobatan untuk Gangguan Disosiatif
Pengobatan gangguan disosiatif memerlukan pendekatan yang holistik dan multidisipliner, mengingat kompleksitas gangguan ini yang melibatkan aspek psikologis, emosional, dan terkadang fisik. Tujuan utama pengobatan adalah membantu individu mengatasi trauma yang mendasari gangguan disosiatif dan memperbaiki integrasi antara kesadaran, ingatan, identitas, dan persepsi diri. Berikut ini adalah beberapa pendekatan pengobatan yang umum digunakan:
1. Psikoterapi
Psikoterapi adalah pendekatan utama dalam pengobatan gangguan disosiatif. Terapi ini berfokus pada membantu individu mengidentifikasi, memproses, dan mengatasi pengalaman traumatis yang menjadi penyebab utama gangguan mereka. Beberapa jenis terapi yang sering digunakan antara lain:
Terapi Perilaku Kognitif (CBT)
Terapi perilaku kognitif adalah pendekatan yang membantu individu mengidentifikasi dan mengubah pola pikir atau perilaku yang tidak sehat. Dalam konteks gangguan disosiatif, CBT digunakan untuk membantu pasien mengenali hubungan antara pengalaman traumatis dan gejala disosiatif yang mereka alami. Terapi ini bertujuan untuk menggantikan cara berpikir yang mengarah pada disosiasi dengan pola pikir yang lebih adaptif dan sehat.Terapi Pemrosesan Trauma (Trauma-Focused Therapy)
Terapi ini dirancang untuk membantu individu memproses trauma yang mendasari gangguan disosiatif. Teknik-teknik dalam terapi pemrosesan trauma sering kali melibatkan pemaparan kembali kepada peristiwa traumatis dengan cara yang aman dan terkontrol, sehingga individu dapat menghadapi dan memaknai perasaan atau ingatan tersebut. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam terapi ini adalah Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR), yang dapat membantu pasien memproses kenangan traumatis dengan lebih efektif.Terapi Integratif
Terapi ini berfokus pada membantu individu mengintegrasikan berbagai identitas atau kepribadian yang terpisah dalam kasus gangguan identitas disosiatif (DID). Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran diri dan memungkinkan individu untuk mengharmonisasikan aspek-aspek yang terpisah dari identitas mereka, membantu mereka untuk hidup lebih kohesif dan fungsional.
2. Pendekatan Medis
Dalam beberapa kasus, terapi psikologis saja tidak cukup untuk mengatasi gejala yang muncul dalam gangguan disosiatif. Oleh karena itu, pengobatan medis mungkin diperlukan untuk membantu mengelola gejala yang terkait, seperti kecemasan, depresi, atau gangguan tidur. Beberapa jenis obat yang dapat digunakan adalah:
Antidepresan
Obat-obatan ini dapat digunakan untuk mengatasi gejala depresi atau kecemasan yang sering muncul bersamaan dengan gangguan disosiatif. Antidepresan bekerja dengan menyeimbangkan kadar neurotransmitter dalam otak yang mempengaruhi suasana hati.Antianxiety (Obat Anti-Kecemasan)
Jika kecemasan menjadi salah satu gejala utama, obat-obatan untuk mengurangi kecemasan dapat diberikan, misalnya benzodiazepine atau jenis obat lain yang lebih aman untuk penggunaan jangka panjang.Antipsikotik
Dalam beberapa kasus yang lebih berat, antipsikotik dapat diberikan untuk membantu mengatasi gejala halusinasi atau gangguan persepsi yang mungkin terjadi, terutama pada individu dengan DID.
Perlu diingat bahwa penggunaan obat-obatan harus dilakukan dengan pengawasan medis yang ketat, dan pengobatan medis hanya digunakan untuk mendukung terapi psikologis.
3. Terapi Keluarga atau Dukungan Sosial
Gangguan disosiatif, terutama yang disebabkan oleh trauma masa kanak-kanak atau kekerasan dalam keluarga, sering kali memengaruhi dinamika hubungan keluarga. Oleh karena itu, terapi keluarga dapat menjadi bagian penting dari pemulihan. Terapi keluarga bertujuan untuk membantu anggota keluarga memahami gangguan yang dialami oleh individu, memberikan dukungan yang sehat, dan memperbaiki komunikasi serta interaksi yang terjalin di dalam keluarga.
Dukungan sosial yang kuat juga sangat penting dalam proses pemulihan. Kelompok dukungan yang terdiri dari individu yang memiliki pengalaman serupa dapat memberikan rasa diterima dan dimengerti, yang dapat mempercepat proses penyembuhan.
4. Pendekatan Alternatif dan Komplementer
Selain terapi konvensional, beberapa individu juga mungkin merasa terbantu dengan pendekatan alternatif yang melengkapi perawatan medis utama. Ini termasuk:
Meditasi dan Relaksasi
Teknik relaksasi seperti meditasi mindfulness, pernapasan dalam, dan yoga dapat membantu individu mengelola kecemasan, stres, dan ketegangan fisik yang terkait dengan gangguan disosiatif. Teknik ini dapat membantu individu menghubungkan kembali dengan tubuh mereka dan meningkatkan kesadaran diri.Terapi Seni
Terapi seni, seperti seni visual, musik, atau menulis, dapat memberikan cara ekspresif bagi individu untuk mengungkapkan perasaan dan kenangan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Terapi ini memungkinkan pasien untuk lebih mengintegrasikan perasaan mereka dan memproses trauma dengan cara yang kreatif.Hipnoterapi
Hipnoterapi digunakan dalam beberapa kasus gangguan disosiatif untuk membantu individu mengakses kenangan atau perasaan yang mungkin terpendam. Pendekatan ini dilakukan oleh terapis berlisensi yang dapat memandu individu dalam mencapai keadaan relaksasi yang dalam untuk memfasilitasi pemrosesan trauma.
5. Rehabilitasi dan Penyuluhan
Bagi individu yang mengalami gangguan disosiatif akibat kecanduan atau pola perilaku yang merusak, rehabilitasi dan penyuluhan mungkin diperlukan. Program rehabilitasi dapat membantu individu mengatasi kecanduan atau perilaku kompulsif yang berhubungan dengan gangguan disosiatif, serta mengajarkan keterampilan koping yang sehat.(Widyastuti, S. (2016)Â
Kesimpulan
Gangguan disosiatif adalah kondisi psikologis yang melibatkan gangguan pada integrasi kesadaran, identitas, memori, dan persepsi diri, yang sering kali dipicu oleh pengalaman trauma, terutama pada masa kanak-kanak. Gangguan ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti gangguan identitas disosiatif, amnesia disosiatif, dan depersonalisasi/derealisasi, yang dapat sangat mempengaruhi kualitas hidup individu. Penyebab utama gangguan disosiatif adalah trauma psikologis yang tidak dapat diproses dengan baik, meskipun faktor genetik, lingkungan, dan stres psikologis juga turut berkontribusi.
Penanganan gangguan disosiatif memerlukan pendekatan multidisipliner, dengan fokus pada psikoterapi yang berorientasi pada trauma, seperti terapi perilaku kognitif dan terapi pemrosesan trauma. Dalam beberapa kasus, dukungan medis, seperti obat-obatan, juga diperlukan untuk mengatasi gejala terkait, seperti kecemasan atau depresi. Pemahaman yang lebih mendalam tentang gangguan ini sangat penting untuk meningkatkan diagnosis dan pengobatan yang efektif, serta memberikan dukungan yang lebih besar bagi individu yang mengalaminya untuk mencapai pemulihan yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Hidayat, A. (2016). Psikopatologi dan gangguan mental: Penanganan dan terapi psikologis. Bandung: Alfabeta.
https://mediacerita.com/kenali-gangguan-identitas-disosiatif-sekitarmu/
Widyastuti, S. (2016). Psikoterapi untuk Gangguan Disosiatif. Surabaya: Penerbit Universitas Airlangga.
Sugianto, R. & Fitriani, D. (2019). Gangguan disosiatif dan trauma psikologis pada anak-anak: Sebuah tinjauan klinis. Jurnal Psikologi Indonesia, 5(1), 72-85.
Santoso, A. (2018). Mekanisme pertahanan diri pada gangguan disosiatif: Studi kasus pada remaja dengan trauma berat. Jurnal Psikologi Klinis, 9(2), 200-210.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI