Selain itu, upaya terlalu cepat untuk mendamaikan saksi korban dan pelaku bahkan mempertemukan saksi korban dengan pelaku maupun keluarga pelaku tentunya tidak membangun rasa aman dan menghambat proses pemulihan yang bersifat individual.Â
Kepentingan terbaik bagi anak sebagai saksi korban dalam kasus ini adalah: kesempatan yang aman untuk memberikan keterangan/informasi selengkap mungkin tentang pengalamannya dalam suasana investigasi yang obyektif namun tetap empatik; mendorong upaya pemulihan dengan sesegera mungkin mengusahakan anak kembali ke keberfungsian sosialnya seperti biasanya (sekolah, bermain, menjalankan kembali rutinitas seperti biasanya)
Dari tengah, saya mau memahami sekelompok anak remaja yang diduga sebagai pelaku.Â
Sebagai mahasiswa di bidang Psikologi Forensik, sub disiplin Psikologi yang fokus terapannya adalah dalam bidang penegakan hukum, kasus ini mengundang keprihatinan saya sekaligus ketertarikan untuk memahami lebih lanjut dan mendalam aspek psikologis yang khas dari sekelompok adik -- adik perempuan (kabarnya 12 orang) yang seperti digambarkan di sosial media tega-teganya melakukan tindakan kejam dan tidak berperikemanusiaan kepada sesamanya bahkan yang usianya juga dikabarkan lebih muda.Â
Tidak ada satu penjelasan yang paling tepat untuk memahami mengapa hal ini bisa terjadi. Bukan karena mereka anak dari pejabat yang merasa diri mereka terlindungi dan akan lolos.Â
Hal yang pasti adalah siapapun apalagi remaja, karena perkembangannya, ketika berada dalam kelompok atau lebih luas dalam kerumunan saat adanya provokasi untuk bertindak agresif, akan sangat beresiko untuk kehilangan rasa ke-diri-annya, identitas dirinya sebagai anak yang sebut saja bernama Bunga, anak dari Ibu/Bapak X dengan ciri positif, seperti: ramah, agamis, melebur ke dalam identitas bersama, kelompok yang anonym yang terprovokasi untuk bertindak agresif, bukan lagi Bunga, namun genk tanpa nama.Â
Hal ini disebut Gustave Le Bon, seorang psikolog sosial dari Perancis sebagai gejala deindividuasi ketika seseorang berada dalam kerumunan, kelompok orang yang memiliki tujuan yang sama.Â
Deindividuasi ini membuat seorang individu menjadi jauh lebih bernyali, irrasional, reaktif dan memuncaknya ketergugahan (hyperarousal) yang berbuah tindakan agresif. Terjadi penularan 'virus': emosi negatif yang intens saat ada dalam kerumunan.Â
Ada norma darurat yang mengemuka dan jadi acuan khusus hanya saat itu saja. Tingkah laku kumpulan individu saat itu yang sangat agresif, irasional dan keji tersebut tidak otomatis terjadi begitu saja.Â
Perlu adanya kondisi 'jerami kering', pra insiden, yang berpotensi disulut dengan adanya provokasi, 'korek api', ditambah eskalasi emosi yang cepat, drastis dan memuncak sehingga terjadi tindakan yang sejatinya tidak berperikemanusiaan terjadi. Diberitakan kecemburuan sebagai jerami kering, posting-an di media sosial dan pernyataan provokatif dari individu lain saat insiden sebagai korek apinya.Â
Pelaku mengembangkan pemikiran bahwa dia berhak, memiliki privillege untuk melakukannya. Â Memang secara individual, ada individu tertentu yang lebih memiliki kerentanan untuk bertingkah laku kekerasan karena faktor psikososialnya, misalnya: dibesarkan dalam keluarga yang penuh KDRT, memiliki ciri kepribadian antisosial, dll. Individu tersebut lebih beresiko, lebih mudah untuk melakukan kekerasan termasuk mengulanginya lagi di waktu yang akan datang.