Pemahaman Hukum Waris Islam terhadap Anak Sambung
Oleh: Nadya Salsabila dan Ad’nin Zulkhairani
Hukum waris di Indonesia terbagi menjadi 3 yakni, Hukum waris islam, hukum waris
adat, dan hukum waris perdata. Yang akan kita bahas disini pembagian hukum waris menurut hukum islam.
Artikel ini membahas pemahaman hukum waris Islam terkait anak sambung. Dalam konteks hukum waris Islam, anak sambung sering kali menjadi isu yang kompleks, terutama dalam hal hak-hak waris. Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana hukum waris Islam memandang anak sambung dan implikasinya terhadap pembagian harta waris, maka akan kita bahas bersama-sama sebagai berikut.
A. Pengertian Hak Waris
Kata waris berasal dari bahasa Arab ورث-يرث-ورثا yang berarti mewarisi harta pusaka. Orang yang meninggalkan harta waris disebut dengan مورث yang menerima harta waris disebut وارث, sedangkan harta warisannya disebut ميراث. Waris menurut istilah adalah berpindahnya hak milik dari mayit kepada ahli warisnya yang hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta yang bergerak atau pun yang tidak bergerak, hak-hak, dan yang lainnya. Faraidh secara syariat adalah bagian yang ditentukan untuk ahli waris disebut pula untuk suatu penamaan ilmu yakni ilmu Faraidh atau ilmu Waris.
Pewaris.
Pengertian pewaris menurut hukum islam didasarkan pada buku II komplikasi hukum islam tepatnya Pasal 171 huruf (b) yang menerangkan “pewaris ialah orang yang ketika meninggalnya atau dinyatakan sudah meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama islam, meniggalkan ahli waris dan harta peninggalan”. Artinya terdapat syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh seorang pewaris yaitu beragama islam, adanya orang-orang yang mewarisi dan harta yang ditinggalkan. Jadi keberadaan pewaris diakui apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi. Seorang pewaris harus benar-benar dinyatakan sudah meninggal dunia, baik itu secara haqiqi, hukumnya maupun taqdiry.
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِۗ اِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ
وَهُوَيَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَۗ
Artinya: “ Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalālah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalālah, (yaitu) jika seseorang meninggal dan dia tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai seorang saudara perempuan, bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya…” (Qs. An-Nisa’ (4) ayat 176).
Ahli waris
Menurut hukum fiqih islam mewaris atau al-warits ialah sesorang yang memiliki hak untuk mewarisi harta warisan milik pewaris. Mereka dapat disebut sebagai ahli waris apabila dinyatakan ada hubungan nasab maupun hubungan perkawinan dengan si pewaris, pernah membebaskan orang dari perbudakan, sehingga terkandung dalam QS. An-Nisa’ (4) ayat 33:
وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَۗ وَالَّذِيْنَ عَقَدَتْ اَيْمَانُكُمْ فَاٰتُوْهُمْ نَصِيْبَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدًاࣖ
Artinya: “Bagi setiap (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, berikanlah bagian itu kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu”.
Syarat yang berlaku bagi ahli waris adalah dapat dipastikan bahwa ia benar-benar dalam kondisi masih hidup, termasuk bayi ketika masih di dalam kandungan (al-haml).
Harta Warisan
Menurut hukum islam (fiqh mewaris) disebut dengan al-mauruts, yakni seluruh harta sepeninggalan pewaris yang menurut hukum syara’ dapat berpindah kepada ahli waris. Sebagian ulama menyebutnya sebagai tirkah, mirats, irts atau turats. Dasar hukumnya terkandung pada QS. An-Nisa’ (4) ayat 7:
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَۖ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَۗ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا ٧
Artinya: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak, menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Jika sebelum dilakukan pembagian warisan, ahli waris harus mengutamakan pemenuhan hak-hak yang berkaitan langsung dengan harta yang ditinggalkan mayit (pewaris) dimana terdiri atas, zakat, biaya pengurusan jenazah, biaya pelunasan hutang-hutang dan wasiat.
Lalu siapakah yang berhak mendapatkan hak waris tersebut? Ahli waris dapat dibagi menjadi 3, yaitu dzaw al-furud, `asabah dan dzaw al-arham. Dzaw al-furud yakni orang yang mempunyai hubungan tertentu dengan pewaris dan telah ditetapkan bagian-bagian tertentunya yang terdiri dari 7 kelompok; 2/3 dari harta waris (dua/lebih anak perempuan jika pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, dua/lebih cucu perempuan dari anak laki-laki jika pewaris tidak memiliki cucu laki-laki, dua/lebih saudari kandung jika pewaris tidak memiliki saudara kandung, dua/lebih saudari sebapak), 1/3 (ibu kandung, dua/lebih saudari seibu atau sebapak), 1/3 dari sisa harta waris (ibu, bapak, dan duda/janda), 1/6 (ibu kandung, bapak kandung, kakek&nenek kandung dari bapak, saudara laki-laki/perempuan, saudara sebapak), 1/2 (anak perempuan jika tidak ada anak laiki-laki, cucu perempuan, duda, saudari sekandung apabila tidak ada saudara, saudari sebapak), 1/4 (duda jika pewaris memiliki anak/cucu dari anak laki-laki dan janda apabila pewaris tidak memiliki anak/cucu dari anak laki-laki), dan 1/8 dari harta waris (janda jika pewaris memiliki anak/cucu dari anak laki-laki).
‘Asabah yakni kelompok yang mendapatkan bagian seluruh harta warisan, terbagi menjadi 3; `Asabah bi an-nafsi yaitu menjadi `asabah karena dirinya sendiri, semuanya laki-laki dan harus berurutan dalam kedudukannya. Asabah bi al-ghair yakni orang yang menjadi `asabah sebab/ditarik orang lain (anak laki-laki yang dapat menarik saudarinya, dengan syarat bagiannya 2 kali dari perempuan). `Asabah ma’a al-ghair artinya seseorang menjadi `asabah bersama orang lain, semuanya perempuan.
Dzaw al-arham adalah ahli waris yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan pewaris, tetapi tidak termasuk kelompok dzaw al-furud dan `asabah. Mereka baru berhak mendapat bagian dari harta warisan jika dzaw al-furud dan `asabah (baik menghabiskan harta warisan maupun yang menerima sisa harta setelah dibagi) tidak ada. meliputi: cucu dari anak perempuan, anak dari saudara perempuan (keponakan), saudara laki-laki atau perempuan dari ibu (paman/bibi) dan anak dari paman atau bibi (sepupu).
Untuk dapat dijadikan ahli waris, maka harus memenuhi beberapa syarat yaitu; terdapat berbagai hubungan kekerabatan yang mencakup ayah, ibu, anak, cucu, saudara kandung, saudara seayah, saudara seibu, serta kakek dan nenek dari generasi sebelumnya. Dalam Al-Quran Surah Al-Anfal ayat 75; dijelaskan bahwa "orang-orang yang mempunyai kekerabatan itu lebih berhak terhadap sesamanya dibandingkan dengan yang bukan kerabat. " Selain itu, dalam Surah An-Nisa’ ayat 7, dinyatakan bahwa "laki-laki berhak atas bagian dari harta peninggalan orang tua dan kerabat mereka, begitu pula wanita yang juga memiliki hak atas harta peninggalan tersebut, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak sesuai dengan bagian yang telah ditentukan." Allah SWT dalam Surah An-Nisa’ ayat 11 menetapkan bagian tertentu bagi para kerabat atau keturunan pewaris, sesuai dengan porsi masing-masing. Yang kedua ahli waris berdasarkan hubungan pernikahan, yakni terdiri dari duda dan janda.
Lalu bagaimana hukum yang mengatur hak waris untuk anak sambung? Dari penjelasan yang sudah kita ketahui di atas maka tidak ada bagian yang tertulis untuk anak sambung. Terkadang kehadiran anak sambung justru menimbulkan perselisihan diantara keduanya, apalagi jika membicarakan harta warisan. Mari kita bahas bagaimana peran dan pembagian warisan untuk anak sambung menurut hukum islam.
B. Konsep Anak Sambung
Ketika seorang laki-laki dan wanita menikah dengan seseorang berstatus duda atau janda yang sudah memiliki anak, maka anak ini secara otomatis akan menjadi anak sambung bagi bapak atau ibu barunya. Sehingga anak sambung turut menjadi bagian dari keluarga barunya hingga terjalin hubungan yang erat diantara keduanya. Pada dasarnya, dalam proses pewarisan anak mempunyai kedudukan sebagai ahli waris. Keberadaan anak menimbulkan kedudukan masing-masing dalam proses pewarisan, dimana terdapat hak dan kewajiban yang melekat pada diri setiap anak.
Pengertian Anak Sambung
Berdasarkan kamus besar bahasa indonesia, anak sambung merupakan anak yang dibawa oleh salah satu pihak yang bukan berasal dari perkawinan dengan pasangan saat ini. Sehingga dalam hal ini dapat dipahami bahwa tidak semua perkawinan dilaksanakan oleh mereka yang masih perjaka atau perawan, sebab tidak jarang ada dilaksanakan oleh seorang perawan atau perjaka dengan seorang duda ataupun janda yang sudah beranak. Dalam peraturan perundang-undangan di indonesia, tidak sama sekali memberikan pengertian tentang anak tiri/sambung.
Kedudukan Anak Sambung Menurut Hukum Islam
Menurut perspektif hukum islam, anak tiri/sambung tidak memperoleh warisan dari orang tua tiri/sambungnya, hal ini dikarenakan hukum islam hanya bertumpu pada 3 sebab mewarisi, yaitu nasab, perkawinan dan membebaskan budak, sebagai mana yang telah dijelaskan dalam surah An-Nisa’ ayat 33. Dari dalil surah An-Nisa’ ayat 33 maka secara tersirat disampaikan bahwa kedudukan anak tiri/sambung bukan sebagai ahli waris. Karena tidak adanya sebab mewarisi antara anak tiri/sambung dengan orang tua tiri/sambung, sehingga keduanya tidak dapat saling mewarisi satu sama lain. Akan tetapi, kedudukan anak tiri/sambung menurut fiqh mewarisi ialah sebagai Hijab Nuqshan bagi orang tua tiri/sambungnya.
Hak Waris Anak Sambung Dalam Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam
Dalam fiqh mewaris telah ditentukan aturan mengenai waris dalam bentuk paling adil. Menurut fiqh mewaris, yang berpedoman pada Al-Quran, As-Sunnah dan ijma’ dari para ulama. Al-Quran merupakan sumber hukum paling utama bagi umat islam, telah mengatur tentang waris secara rinci dan jelas, baik dari sisi penerima, bagian yang akan diterima maupun aturan-aturan lainnya. Akan tetapi, tidak ditemui ayat Al-Quran yang menjelaskan ketentuan tentang hak waris anak sambung.
Berdasarkan dalil dalam surah An-Nisa’ (4) ayat 11-12, dalam fiqh mewaris telah ditentukan bahwa ahli waris memang selayaknya keluarga sedarah. Sementara dalam kasus ini, anak sambung tidak memiliki hubungan sama sekali dengan pewaris, baik hubungan darah maupun perkawinan. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada hak waris bagi anak sambung terhadap harta warisan orang tua sambung.
Berikut adalah sebab-sebab seseorang mendapatkan dan menerima harta warisan yaitu:
Kekerabatan (qarabah)
Orang yang masuk dalam kelompok ini ialah ibu dan ayah (garis keturunan ke atas) maupun anak, cucu dan garis keturunan ke bawah)
Perkawinan (mushaharah)
Yang masuk dalam kelompok ini diantaranya suami atau istri dari pewaris
Membebaskan budak (wala’)
Tanpa membedakan jenis kelamin, jika seseorang membebaskan budak maka diantara seseorang itu dengan bekas budaknya dapat saling mewarisi.
Pada poin pertama yaitu kekerabatan antara dirinya dengan pewarisnya, hal ini menerangkan bahwa hak waris anak sambung hanya terhadap harta warisan orang tua kandungnya. Jadi seumpama anak sambung itu bawaan dari pihak ibu dan yang meninggal dunia ibunya, maka anak sambung tersebut sebagai ahli waris berhak mendapatkan harta warisan ibu kandungnya, dan sebaliknya.
Dalam fiqh mewaris, anak sambung dapat memperoleh harta warisan dengan menggunakan cara lain seperti mendapatkan wasiat dari orang tua sambungnya, wasiat ini disebut dengan wasiat wajibah. Kedudukan dan hak-hak anak sambung ini dapat disamakan dengan anak angkat, karena anak sambung dan anak angkat memiliki persamaan kenyataan (illat) bahwa keduanya merupakan anak orang lain yang secara sengaja dibawa masuk menjadi bagian dari keluarga baru. Jadi mereka menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Meskipun hak waris tidak berlaku untuk anak sambung yang tidak memiliki hubungan kekerabatan, hukumnya boleh (mubah) memberikan wasiat dengan ketentuan besarnya tidak melampaui 1/3 dari jumlah harta warisan orang tua sambungnya. Lampiran SEMA 7/2012 (halaman 9) menjelaskan bahwa anak tiri/sambung yang dibesarkan sejak kecil tidak diakui sebagai ahli waris, namun dia tetap dapat menerima bagian dari harta warisan melalui mekanisme wasiat wajibah. Aturan mengenai wasiat wajibah tercantum dalam Pasal 195 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa wasiat dapat dibuat secara lisan atau tertulis di hadapan dua saksi atau notaris, dengan batas maksimum hingga 1/3 dari total harta warisan, kecuali jika semua ahli waris sepakat untuk memberikan lebih.
Kesimpulan
Dalam hukum waris Islam, hak waris didasarkan pada tiga faktor utama: hubungan darah (nasab), perkawinan, dan pembebasan budak. Anak sambung tidak termasuk dalam kategori ahli waris karena tidak memiliki hubungan nasab atau perkawinan dengan pewaris. Oleh karena itu, anak sambung tidak memiliki hak langsung untuk mewarisi harta dari orang tua sambungnya.
Namun, terdapat beberapa alternatif yang memungkinkan anak sambung untuk mendapatkan bagian dari harta warisan, yaitu melalui wasiat wajibah. Wasiat dapat diberikan oleh orang tua sambung dengan ketentuan maksimal 1/3 dari total harta warisan, sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Dengan demikian, meskipun anak sambung tidak termasuk dalam kelompok ahli waris, kedudukannya masih dapat diakomodasi melalui mekanisme wasiat ini.
Selain itu, hak waris anak sambung tetap berlaku terhadap harta peninggalan orang tua kandungnya, baik dari pihak ibu maupun ayah kandung, jika memenuhi syarat sebagai ahli waris sesuai ketentuan hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Anjani, Y. A., et. al, (2023). Hak Waris Anak Sambung dalam Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum Waris di Indonesia (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 2980 K/Pdt/2014). Doctoral dissertation; Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Basri, S., (2020). Hukum Waris Islam (Fara’id) dan Penerapannya dalam Masyarakat Islam. Jurnal Kepastian Hukum dan Keadilan; P-ISSN: 2721-0545, E-ISSN: 2722-3604 Volume 1 Nomor 2.
Rasyid, A., et. al., (2013). Mu’amalah untuk Perguruan Tinggi. UHAMKA PRESS; Jakarta Selatan, ISBN: 978-602-8040-49-5.
Simanjuntak, S., (2024, 30 Juli). Hak Waris Anak Tiri Menurut Hukum Islam. Diakses pada 31 Desember, dari Hak Waris Anak Tiri Menurut Hukum Islam | Klinik Hukumonline.
Yasin, A. A., (2021). Hak Waris Anak Angkat Dalam Pespektif Undang-Undang dan Hukum Islam. TSAQAFATUNA: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, 3(1), 81-89.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H