Kala itu, pagi -- pagi, saya  terhentak ketika membaca begitu banyak pesan di salah satu media sosial. Biasanya seputar postingan tentang paslon yang dilontarkan oleh para die-hardnya. Kali ini tentang seorang anak usia SMP di kota Pontianak, kota yang dilalui oleh garis khatulistiwa, persis di garis tengah yang melingkari bumi, membelah bumi menjadi dua: utara dan selatan. Reaksi awal ketika membaca melalui media sosial tentang kasus ini adalah: ah, yang benar? Jangan-jangan hoax.Â
Saya pun kemudian mencari informasi dari berbagai sumber tentang kasus ini yang condong pada kesimpulan bahwa ini kasus riil bukan hoax meskipun ada beberapa detil tentang kasus yang memiliki kesamaan dengan karakteristik berita atau informasi yang bersifat hoax (terutama seputar paslon pilpres), yaitu: cenderung dilebih-lebihkan untuk menjunjung yang satu dan merendahkan yang lain.Â
Dalam kasus ini, reaksi awal yang jelas tertangkap di sosial media adalah cenderung mengarah ke upaya menghukum seberat-beratnya pelaku yang masih dibawah umur tersebut karena digambarkan sebagai sekelompok anak yang tidak punya rasa bersalah, sangat keterlaluan sehingga layak dihukum bahkan adanya desakan untuk merevisi perundang-undangan yang dinilai kurang menjerakan pelaku dibawah umur.Â
Pertama -- tama, kasus Pontianak yang ada persis di garis khatulistiwa, garis tengah dunia ini, harapannya membuat kita semua masyarakat yang saat ini dengan mudahnya terpolarisasi ke ke 01 atau 02, setidaknya mau bergerak ketengah untuk memahami apa yang terjadi. Â Ternyata ada kesamaan di 'grup WAÂ 01 dan 02, sama -- sama prihatin tentang kasus ini, sama -- sama peduli tentang anak, masa depan bangsa.
Dari tengah, saya mau berempati pada saksi korban A.
Pengalaman yang dialami A seperti yang digambarkan dan diceritakan di berbagai media merupakan pengalaman kekerasan. Pengalaman ini merupakan suatu pengalaman traumatik: diluar dugaan, tiba-tiba, tanpa persiapan sebelumnya dan menimbulkan luka tidak hanya fisik namun yang utama adalah luka psikologis.Â
Pengalaman tersebut diluar batas kesanggupan A untuk menghadapinya dengan memanfaatkan sumber daya diri dan dukungan sosial yang dimiliki.Â
Reaksi psikologis yang umumnya dialami paska pengalaman traumatik: (1) penghayatan emosi negatif yang mendalam, mis: sedih, takut, tidak berdaya bahkan marah, yang menyertai reaksi fisik karena ketergugahan (misalnya: keringat dingin, jantung berdebar-debar); (2) berbagai gejala penghindaran, mis. tidak mau membicarakannya, dan (3) gejala yang berhubungan dengan penghayatan seolah-olah mengalami kembali kejadian di masa lalu tersebut dalam konteks waktu sekarang -- re-experiencing, misalnya tampil dalam bentuk mimpi buruk, flashback.Â
Keluarga, lingkungan terdekat dan masyarakat perlu memahami bahwa reaksi traumatik yang dialami tersebut merupakan reaksi yang wajar setelah menghadapi pengalaman yang tidak wajar.
Pernyataan atau tanggapan yang mungkin bermaksud untuk memotivasi, seperti: jangan bersedih, tidak perlu takut, sejatinya kontraproduktif dan tidak menunjukkan empati. Termasuk upaya berbagai pihak dalam rangka mengundang perhatian dan menunjukkan kepedulian untuk mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak dengan berbagai bentuk publikasi yang melanggar privasi (foto ybs di berbagai media sosial, ekspos nama dan data diri: asal sekolah, dll, klip artis pujaan untuk memotivasi) juga merupakan bentuk dukungan yang mungkin berniat baik namun tidak empatik dan tidak mendukung pemulihan korban. Â
Sejatinya niat baik saja tidak cukup, apapun bentuk upaya yang berniat baik bagi korban perlu dipastikan tidak mengganggu atau menghambat pemulihan korban, do no harm. Membangun rasa aman pada korban menjadi sangat penting.Â
Selain itu, upaya terlalu cepat untuk mendamaikan saksi korban dan pelaku bahkan mempertemukan saksi korban dengan pelaku maupun keluarga pelaku tentunya tidak membangun rasa aman dan menghambat proses pemulihan yang bersifat individual.Â
Kepentingan terbaik bagi anak sebagai saksi korban dalam kasus ini adalah: kesempatan yang aman untuk memberikan keterangan/informasi selengkap mungkin tentang pengalamannya dalam suasana investigasi yang obyektif namun tetap empatik; mendorong upaya pemulihan dengan sesegera mungkin mengusahakan anak kembali ke keberfungsian sosialnya seperti biasanya (sekolah, bermain, menjalankan kembali rutinitas seperti biasanya)
Dari tengah, saya mau memahami sekelompok anak remaja yang diduga sebagai pelaku.Â
Sebagai mahasiswa di bidang Psikologi Forensik, sub disiplin Psikologi yang fokus terapannya adalah dalam bidang penegakan hukum, kasus ini mengundang keprihatinan saya sekaligus ketertarikan untuk memahami lebih lanjut dan mendalam aspek psikologis yang khas dari sekelompok adik -- adik perempuan (kabarnya 12 orang) yang seperti digambarkan di sosial media tega-teganya melakukan tindakan kejam dan tidak berperikemanusiaan kepada sesamanya bahkan yang usianya juga dikabarkan lebih muda.Â
Tidak ada satu penjelasan yang paling tepat untuk memahami mengapa hal ini bisa terjadi. Bukan karena mereka anak dari pejabat yang merasa diri mereka terlindungi dan akan lolos.Â
Hal yang pasti adalah siapapun apalagi remaja, karena perkembangannya, ketika berada dalam kelompok atau lebih luas dalam kerumunan saat adanya provokasi untuk bertindak agresif, akan sangat beresiko untuk kehilangan rasa ke-diri-annya, identitas dirinya sebagai anak yang sebut saja bernama Bunga, anak dari Ibu/Bapak X dengan ciri positif, seperti: ramah, agamis, melebur ke dalam identitas bersama, kelompok yang anonym yang terprovokasi untuk bertindak agresif, bukan lagi Bunga, namun genk tanpa nama.Â
Hal ini disebut Gustave Le Bon, seorang psikolog sosial dari Perancis sebagai gejala deindividuasi ketika seseorang berada dalam kerumunan, kelompok orang yang memiliki tujuan yang sama.Â
Deindividuasi ini membuat seorang individu menjadi jauh lebih bernyali, irrasional, reaktif dan memuncaknya ketergugahan (hyperarousal) yang berbuah tindakan agresif. Terjadi penularan 'virus': emosi negatif yang intens saat ada dalam kerumunan.Â
Ada norma darurat yang mengemuka dan jadi acuan khusus hanya saat itu saja. Tingkah laku kumpulan individu saat itu yang sangat agresif, irasional dan keji tersebut tidak otomatis terjadi begitu saja.Â
Perlu adanya kondisi 'jerami kering', pra insiden, yang berpotensi disulut dengan adanya provokasi, 'korek api', ditambah eskalasi emosi yang cepat, drastis dan memuncak sehingga terjadi tindakan yang sejatinya tidak berperikemanusiaan terjadi. Diberitakan kecemburuan sebagai jerami kering, posting-an di media sosial dan pernyataan provokatif dari individu lain saat insiden sebagai korek apinya.Â
Pelaku mengembangkan pemikiran bahwa dia berhak, memiliki privillege untuk melakukannya. Â Memang secara individual, ada individu tertentu yang lebih memiliki kerentanan untuk bertingkah laku kekerasan karena faktor psikososialnya, misalnya: dibesarkan dalam keluarga yang penuh KDRT, memiliki ciri kepribadian antisosial, dll. Individu tersebut lebih beresiko, lebih mudah untuk melakukan kekerasan termasuk mengulanginya lagi di waktu yang akan datang.
Kita sebagai orang dewasa bertanya jika benar seperti yang diberitakan di media, mengapa sedemikian sadis dan kerasnya, darimana anak-anak bangsa kita ini belajar hal tersebut?Â
Jawaban singkatnya, mereka belajar dari lingkungannya. Saya percaya bahwa seorang pelaku kekerasan dibawah umur sejatinya merupakan seorang korban.Â
Korban dari eksposur/paparan lingkungan, terutama dari orang dewasa, yang bermuatan kekerasan apapun bentuknya dalam keseharian.Â
Mulai dari pernyataan nyinyir yang merendahkan kemanusiaan satu sama lain di dalam pergaulan, sampai yang muncul di media sosial dalam konteks kehidupan berbangsa. Perilaku kekerasan ekspresi frustrasi atau yang bertujuan untuk mengendalikan dan menguasai di lingkup rumah tangga sampai di panggung politik yang marak terjadi.Â
Semuanya ini, disadari atau tidak, menguatkan ide di anak -- anak kita bahwa kekerasan adalah suatu solusi yang dapat diambil untuk mendapatkan kembali apa yang diinginkan, apa yang dianggap berhak untuk diperoleh. Â Â
Kita tegas menolak bahkan mengutuk perilaku kekerasan yang dilakukan oleh anak. Namun sebagai individu dewasa, penting untuk membedakan antara tingkah laku dan anak itu sendiri sebagai person. Orang dewasa wajib menaruh respek terhadap anak termasuk pelaku anak sebagai  person, seorang individu yang sedang tumbuh dan berkembang.Â
Orang dewasa perlu berupaya untuk membantu adik -- adik pelaku yang masih remaja tersebut menyongsong masa depannya. Upaya merehabilitasi pelaku menjadi prioritas yang harus dijalankan. Mereka perlu dibantu untuk melihat bahwa ada alternatif cara lain tanpa kekerasan yang dapat dipakai dalam interaksi dengan orang lain.
Setiap individu termasuk anak remaja berkembang dalam lingkungan sosialnya. Konsekuensinya adalah pelibatan orangtua, orang dewasa yang berpengaruh di sekitar anak adalah hal yang juga sangat penting.Â
Kecenderungan untuk menyalahkan orangtua, keluarga, orang dewasa disekitar anak atas apa yang telah terjadi karena penilaian bahwa orangtua abai, guru/sekolah kurang tegas, pendidikan agama kurang berjalan, orangtua terlalu memanjakan anak, dan lain-lain menjadi kontraproduktif.Â
Perubahan ke arah yang lebih positif pada anak melalui berbagai intervensi psikososial yang dilakukan cenderung tidak bertahan lama apabila keluarga, lingkungan terdekat tempat anak tumbuh dan berkembang juga tidak diintervensi.Â
Upaya perubahan tingkahlaku pun harus dipahami sebagai suatu proses dinamis yang tidak instan, tidak berorientasi pencitraan di media sosial. Perubahan tingkah laku anak sebagai pelaku ini lah yang menjadi fokus dari upaya rehabilitasi pelaku anak.Â
Rehabilitasi pelaku bukan berarti membebaskan pelaku sepenuhnya untuk mempertanggungjawabkan tindak kekerasan yang telah dilakukan. Upaya penegakan hukum yang memperhatikan kepentingan terbaik anak baik sebagai korban maupun pelaku tetap perlu dijalankan.
Dari tengah, saya mau membayangkan tentang bagaimana jalannya upaya investigasi dan penegakan hukum dalam kasus ini.Â
Hal yang menarik dalam kasus ini, tidak lama setelah kasus ini viral di media dan muncul suatu gerakan publik di sosial media, masyarakat dihadapkan dengan berita dari konferensi pers di kantor kepolisian setempat, dimana remaja yang diduga sebagai pelaku membantah tuduhan yang selama ini beredar di media sosial.Â
Pihak kepolisian juga menyampaikan simpulan hasil visum medis yang tidak menemukan adanya luka di area genital saksi korban seperti yang diberitakan di sosial media.Â
Memang, upaya penegakan hukum kasus kekerasan dimana saksi korban dan pelaku masih berusia anak merupakan aktivitas profesional yang kompleks.Â
Berbagai intervensi yang fokus pada pemulihan psikologis maupun mendatangkan rasa aman pada saksi korban idealnya mendukung upaya investigasi yang sedang dan akan berlangsung untuk memberikan titik terang tentang apa yang sebenar-benarnya terjadi.
Fakta yang benar (ground truth) hanya dialami dan diketahui oleh saksi korban dan pelaku saat kejadian berlangsung. Pengalaman tersebut menjadi ingatan masa lalu, tersimpan dalam memori saksi korban dan pelaku. Upaya penegakan hukum berupaya untuk memanggil kembali ingatan -- ingatan tersebut dalam konteks waktu sekarang.Â
Hal ini tentunya tidak mudah. Secara psikologis, ingatan saksi korban dan pelaku rentan mengalami distorsi karena berusaha untuk digali di konteks waktu yang berbeda.Â
Oleh karena itu penting untuk memberikan dukungan terhadap APH terutama pihak kepolisian supaya dapat menjalankan penyidikan secara obyektif, tidak memihak dengan bias yang minimal.Â
Penyidik diharapkan melakukan investigasi kriminal dengan menggunakan metode penyidikan berbasis riset empirik yang terbukti efektif mengungkap informasi yang kredibel dan berkualitas, misalnya: pemanfaatan protokol wawancara forensik bagi saksi korban dan tersangka, prosedur investigasi yang meminimalkan bias dan bebas tekanan eksternal.
Hal yang menjadi penting dalam kajian psikologi hukum adalah efek dari publisitas sebelum persidangan (pre-trial publicity) terhadap pengambilan keputusan dalam penegakan hukum yang berlangsung.Â
Hasil riset di berbagai negara dengan sistem yuridiksi yang berbeda-beda menunjukkan bahwa ketika suatu kasus mendapatkan ketenaran sebelum berlangsungnya persidangan berpotensi terjadinya bias dalam pengambilan keputusan oleh aparat penegak hukum.Â
Oleh karena itu di era tingginya eksposure sosial media di masyarakat, tugas instrumen penegakan hukum menjadi lebih kompleks, dalam rangka melindungi dari efek pre-trial publicity tersebut.
 Masyarakat perlu optimis terhadap upaya penegakan hukum yang akan dan sedang berlangsung. Kita menyerahkan dan mendukung pihak penegak hukum menyelidiki kasus ini secara profesional dan terus memantau setiap prosesnya.Â
Pelibatan multidisiplin lain, bukan metafisik, sufistik atau pseudoscience, untuk memperkuat penerapan ilmu hukum, dapat membantu upaya penegakan hukum.Â
Upaya penegakan hukum pun perlu mendengar dan memahami berbagai reaksi masyarakat yang muncul dan umumnya terpolarisasi tentang kasus tanpa terhanyut atau larut.Â
Aparat penegak hukum dan ahli yang terlibat diharapkan menerapkan model kerja scenario-building dalam mengevaluasi keajegan (reliability) pernyataan yang diberikan, yaitu sejak awal mengembangkan minimal 2 skenario, yaitu: skenario A berdasarkan asumsi bahwa pernyataan yang diberikan mengacu pada pengalaman yang sebenarnya terjadi dan skenario B didasarkan pada asumsi bahwa pernyataan tersebut tidak sesuai fakta pengalaman yang terjadi.Â
Keterampilan berkomunikasi efektif: mendengar aktif, memberikan pertanyaan yang mengundang respons bukan mengarahkan apalagi mensugesti, memberikan respons dukungan tanpa berlebihan, mengendalikan bias diri dalam berkomunikasi merupakan seperangkat keterampilan yang penting untuk dilatihkan, terus digunakan dan dikuasai oleh aparat penegak hukum terutama ketika berhadapan dengan kasus khusus, terutama kasus anak.
Nael Sumampouw
Psikolog Klinis Forensik, Fakultas Psikologi UI, Asosiasi Psikologi Forensik-HIMPSI
Mahasiswa Penerima Beasiswa LPDP
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H