Mohon tunggu...
Nabilla Annasywa
Nabilla Annasywa Mohon Tunggu... Novelis - Pelajar | Blogger | Novelis

Halo, aku Nabilla. Welcome to my profile, I'll get you some interesting stories.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Matahari, Langit, dan Awan

5 Januari 2024   10:55 Diperbarui: 5 Januari 2024   11:03 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang gadis terlihat sedang berlari dengan sangat cepat. Entah kemana langkah kakinya itu akan membawanya pergi. Langit senja menyaksikan semua itu. Gadis itu berlari tanpa memikirkan orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Membuat sepasang netra memperhatikan ke arahnya. Kemana tujuan gadis itu?

Gadis itu memilih untuk pulang ke rumahnya. Rumah yang cukup besar disertai dengan exterior super mewah. Tidak, sebanyak apaun hartanya tak akan pernah dapat membeli kebahagiaannya. Ia membuka pintu dan segera berlari menuju kamarnya. Tanpa aba-aba, tangisnya pun pecah. Kepalanya merasa sangat frustasi. 

Setelah 30 menit, tangisnya mereda. Wajahnya terlihat sembab. Tenaganya terkuras habis. Entah apa yang akan dilakukannya. Dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, ia bangkit dan merebahkan dirinya di kasur. Ternyata lelah juga setelah menangis cukup lama. Ia memilih untuk menenangkan pikirannya sambil menutup dirinya dengan selimut.

...

Langit biru dan awan-awan menghiasi suasana di pagi hari. Membawa semangat baru untuk hari ini. Udara sejuk yang menenangkan. Pemandangan indah yang selalu didambakan.

Clarissa Aliyah, Seorang gadis yang terlihat sedang turun dari tangga dengan mengenakan seragam SMA lengkap dengan totebag yang ia gantungkan di bahu kirinya. Ia berjalan sambil menunduk. Raut wajahnya tak menunjukkan kebahagiaan.

Davina sedang fokus menyeruput teh hangatnya di meja makan. Kemudian matanya tertuju pada anak gadis semata wayangnya itu yang baru selesai bersiap-siap untuk sekolah. "Selamat pagi, nak. Sarapan dulu sini."Kata Davina sambil tersenyum ke arah Clarissa.

"Selamat pagi juga, mah. Iya, ini Clarissa mau sarapan." Jawab Clarissa sambil menarik kursi untuk duduk. Ia melihat menu sarapan kali ini cukup banyak. Ada beraneka ragam buah-buahan, omelette, roti, susu hingga sereal. Namun, ia hanya meminum segelas susu dan memakan satu lembar roti. 

"Oh iya, nak. Mamah mau bicara sesuatu." Ucap Davina.

"Kenapa, mah?" Jawab Clarissa keheranan.

"Besok mamah mau berangkat ke Singapore dan itu karena ada pekerjaan dari kantor mamah. Jadi selama 3 hari, kamu tinggal sama mbak dulu ya. " Kata Davina.

Clarissa hanya bisa mengangguk. Ia tak mampu melarang mamahnya. "Oh, okay mah. Gapapa kok. Nanti mamah sering-sering kirim kabar ya ke Clarissa."

Davina tersenyum. "Iya, pasti kok."

Setelah menyelesaikan sarapannya, Clarissa pamit kepada mamahnya. Lalu beranjak pergi ke teras rumah untuk memakai sepatu. Clarissa melihat supirnya sudah siap untuk mengantarkannya ke sekolah. Ia pun segera bangkit dan berjalan ke arah mobil hitam mewahnya itu. Supirnya membukakan pintu untuknya. Clarissa memang hidup dengan serba berkecukupan. Namun, bukan ini yang benar-benar ia inginkan.

Sesampainya di sekolah, ia bertemu dengan ketiga sahabatnya. Erina, Farrah, dan Ghina sudah menunggu Clarissa sedari tadi. Ketika melihat Clarissa berjalan melewati lorong, ketiga temannya itu langsung menghampirinya.

"Sa, lo gapapa kan kemarin? Lo sehat kan?" Tanya Erina dengan raut wajah khawatir.

"Iya Sa, kita bener-bener khawatir banget sama lo. Kirain lo bakalan lari jauh banget dan gak balik-balik ke rumah" Sambung Farrah.

Clarissa tak menjawab. Ia hanya tetap berjalan sambil menatap sepatu sekolah berwarna hitam miliknya. Ghina memberikan isyarat kepada kedua teman- temannya untuk berhenti menanyakan keadaan Clarissa. Ia paham saat ini, Clarissa hanya sedang berusaha menetralkan perasaannya. Kedua temannya itu pun mengerti. Mereka berempat berjalan melewati lorong sekolah tanpa berbicara sepatah kata pun.

Sesampainya di kelas, Clarissa duduk di bangku miliknya. Ia mengeluarkan buku tulis dan pulpennya. Ia tak tahu ingin berbuat apa, sehingga ia mengisi waktunya untuk menulis sambil menunggu wali kelasnya itu datang.

Sepasang netra tengah memperhatikan Clarissa. Ia tak melihat senyum manis di wajah gadis itu. "Ada apa denganmu?" Batinnya. Ia ingin menanyakan hal tersebut kepada Clarissa namun ia khawatir menjadi pusat perhatian di kelas. Ia pun mengurung niatnya itu.

Setelah beberapa menit, seorang wanita dengan membawa beberapa file ditangannya berjalan masuk ke kelas. Wali kelasnya sudah datang. Kelas pun dimulai seperti biasanya.

...

Bel pun berbunyi. Menandakan bahwa semua siswa dan siswi diizinkan untuk kembali ke rumahnya masing-masing. Disaat teman-teman yang lain memilih untuk kembali ke rumah mereka, keempat sahabat ini tampaknya masih berkumpul di kantin sekolahnya. 

Clarissa masih tidak memberitahu apa yang ia rasakan. Ia hanya tak ingin membuat sahabat-sahabatnya itu khawatir dengan dirinya. Ia ingin selalu terlihat ceria di depan ketiga sahabatnya. 

"Sa, kalo lo ada apa-apa lo bisa cerita ke kita. Kita ini sahabat lo. Lo bisa ceritain apapun ke kita. Tenang aja, kita bakal dengerin dan kasih nasehat sebisa kita kok." Ucap Ghina sambil menaruh tangannya di meja kantin dan menatap kedua bola mata Clarissa. Ghina memang bisa dibilang memiliki pemikiran yang lebih dewasa. Berbeda dengan Erina dan Farrah yang sedikit cerewet dan ceplas ceplos.

Clarissa menaikkan wajahnya. Ia melihat raut wajah Ghina yang menatap matanya dengan tatapan khawatir. "Gue gapapa. Kemarin gue cuma lagi banyak pikiran aja. Jadinya, gue gak bisa mengontrol emosi gue sendiri." Jawab Clarissa menenangkan sahabat-sahabatnya.

"Beneran gapapa, Sa?" Timpal Erina. Clarissa menjawab dengan sebuah anggukan.

"Tapi kalo lo butuh temen cerita, lo cerita ke kita ya?" Sambung Farrah.

"Iya, udah kalian balik gih ke rumah. Dicariin nanti." Ucap Clarissa.

Ketiga sahabatnya itu pun mengangguk. Mereka segera bersiap-siap untuk kembali ke rumah masing-masing.

"Lo gak balik, Sa?" Tanya Farah sambil menggendong totebag miliknya.

"Iya, gue udah ngechat supir gue kok buat jemput." Jawab Clarissa.

Erina, Farrah, dan Ghina pun pamit untuk pulang. Clarissa membalas dengan senyuman tipis yang terlihat sangat cantik di wajahnya.

Clarissa hendak membereskan barang-barangnya yang masih tergeletak di meja makan kantin. Ketika hendak memasukkan handphone nya kedalam totebag, ia mendengar suara notifikasi. Ada sebuah pesan masuk. Ia melihat siapa yang mengiriminya pesan.

Zayn Emran

Gw bisa ketemu lo sekarang? Gw di taman sekolah

Sebuah pesan yang membuat kedua bola mata Clarissa membulat. Pesan tersebut baru terkirim 5 menit yang lalu. Ada keperluan apa ia dengan dirinya? Clarissa tak menjawab pesan tersebut. Namun, ia segera pergi menuju taman sekolah untuk menemui teman sekelasnya itu.

...

Seorang laki-laki dengan mengenakan hoodie hitamnya tampak tengah duduk di kursi taman sekolah sambil memainkan ponselnya. Ia hanya menggeser-geser layar ponselnya sambil menunggu seseorang. Raut wajahnya sedikit gugup. Tak terlihat seorang pun disekitarnya. Hanya ditemani pohon dengan dedaunannya yang hijau. 

Matanya melihat ke kanan dan ke kiri, sesekali menoleh ke belakang. Ia tengah mencari seseorang. Namun, ia tak melihat orang yang sudah ia tunggu sejak 10 menit yang lalu. Ia berpikir bahwa gadis itu tak menggubris pesannya. Raut wajahnya terlihat kecewa. Ia segera bangkit dan membawa tas ranselnya itu. Lebih baik ia pulang saja ke rumah daripada harus menunggu sesuatu yang tidak pasti. Ketika hendak melangkahkan kaki untuk menjauh dari taman tersebut, Seseorang memanggil namanya.

"Zayn!" 

Zayn menoleh ke arah sumber suara. Matanya menangkap seorang gadis yang berlari kecil menghampirinya. Clarissa, gadis itu ternyata membaca pesannya.

Clarissa menghampiri Zayn. "Ada perlu apa? Kok lo tiba-tiba ngechat gue?"

Zayn masih sedikit tak menyangka. Clarissa benar-benar menghampirinya. "Gue mau nanya sesuatu sama lo." Jawab Zayn.

"Apa?" Tanya Clarissa penasaran.

Zayn mengajak Clarissa untuk duduk terlebih dahulu di kursi taman. Clarissa pun menurutinya.

Mereka duduk di kursi taman sekolah. Zayn menarik napas panjang kemudian membuangnya perlahan. Ia mengumpulkan keberanian untuk berbicara kepada Clarissa. 

Clarissa hanya menunggu sambil keheranan. "Nih orang kenapa sih?" Batinnya.

Pertanyaan pun keluar dari mulut Zayn. "Gue ngeliat lo lari-larian cepet banget kemarin sore. Gue cuma khawatir lo kenapa-napa." Zayn pun menyambung kalimatnya. "Lo kenapa, Sa?"

Clarissa terdiam. Dia sama sekali belum menceritakan hal ini kepada siapapun. Namun, entah kenapa ia merasa Zayn adalah orang yang tepat untuknya bercerita. Zayn terlihat seperti pendengar yang baik.

"Gue cuma sedih keluarga gue gak pernah ngumpul bareng. Dari kecil, gue lebih sering di rumah sama ART gue. Buat dapetin moment sarapan sekeluarga aja kayaknya langka banget. Gue gak butuh harta yang berlimpah. Gue cuma pengen ngerasain hangatnya keluarga." Jawab Clarissa sambil menahan air matanya.

Zayn terdiam mendengar jawaban Clarissa. Sejujurnya, Zayn tak pernah berada di situasi Clarissa saat ini. Orang tuanya masih sering berada di rumah. Meskipun sesekali ayahnya ada perjalanan bisnis ke luar negeri.

"Sa, lo jangan ngerasa kesepian. Lo punya sahabat-sahabat yang selalu perhatian sama lo." Zayn menjeda kata-katanya. "Kalo lo mau, gue bisa kok jadi pendengar buat lo." Sambung Zayn.

Clarissa melihat ke arah Zayn. Apakah  yang dikatakan Zayn itu benar?

"Hah, gimana?" Tanya Clarissa memastikan. Ia khawatir hanya salah dengar.

"Iya, gue bisa jadi pendengar yang baik buat lo." Ucap Zayn sedikit gugup.

Clarissa masih tak percaya. Pendengar buat lo. Ya, Zayn sudah mengulangi kata-kata itu sebanyak dua kali. Clarissa tak mungkin salah dengar.  Clarissa tak tahu ingin menjawab apa. Ia pun menunduk sambil mencerna perkataan Zayn.

Suasana pun hening. Tak ada satupun yang berani mengeluarkan sepatah kata. Hanya terdengar suara angin yang menghiasi keheningan mereka. Keduanya sama-sama bingung ingin berkata apa.

Tak ingin membuang-buang waktu terlalu lama, Zayn pun memulai pembicaraan kembali. "Sa, lo udah di jemput?" Tanya Zayn mengalihkan topik.

Clarissa sedikit panik. Ia khawatir supirnya sudah menunggu sedari tadi. Ia buru-buru mencari ponselnya di dalam totebag. Dan benar saja, supirnya sudah mengiriminya tiga pesan sejak 10 menit yang lalu.

"Oh iya, gue pulang ya. Udah dijemput supir gue." Ucap Clarissa

Zayn hanya bisa mengangguk dan melihat Clarissa yang hendak pergi menjauh darinya.

Baru saja Clarissa berjalan beberapa langkah, ia memutar balikan dirinya ke arah belakang. Melihat ke arah Zayn. "Zayn, makasih banyak ya." Ucap Clarissa. Lalu ia kembali memutar balikan badannya dan berjalan menghampiri supirnya yang menunggu diparkiran sekolahnya.

Zayn terdiam. Ia merenung. Berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Makasih. Ia mengulangi perkatan tersebut dalam hati. Perkataan yang keluar dari mulut seorang gadis bernama Clarissa. Apa yang membuat gadis itu berterima kasih? Zayn merasa belum membantunya sama sekali.

Zayn tersadar dari lamunannya. Ia tak ingin berlama-lama di taman sendirian. Ia pun berusaha menepis pertanyaannya tentang Clarissa yang memenuhi isi kepalanya. Bagaimana pun kedepannya, ia hanya ingin Clarissa bahagia dan bisa berkumpul bersama keluarganya seperti yang diinginkan gadis itu.

...

Menu makan malam telah dihidangkan di meja makan. Clarissa yang sedari tadi merasa lapar, langsung mengangkat piring dan mengambil beberapa  hidangan yang sudah berbaris rapih di meja makan menggunakan sendok. Davina tertawa kecil melihat anak gadisnya itu makan dengan lahap. Ia merindukan moment pertama kali Clarissa belajar untuk makan sendiri. Sangat menggemaskan.

Setelah makan, Clarissa memberanikan diri untuk menyampaikan isi hatinya kepada mamahnya. Ia sudah merangkai kata kata dengan baik. "Mah, Clarissa mau bicara. Boleh?" Tanya Clarissa.

Davina mempersilahkan putrinya untuk berbicara.

"Mah. Bisa gak kita seperti matahari, langit, dan awan?" Tanya Clarissa.

Davina sedikit kebingungan dengan kata-kata anak gadisnya. Apa yang ia maksud?

"Mamah itu umpama matahari yang cahayanya bersinar dan memberikan kehangatan di pagi hari. Papah itu umpama langit biru yang memberikan senyuman cerah dan mewarnai suasana pagi yang indah. Aku umpama awan-awan yang lembut dan melengkapi keindahan dan keharmonisan keluarga di setiap harinya." Jawab Clarissa panjang lebar.

Davina terharu mendengar rangkaian kata-kata indah yang keluar dari mulut Clarissa. Ia pun mendambakan hal itu. Ia berharap bisa berkumpul bersama keluarganya seperti dulu.

"Clarissa, setelah mamah pulang dari Singapore dan papah kamu pulang dari perjalanan bisnisnya di Belanda kita akan kumpul dan jalan-jalan bareng lagi sekeluarga ya." Ucap Davina.

Terlihat senyum tipis penuh makna dari wajah Clarissa. Ia senang karena  mamahnya mengerti apa yang selama ini ia inginkan. Kehangatan dan kebersamaan bersama keluarga kecilnya yang harmonis. Ia akan mendapatkan keinginannya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun