Clarissa hanya bisa mengangguk. Ia tak mampu melarang mamahnya. "Oh, okay mah. Gapapa kok. Nanti mamah sering-sering kirim kabar ya ke Clarissa."
Davina tersenyum. "Iya, pasti kok."
Setelah menyelesaikan sarapannya, Clarissa pamit kepada mamahnya. Lalu beranjak pergi ke teras rumah untuk memakai sepatu. Clarissa melihat supirnya sudah siap untuk mengantarkannya ke sekolah. Ia pun segera bangkit dan berjalan ke arah mobil hitam mewahnya itu. Supirnya membukakan pintu untuknya. Clarissa memang hidup dengan serba berkecukupan. Namun, bukan ini yang benar-benar ia inginkan.
Sesampainya di sekolah, ia bertemu dengan ketiga sahabatnya. Erina, Farrah, dan Ghina sudah menunggu Clarissa sedari tadi. Ketika melihat Clarissa berjalan melewati lorong, ketiga temannya itu langsung menghampirinya.
"Sa, lo gapapa kan kemarin? Lo sehat kan?" Tanya Erina dengan raut wajah khawatir.
"Iya Sa, kita bener-bener khawatir banget sama lo. Kirain lo bakalan lari jauh banget dan gak balik-balik ke rumah" Sambung Farrah.
Clarissa tak menjawab. Ia hanya tetap berjalan sambil menatap sepatu sekolah berwarna hitam miliknya. Ghina memberikan isyarat kepada kedua teman- temannya untuk berhenti menanyakan keadaan Clarissa. Ia paham saat ini, Clarissa hanya sedang berusaha menetralkan perasaannya. Kedua temannya itu pun mengerti. Mereka berempat berjalan melewati lorong sekolah tanpa berbicara sepatah kata pun.
Sesampainya di kelas, Clarissa duduk di bangku miliknya. Ia mengeluarkan buku tulis dan pulpennya. Ia tak tahu ingin berbuat apa, sehingga ia mengisi waktunya untuk menulis sambil menunggu wali kelasnya itu datang.
Sepasang netra tengah memperhatikan Clarissa. Ia tak melihat senyum manis di wajah gadis itu. "Ada apa denganmu?" Batinnya. Ia ingin menanyakan hal tersebut kepada Clarissa namun ia khawatir menjadi pusat perhatian di kelas. Ia pun mengurung niatnya itu.
Setelah beberapa menit, seorang wanita dengan membawa beberapa file ditangannya berjalan masuk ke kelas. Wali kelasnya sudah datang. Kelas pun dimulai seperti biasanya.
...