Kita sebagai orang dewasa bertanya jika benar seperti yang diberitakan di media, mengapa sedemikian sadis dan kerasnya, darimana anak-anak bangsa kita ini belajar hal tersebut?Â
Jawaban singkatnya, mereka belajar dari lingkungannya. Saya percaya bahwa seorang pelaku kekerasan dibawah umur sejatinya merupakan seorang korban.Â
Korban dari eksposur/paparan lingkungan, terutama dari orang dewasa, yang bermuatan kekerasan apapun bentuknya dalam keseharian.Â
Mulai dari pernyataan nyinyir yang merendahkan kemanusiaan satu sama lain di dalam pergaulan, sampai yang muncul di media sosial dalam konteks kehidupan berbangsa. Perilaku kekerasan ekspresi frustrasi atau yang bertujuan untuk mengendalikan dan menguasai di lingkup rumah tangga sampai di panggung politik yang marak terjadi.Â
Semuanya ini, disadari atau tidak, menguatkan ide di anak -- anak kita bahwa kekerasan adalah suatu solusi yang dapat diambil untuk mendapatkan kembali apa yang diinginkan, apa yang dianggap berhak untuk diperoleh. Â Â
Kita tegas menolak bahkan mengutuk perilaku kekerasan yang dilakukan oleh anak. Namun sebagai individu dewasa, penting untuk membedakan antara tingkah laku dan anak itu sendiri sebagai person. Orang dewasa wajib menaruh respek terhadap anak termasuk pelaku anak sebagai  person, seorang individu yang sedang tumbuh dan berkembang.Â
Orang dewasa perlu berupaya untuk membantu adik -- adik pelaku yang masih remaja tersebut menyongsong masa depannya. Upaya merehabilitasi pelaku menjadi prioritas yang harus dijalankan. Mereka perlu dibantu untuk melihat bahwa ada alternatif cara lain tanpa kekerasan yang dapat dipakai dalam interaksi dengan orang lain.
Setiap individu termasuk anak remaja berkembang dalam lingkungan sosialnya. Konsekuensinya adalah pelibatan orangtua, orang dewasa yang berpengaruh di sekitar anak adalah hal yang juga sangat penting.Â
Kecenderungan untuk menyalahkan orangtua, keluarga, orang dewasa disekitar anak atas apa yang telah terjadi karena penilaian bahwa orangtua abai, guru/sekolah kurang tegas, pendidikan agama kurang berjalan, orangtua terlalu memanjakan anak, dan lain-lain menjadi kontraproduktif.Â
Perubahan ke arah yang lebih positif pada anak melalui berbagai intervensi psikososial yang dilakukan cenderung tidak bertahan lama apabila keluarga, lingkungan terdekat tempat anak tumbuh dan berkembang juga tidak diintervensi.Â
Upaya perubahan tingkahlaku pun harus dipahami sebagai suatu proses dinamis yang tidak instan, tidak berorientasi pencitraan di media sosial. Perubahan tingkah laku anak sebagai pelaku ini lah yang menjadi fokus dari upaya rehabilitasi pelaku anak.Â