Tidak mungkin.
Dara, anak perempuanku. Dara yang periang, Dara yang pemberani, Dara yang penyayang. Dara, putri kami.
Tiga bulan lalu. Kecelakaan bus sekolah itu. Bus sekolah yang dinaiki Dara.
Dalam sekejap, memori itu muncul kembali di ingatanku. Memori akan Dara. Tiga bulan lalu, saat aku tak sempat membuatkan Dara nasi goreng favoritnya untuk sarapan. Tiga bulan lalu, saat Daraku yang riang memelukku sebelum berangkat ke sekolah. Tiga bulan lalu, saat Daraku mencium pipiku dan berkata, ‘aku mencintaimu, Ibu.’
Tiga bulan lalu, saat seseorang berseragam kepolisian mendatangi rumah kami untuk memberitahuku bahwa Daraku telah berpulang.
Air mataku seperti berlomba untuk turun, tak kuasa menahan rasa sedih. Seluruh tubuhku bergetar. Aku ingin seluruh memori itu pergi. Tak bisa kuterima, Daraku yang sangat kucintai, telah pergi selama-lamanya. Tak bisa kuterima.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H