"Syukurlah."
Terhenti lagi. Mataku beralih menatap papan tulis putih yang bertuliskan hasil diskusi tadi. Kak Adit juga diam saja. Seolah setuju untuk membiarkan momen hening ini mengalir.
"Oke deh, kalo gitu aku ke luar duluan, ya." Suara beratnya menginterupsi. Mendadak gerak-geriknya terlihat sedikit canggung.
"Iya, Kak, silakan." Aku mencoba tersenyum senatural mungkin. Melihat bahu lelaki itu perlahan menjauh, ada sedikit rasa tak rela dalam hati. Aku tidak ingin ia pergi. Aku ingin lebih lama bersamanya. Aku ingin ia tahu, bahwa aku menyukainya.
"Kak!"
"Ya?" jawabnya dengan cepat bersamaan dengan tubuhnya yang berbalik, seperti memang menantikan panggilanku.
Aku yang tak siap dengan respon kilatnya, mendadak tergagap. "Eh... Aku...mau bilang sesuatu."
Kak Adit menelengkan kepalanya. "Bilang apa?"
Dengan satu tarikan napas aku memantapkan hati. "Aku suka sama Kakak."
Benar-benar, Nayra! Kesambet apa sih kamu semalam sampai berani sekali mengaku seperti ini padanya? Seketika aku menyesali tingkah konyolku barusan.Â
Aku memejamkan kedua mataku, tidak siap oleh respon Kak Adit. Mungkin ia akan semakin risih padaku dan memilih untuk pura-pura tidak mendengar.