Aku menggeleng, “tidak.”
“Lantas, untuk siapa sepiring nasi ini?”
Aku balas menatapnya dengan heran, tentu saja sepiring nasi itu kubuat untuk Dara, anak kami. Aku tahu Dara menjadi pendiam sejak kejadian itu, namun tak berarti Ayah harus melupakan keberadaannya.
“Tentu saja untuk Dara,” ujarku.
Ayah hanya terdiam menatapku. Ekspresinya menunjukkan rasa khawatir. Ia haya menghela napas, lalu menghebuskannya perlahan.
“Apa kamu perlu konsultasi dengan dokter Karin lagi?”
Terasa jantungku berdetak lebih cepat akan pertanyaan yang Ayah tujukan untukku. Seharusnya, ia tak mengungkit obrolan itu disini. Tidak di depan Dara.
“Tidak perlu, aku baik-baik saja.”
“Sudah tiga bulan, Santi,” kata Ayah, “sudah tiga bulan sejak kejadian itu.”
Aku hanya diam menatap Ayah, kemudian menundukkan kepala. Kupenjamkan mataku ketika memori demi memori itu kembali dalam ingatanku. Memori tentang kejadian itu.
“Dara sudah meninggal, Santi.”