Mohon tunggu...
Nabila Clarissa Amanda
Nabila Clarissa Amanda Mohon Tunggu... Insinyur - Pelajar

XI MIPA 4, SMAN 28 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jiwa yang Sirna

24 November 2020   20:09 Diperbarui: 24 November 2020   20:24 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kisahklasikduniaku.blogspot.com

Dara, anak perempuanku satu-satunya. Sifatnya seperti lelaki, sering bertingkah dan sangat aktif. Jiwanya kuat dan pemberani, layaknya seorang pemimpin yang tak kenal rasa takut.

Dara. Anak perempuanku itu dapat membuat manusia di sekitarnya tertawa. Ia begitu ceria dan tak kenal lelah. Sungguh, perhatiannya kepada orang-orang yang disayanginya amat dalam.

Dara, sepuluh tahun usianya. Sebentar lagi, ia akan menaiki bangku sekolah menengah. Rasanya baru kemarin, aku ajarkan dia cara membaca.

Dara yang periang, Dara yang pemberani, Dara yang penyanyang. Semuanya pupus sudah. Semenjak kejadian itu, Dara, putriku yang amat kukenal, tak kunjung menunjukkan watak lamanya yang sungguh kucintai.

Semenjak kejadian itu, sepulang sekolah ia habiskan dengan bermain di meja makan, menemaniku memasak. Tak lagi ia pergi berkeliling menaiki sepeda bersama anak-anak di rumah sebelah. Tak lagi ia berlarian mengotorkan dirinya dengan tanah di halaman belakang kami. Tak lagi ia senantiasa berlompatan di kasur kami dengan riang meski kami sudah melarangnya.

Sekarang, Dara hanya duduk diam di meja makan. Sepatah dua patah kata ia lontarkan, bila aku mengajaknya bicara. Namun tetap saja, berbeda.

Rindu aku akan tawanya, rindu akan senyumannya, rindu akan semangatnya saat pergi menaiki bus mini ke sekolah.

Aku hanya bisa menghela napas, bersabar. Dara perlu waktu. Putri kecilku itu perlu waktu untuk menyembuhkan traumanya sejak kejadian itu.

Kulihat jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam. Aroma masakan yang kubuat memenuhi ruangan, siap untuk disajikan. Kulihat Dara yang tengah asik mewarnai di meja makan, aku tersenyum melihatnya.

 “Apa yang sedang kamu warnai, Dara?”

“Ibu.”

Jawaban Dara singkat, namun aku tetap tersenyum menatapnya, “Terlihat indah, Dara.”

Ia tak menjawab, melanjutkan kesibukannya mewarnai. Aku tahu, Daraku yang dulu tak akan berbuat begitu. Daraku yang dulu akan menghampiriku ke dapur dan menunjukkan karyanya dengan girang padaku.

Dari ruang keluarga, suara langkah kaki yang sungguh familiar terdengar. Ayah telah sampai. Dara selalu senang bila Ayahnya telah kembali dari bekerja. Dara akan berlari menghampirinya dan memeluknya selagi ia berkata ‘Ayah pulang!’.

Namun tidak. Tentu saja Daraku yang sekarang diam saja ketika Ayahnya memasuki dapur. Dara hanya menoleh, lalu kembali ke aktivitasnya semula.

Ayah yang baru datang tersenyum padaku dan berkata, “aku pulang.”

Sungguh berbeda. Ia selalu menyebut dirinya Ayah bila Dara berada bersama kami.

Aku ikut tersenyum dan membalas, “Ibu siapkan makan malam, kita makan bersama ya?”

Aku berharap tak hanya Ayah yang membalas pertanyaanku itu, namun Dara juga. Tapi tentu saja Dara hanya terdiam.

“Baiklah, aku sudah tak sabar, makanan buatanmu selalu lezat,” jawab Ayah.

Ayah, dengan berbalut kemeja kantornya yang ia pakai hampir setiap hari, duduk di kursi meja makan. Aku pun dengan senyuman membawa tiga buah piring berisi makanan yang telah kumasak. Kuletakkan ketiga piring tersebut di meja tempat kami masing-masing duduk.

Ayah yang melihatnya menatapku dengan heran, “adakah tamu yang akan berkunjung untuk makan malam?”

Aku menggeleng, “tidak.”

“Lantas, untuk siapa sepiring nasi ini?”

Aku balas menatapnya dengan heran, tentu saja sepiring nasi itu kubuat untuk Dara, anak kami. Aku tahu Dara menjadi pendiam sejak kejadian itu, namun tak berarti Ayah harus melupakan keberadaannya.

“Tentu saja untuk Dara,” ujarku.

Ayah hanya terdiam menatapku. Ekspresinya menunjukkan rasa khawatir. Ia haya menghela napas, lalu menghebuskannya perlahan.

“Apa kamu perlu konsultasi dengan dokter Karin lagi?”

Terasa jantungku berdetak lebih cepat akan pertanyaan yang Ayah tujukan untukku. Seharusnya, ia tak mengungkit obrolan itu disini. Tidak di depan Dara.

“Tidak perlu, aku baik-baik saja.”

“Sudah tiga bulan, Santi,” kata Ayah, “sudah tiga bulan sejak kejadian itu.”

Aku hanya diam menatap Ayah, kemudian menundukkan kepala. Kupenjamkan mataku ketika memori demi memori itu kembali dalam ingatanku. Memori tentang kejadian itu.

“Dara sudah meninggal, Santi.”

Tidak mungkin.

Dara, anak perempuanku. Dara yang periang, Dara yang pemberani, Dara yang penyayang. Dara, putri kami.

Tiga bulan lalu. Kecelakaan bus sekolah itu. Bus sekolah yang dinaiki Dara.

Dalam sekejap, memori itu muncul kembali di ingatanku. Memori akan Dara. Tiga bulan lalu, saat aku tak sempat membuatkan Dara nasi goreng favoritnya untuk sarapan. Tiga bulan lalu, saat Daraku yang riang memelukku sebelum berangkat ke sekolah. Tiga bulan lalu, saat Daraku mencium pipiku dan berkata, ‘aku mencintaimu, Ibu.

Tiga bulan lalu, saat seseorang berseragam kepolisian mendatangi rumah kami untuk memberitahuku bahwa Daraku telah berpulang.

Air mataku seperti berlomba untuk turun, tak kuasa menahan rasa sedih. Seluruh tubuhku bergetar. Aku ingin seluruh memori itu pergi. Tak bisa kuterima, Daraku yang sangat kucintai, telah pergi selama-lamanya. Tak bisa kuterima.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun