"Ooo, kebanyakan? Kalo gitu ... delapan?" balasku tengil.
"Dek..."
"Hmm?"
"Cubit pipinya mau?"
"Pake cinta mau."
"Ngelunjak, ya!"
Sore itu, di ruang sanggar dengan cahaya matahari yang lebih hangat dari biasanya, kami tertawa lepas. Aku sudah tidak akan lagi pencitraan di depannya.Â
Masa bodoh dengan image-ku di matanya. Sekarang aku memutuskan untuk menyukainya terang-terangan. Tidak ada lagi rahasia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H