"Apa?" Tanya Clarissa penasaran.
Zayn mengajak Clarissa untuk duduk terlebih dahulu di kursi taman. Clarissa pun menurutinya.
Mereka duduk di kursi taman sekolah. Zayn menarik napas panjang kemudian membuangnya perlahan. Ia mengumpulkan keberanian untuk berbicara kepada Clarissa.Â
Clarissa hanya menunggu sambil keheranan. "Nih orang kenapa sih?" Batinnya.
Pertanyaan pun keluar dari mulut Zayn. "Gue ngeliat lo lari-larian cepet banget kemarin sore. Gue cuma khawatir lo kenapa-napa." Zayn pun menyambung kalimatnya. "Lo kenapa, Sa?"
Clarissa terdiam. Dia sama sekali belum menceritakan hal ini kepada siapapun. Namun, entah kenapa ia merasa Zayn adalah orang yang tepat untuknya bercerita. Zayn terlihat seperti pendengar yang baik.
"Gue cuma sedih keluarga gue gak pernah ngumpul bareng. Dari kecil, gue lebih sering di rumah sama ART gue. Buat dapetin moment sarapan sekeluarga aja kayaknya langka banget. Gue gak butuh harta yang berlimpah. Gue cuma pengen ngerasain hangatnya keluarga." Jawab Clarissa sambil menahan air matanya.
Zayn terdiam mendengar jawaban Clarissa. Sejujurnya, Zayn tak pernah berada di situasi Clarissa saat ini. Orang tuanya masih sering berada di rumah. Meskipun sesekali ayahnya ada perjalanan bisnis ke luar negeri.
"Sa, lo jangan ngerasa kesepian. Lo punya sahabat-sahabat yang selalu perhatian sama lo." Zayn menjeda kata-katanya. "Kalo lo mau, gue bisa kok jadi pendengar buat lo." Sambung Zayn.
Clarissa melihat ke arah Zayn. Apakah  yang dikatakan Zayn itu benar?
"Hah, gimana?" Tanya Clarissa memastikan. Ia khawatir hanya salah dengar.