Jawaban Dara singkat, namun aku tetap tersenyum menatapnya, “Terlihat indah, Dara.”
Ia tak menjawab, melanjutkan kesibukannya mewarnai. Aku tahu, Daraku yang dulu tak akan berbuat begitu. Daraku yang dulu akan menghampiriku ke dapur dan menunjukkan karyanya dengan girang padaku.
Dari ruang keluarga, suara langkah kaki yang sungguh familiar terdengar. Ayah telah sampai. Dara selalu senang bila Ayahnya telah kembali dari bekerja. Dara akan berlari menghampirinya dan memeluknya selagi ia berkata ‘Ayah pulang!’.
Namun tidak. Tentu saja Daraku yang sekarang diam saja ketika Ayahnya memasuki dapur. Dara hanya menoleh, lalu kembali ke aktivitasnya semula.
Ayah yang baru datang tersenyum padaku dan berkata, “aku pulang.”
Sungguh berbeda. Ia selalu menyebut dirinya Ayah bila Dara berada bersama kami.
Aku ikut tersenyum dan membalas, “Ibu siapkan makan malam, kita makan bersama ya?”
Aku berharap tak hanya Ayah yang membalas pertanyaanku itu, namun Dara juga. Tapi tentu saja Dara hanya terdiam.
“Baiklah, aku sudah tak sabar, makanan buatanmu selalu lezat,” jawab Ayah.
Ayah, dengan berbalut kemeja kantornya yang ia pakai hampir setiap hari, duduk di kursi meja makan. Aku pun dengan senyuman membawa tiga buah piring berisi makanan yang telah kumasak. Kuletakkan ketiga piring tersebut di meja tempat kami masing-masing duduk.
Ayah yang melihatnya menatapku dengan heran, “adakah tamu yang akan berkunjung untuk makan malam?”