Mohon tunggu...
Nafa Zahra Saphira
Nafa Zahra Saphira Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Penulis amatir yang sedang berusaha keluar dari zona nyaman. Gemar baca buku, terutama novel fiksi dan komik jejepangan. Sedikit banyak tahu tentang Kpop. Belakangan ini senang menulis daily jurnal. Memiliki keyakinan bahwa setiap karya pasti akan memilki pembacanya masing-masing.

Selanjutnya

Tutup

Roman Artikel Utama

Cerpen: Sudah Bukan Rahasia Bahwa Aku Suka

12 Oktober 2023   20:51 Diperbarui: 24 Oktober 2023   21:03 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Rafael Cerqueira: https://www.pexels.com

Hari Jumat siang seperti biasa Pendidikan dan Latihan alias Diklat Pramuka di sekolahku dimulai tepat pukul setengah dua. Aku merapikan kembali balok berlambang dua tunas kelapa di atas kedua bahu sambil kembali mengecek tampilan di cermin toilet. 

Setelahnya aku berlari kecil ke belakang barisan murid kelas sepuluh untuk berjaga kalau-kalau selama apel pembukaan nanti ada murid yang sakit.

Apel selesai. Barisan murid dibubarkan supaya kembali ke kelas masing-masing untuk diberikan penjelasan tentang materi hari ini. Sesuai hasil rapat kemarin, tugasku kali ini menjadi koordinator lapangan yang berkeliling ke setiap kelas dan memastikan Diklat berjalan sesuai jadwal.

"Nay, mumpung hari ini lo nggak kebagian tugas ngajar, bisa kali sepik-sepik Kak Adit." kata Sinta, salah satu Bantara yang hari ini mengajar di kelas 10 Bahasa A.

Bicara tentang Kak Adit, ia adalah salah satu anggota Dewan Pramuka sekolahku. Dewan adalah sebutan untuk siswa kelas 12 yang sudah purna kepengurusannya dan hanya bertanggung jawab mengawasi setiap kegiatan Pramuka yang dijalankan para Bantara kelas 11.

Memang sudah menjadi rahasia umum kalau aku, Nayra Handhita, siswi 11 IPA B, menyukai Adit Narendra, siswa 12 IPA C. Bisa dibilang, aku senang-senang malu. Senang karena tanpa harus confess, Kak Adit sudah tau perasaanku. Malu karena bayangkan saja satu sekolahan, bahkan Pak Satpam, tau soal kisah cinta monyet SMA-ku yang bertepuk sebelah tangan!

"Nggak ah, ogah banget. Yang ada nanti dia risih kalo gue mepet terus kayak gitu!" sahutku sambil melipat kertas berisi jadwal kegiatan ke dalam saku.

"Ey, dicoba aja dulu. Apa perlu gue bantuin awalannya? Hm? Hm?" Kedua alis Sinta naik turun menggodaku. "Lagian Nay, siapa tau ternyata Kak Adit kita yang gagah itu juga ada perasaan ke elo!"

"Gak usah ngelantur! Udeh sana ngajar, ah. Waktu ini lho, Sinta, waktu!" ucapku sambil mengetuk-ngetuk jam tangan. Sinta hanya membalas dengan gerakan hormat dan cengiran lebar.

Tidak kusangka hari ini semuanya berjalan sesuai rencana. Diklat di setiap kelas dipenuhi semangat adik-adik kelas sepuluh. Gemas sekali melihat mereka sangat antusias dengan materi tali temali yang diajarkan.

Apel penutupan berlangsung khidmat. Diakhiri dengan pesan singkat dari Pembina supaya pulang ke rumah dengan hati-hati dan sampai jumpa kembali pada Diklat minggu depan.

Seusai briefing singkat, sebagian pengurus pergi ke masjid untuk menunaikan ibadah Ashar. Ada yang ke toilet, ada pula yang duduk-duduk sambil berbincang di depan masjid. Ruang sanggar sepi, menyisakan aku sedang teratur melepas atribut Pramuka yang kukenakan. 

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Aku menoleh sambil memasukkan dasi ke dalam tas. Ternyata Kak Adit. Ia masuk dengan langkah tenang dan berhenti di depan mejaku.

"Yang lain pada ke mana, Dek?" tanyanya melihatku sendirian di ruangan ini.

Mati-matian menekan rasa gugup, aku berhasil menjawab dengan suara tenang, "Beberapa ada yang salat dan ada yang di toilet, Kak."

Aku lanjut memasukkan peluit dan balok ke dalam tas, tapi justru kurasakan tatapan Kak Adit masih tertuju padaku. Jadi kuberanikan untuk membalas tatapannya. "Mmm, ada apa, Kak?"

"Ini, nanti ada briefing lagi bareng Dewan. Tolong suruh temanmu yang lain jangan pada pulang dulu, ya."

"Oke, Kak. Nanti kusampaikan."

Percakapan terhenti. Anehnya, Kak Adit masih berdiri di dekat mejaku. Seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan lagi. Namun, ragu. Rasa gugupku entah kenapa perlahan menguar lenyap digantikan sensasi nyaman yang aman. Mungkin karena pembawaan Kak Adit yang begitu tenang, atau... karena aku akhirnya berani untuk mengobrol dengannya?

"Hari ini lancar, Dek?"

"Lancar, Kak. Tadi ada satu-dua yang molor dari jadwal, tapi selebihnya aman."

"Syukurlah."

Terhenti lagi. Mataku beralih menatap papan tulis putih yang bertuliskan hasil diskusi tadi. Kak Adit juga diam saja. Seolah setuju untuk membiarkan momen hening ini mengalir.

"Oke deh, kalo gitu aku ke luar duluan, ya." Suara beratnya menginterupsi. Mendadak gerak-geriknya terlihat sedikit canggung.

"Iya, Kak, silakan." Aku mencoba tersenyum senatural mungkin. Melihat bahu lelaki itu perlahan menjauh, ada sedikit rasa tak rela dalam hati. Aku tidak ingin ia pergi. Aku ingin lebih lama bersamanya. Aku ingin ia tahu, bahwa aku menyukainya.

"Kak!"

"Ya?" jawabnya dengan cepat bersamaan dengan tubuhnya yang berbalik, seperti memang menantikan panggilanku.

Aku yang tak siap dengan respon kilatnya, mendadak tergagap. "Eh... Aku...mau bilang sesuatu."

Kak Adit menelengkan kepalanya. "Bilang apa?"

Dengan satu tarikan napas aku memantapkan hati. "Aku suka sama Kakak."

Benar-benar, Nayra! Kesambet apa sih kamu semalam sampai berani sekali mengaku seperti ini padanya? Seketika aku menyesali tingkah konyolku barusan. 

Aku memejamkan kedua mataku, tidak siap oleh respon Kak Adit. Mungkin ia akan semakin risih padaku dan memilih untuk pura-pura tidak mendengar.

Di luar dugaan, justru terdengar tawa renyah Kak Adit. Aku reflek menatapnya kaget. Kedua alis laki-laki itu terangkat. "Aku tau. Bukannya udah jadi rahasia umum, ya?"

Mampus! Kedua pipiku makin panas. Perutku geli. Di satu sisi, sedikit demi sedikit kelegaan merayap di sekujur tubuhku. Persetan dengan rumor rahasia umum yang menyebar di sekolah. Lihat, hari ini aku sudah mengatakan langsung padanya.

"Tapi ada yang lebih rahasia dari itu, Kak." Kepalang malu, kupikir sekalian saja!

Mendengar itu Kak Adit berjalan pelan ke arahku. "Boleh tau?"

Aku mengangguk. Bibirku berkedut ingin sekali tertawa geli melihat wajah tampan itu penasaran menanti jawaban.

"Yang lebih rahasia adalah ... aku suka banget sama Kakak. Rasa sukaku meningkat 1% setiap lihat Kakak dari jauh. Kalau Kakak senyum, meningkat 3%. Kalau Kakak tertawa, meningkat 5% ... "

Tiba-tiba Kak Adit mendekatkan wajahnya ke depan wajahku, hanya menyisakan sejengkal jarak.

"Kalau begini, meningkatnya berapa persen?" ucapnya pelan sambil tersenyum jahil.

Tatapannya mengunci kedua mataku. Jantungku berdegup kencang sampai terasa mau meledak. Kupu-kupu di perutku semakin banyak beterbangan. Lalu, sudut-sudut bibirku terangkat dengan sendirinya.

"Sepuluh persen?" Aku menelengkan kepala dan membalas senyumannya.

Sontak Kak Adit menarik kembali wajahnya, "Sepuluh???" sahutnya tak terima.

"Ooo, kebanyakan? Kalo gitu ... delapan?" balasku tengil.

"Dek..."

"Hmm?"

"Cubit pipinya mau?"

"Pake cinta mau."

"Ngelunjak, ya!"

Sore itu, di ruang sanggar dengan cahaya matahari yang lebih hangat dari biasanya, kami tertawa lepas. Aku sudah tidak akan lagi pencitraan di depannya. 

Masa bodoh dengan image-ku di matanya. Sekarang aku memutuskan untuk menyukainya terang-terangan. Tidak ada lagi rahasia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun