Mohon tunggu...
Nindy Prisma
Nindy Prisma Mohon Tunggu... Buruh - buruh di balik kubikel dan penikmat pertandingan olahraga

...Real Eyes Realize Real Lies...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Waktu Hujan Turun (3)

3 Mei 2015   16:15 Diperbarui: 10 September 2015   10:54 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1430644375501096292

 

Seorang gadis berjalan menembus hujan yang tak kunjung reda sejak semalam. Meski tidak sederas semalam hujan itu nyatanya mampu membuat sepatu karet yang dikenakannya basah.

“Ya~ kenapa tidak juga berhenti tapi malah semakin deras.” ujarnya saat berhenti untuk berlindung didepan sebuah toko. Gadis itu merapatkan kembali jaket yang dikenakannya, membenarkan posisi hoodie yang menutupi kepalanya dan bersiap kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolahnya ketika...

#Byur....

Sebuah motor dengan kecepatan tinggi melewati genangan air yang mengakibatkan percikan air menyebar ke segala arah  dan membasahi sisi kanan tubuh gadis itu.

“Hey YAK!!!!” teriaknya namun sama sekali tidak berguna.

“Ya~  Rhaya kau kenapa? Seragammu basah seperti ini.” Rhaya tidak menjawab dan hanya memberikan wajah memelas.

Tak lama bunyi bel begitu nyaring terdengar, jam masuk sekolah. Rhaya masih diam menuju mejanya, dimana kini dingin mulai menyapa tubuhnya bagian kanannya yang basah. Semua siswa berdiri dan memberi salam pada guru Kimia yang menjadi pengisi pelajaran pertama pagi ini.

“Hmm Selamat Pagi.. Hari ini kita akan...” Perempuan paruh baya yang berdiri didepan kelas itu tidak melanjutkan kata-katanya tepat disaat pandangan matanya menangkap sosok Rhaya.

“Rhaya Pramesti kamu kenapa? Kenapa seragammu basah seperti itu.” tanyanya begitu sampai dimeja Rhaya.

“Itu tadi...”

“Tadi apa? Cepat ganti seragammu, kamu tidak akan bisa belajar dengan seragam basah seperti ini. Lagipula saya tidak suka melihat siswa yang akan mengikuti pelajaran saya berpenampilan berantakan seperti ini.” tegasnya yang membuat semua tatapan mata dikelas itu mengarah pada Rhaya.

“Tapi Bu, saya...”

“Saya apa? Kamu tidak membawa seragam ganti? Apa di lokermu tidak ada seragam olahraga?” Rhaya mengangguk pelan.

“Kalau begitu kau boleh belajar sendiri untuk hari ini Rhaya.” Rhaya mengangkat kepalanya menghadap sosok guru wanita itu. Wajahnya makin memelas, pengusiran secara halus.

“Tapi Bu, hari ini ada kuis, ijinkan saya untuk..”

“Tidak ada pengecualian, kau tahu aturanku. Jadi silahkan keluar.”

Guru itu membalikkan tubuhnya kembali menuju meja disaat Rhaya melangkah gontai keluar kelas diiring tatapan kasihan dari teman-temannya.

Ada sepasang mata dari salah satu sudut sekolah yang menatap Rhaya. Seorang pria muda dengan seragam sekolah yang sama.

Jam istirahat tiba, semua siswa keluar dari kelas mereka masing-masing tapi tidak dengan Rhaya.

“Rhaya ini kau bisa pakai seragamku dulu.” ucap Indah, mengarahkan seragam yang baru saja diambilnya dari loker kepada Rhaya.

“Pakailah, kau bisa kedinginan jika terus memakai seragam basah itu. Lagipula kau ini kenapa bisa basah seperti itu?”

“Ada pemuda  gila mengendarai motor seenaknya, membuat genangan air didepan toko diujung jalan itu mengenaiku.” jawabnya dengan nada kesal.

“Hmm, aku mengerti, ya sudah kau ganti dulu seragammu. Aku tunggu di kantin sekolah. Ok.” Rhaya mengangguk saat Indah meninggalkannya didepan toilet. Rhaya merapikan dirinya didepan cermin besar yang ada disana kemudian melipat baju seragamnya yang basah. Baru saja satu langkah hendak keluar pintu toilet ketika sebuah tangan menyambar pergelangan tangan Rhaya.

“Eh... Apa yang kau lakukan?” protes Rhaya berusaha melepaskan pegangan itu, namun sama sekali tidak ditanggapi.

“Yak~ Kau ini siapa. Lepaskan tanganku?” Beberapa siswa yang melihat kejadian itu melemparkan tatapan bertanya dan heran. Rhaya masih berusaha melepaskan genggaman tangan pemuda itu, namun semakin berontak semakin kuat genggaman pemuda itu. Sesaat kemudian Rhaya terdiam ketika langkah kaki mereka akhirnya berhenti didepan sebuah ruangan.. Ruang Guru.

“Ikuti aku dan jangan pergi.” ujar pemuda  itu yang bagi Rhaya lebih terdengar sebagai perintah. Pemuda itu lebih dulu masuk kedalam ruang guru dengan Rhaya mengikuti dibelakangnya.

***

“Wow, Erlangga Pratama ada angin apa kau membawa seorang gadis ke kelas kita hah?” beberapa siswa berseru saat Elang kembali ke kelas bersama dengan seorang gadis.

“Akan ada angin topan yang akan membawamu keluar dari kelas ini.” Suara khas itu sontak membuat seluruh siswa-siswi berhamburan menuju meja mereka masing-masing.

“Hari ini kita Kuis... Jadi tidak perlu lagi aku beritahu apa yang harus kalian lakukan?”

“Iya Bu~~.” Semua siswa menyimpan buku catatan mereka dari atas meja dan menggantinya dengan selembar kertas.

“Kau bisa duduk disini Rhaya.” Rhaya mengangguk dan duduk dimeja guru lalu mulai menyiapkan kertas dan alat tulisnya.

Ada pandangan mata yang tidak berhenti menatap apa yang dilakukan Rhaya, hingga pandangan mereka bertemu dan Rhaya hanya bisa menghindari tatapan itu dengan memandang ke arah lain.

***

“Hey.. Ya.. Tunggu sebentar.”

“Mau apa lagi?” tanya Rhaya begitu ketus pada pemuda yang terus saja mengikutinya sejak tadi.

“Ya~ tega sekali kau membiarkanku mendorong motorku sendirian dan kenapa jalanmu cepat sekali.” Protes Elang dengan napas tersengal. Rhaya menatap datar wajah lelah pemuda dihadapannya. Elang sangat menyadari jika dirinya diperhatikan dengan cara yang sama sekali tidak nyaman.

“Hmm, soal yang tadi pagi itu.. Aku minta maaf, aku tidak tahu kalau itu kau. Maaf aku membuat seragammu basah dan terlebih lagi membuat diusir Bu Irma.” Elang memelas di hadapan Rhaya, mengucapkan permohonan maaf yang dia tahu akan sulit didapatkannya. Rhaya masih terdiam memandang Elang yang mulai cemas menunggu jawabannya.

“Ya sudahlah.” ucapnya singkat kembali melangkahkan kaki meninggalkan pemuda itu.

“Yak, apa maksudnya dengan ‘ya sudahlah’? Ish..”  Elang turun dari sepeda motor miliknya dan berjalan cepat menghampiri Rhaya.

“Ya~ Rhaya... Ya~~ Rhaya Pramesti.” Gadis itu kini menoleh dengan raut wajah yang mulai kesal mendengar Elang berulang kali menyebutkan nama.

“Kau mau membuat semua orang memandang ke arah kita dengan meneriakkan namaku hah?”

“Kenapa? Memangnya ada yang salah jika.. Ah kita belum berkenalan ya.. Aku Erlangga Pratama, siswa kelas XI IPA 2.” Elang mengulurkan tangannya, kemudian menariknya kembali ketika tangan Rhaya tidak kunjung membalas uluran tangannya. Rhaya memalingkan wajahnya, sesekali menolehkan kepalanya ke kanan, seperti menunggu sesuatu.

“Jika kau menunggu bis mungkin akan lama karena...” Elang tidak menyelesaikan kalimatnya ketika tanpa disadarinya Rhaya sudah masuk kedalam sebuah taksi.

“Ya..ya..ya.. Rhaya.. Ish gadis itu...” umpatnya kesal saat taksi itu perlahan menjauh darinya.

***

“Hey..” Rhaya tersentak kaget ketika mendapati Elang sudah berdiri didepan pintu rumahnya.

“Kau.. Apa yang kau lakukan disini?”

“Hmm apa ya..” Elang menunjukan wajah seolah-olah sedang berpikir keras, mencari jawaban pertanyaan itu.

“Menjemputmu..” Ada senyum yang terurai bersamaan dengan jawaban itu. Senyum yang sebenarnya membuat detak jantung Rhaya bergerak lebih cepat dari biasanya. Elang menanti gadis itu tersenyum, namun sayang Rhaya tidak membalas senyum Elang tapi malah melangkah pergi meninggalkan pemuda yang masih terpaku itu didepan rumahnya.

“Kau ini kenapa senang sekali meninggalkanku?” protesnya

“Apa sebenarnya maumu?”

“Mauku? Menjadi temanmu.”  Rhaya berhenti melangkah dan otomatis membuat Elang berhenti. Tanpa bicara Rhaya hanya memandangi wajah Elang, mencari keseriusan dari pemuda dihadapannya. Elang bingung harus bicara dan berbuat apa ketika mata gadis itu seperti menelitinya.

“Wajahmu sama mendungnya seperti hari ini.” canda Elang berusaha mencairkan suasana yang ternyata –kembali- tidak berhasil.

“Jangan ganggu aku.” Lirih Rhaya yang membuat Elang terdiam ditempatnya. Rhaya melangkah cepat. Elang tidak lagi berusaha menghampiri gadis itu meski langkah kakinya masih mengikutinya. Ada jarak yang memisahkan mereka berdua, meski sebenarnya tujuan mereka sama.

Awan mendung mulai meneteskan bulir air hujan. Elang tetap mengawasi Rhaya dari kejauhan ketika gadis itu mengeluarkan sebuah payung dari dalam tasnya. Gerimis yang makin deras membuat Elang merapatkan jaket setelah memakai topi juga menaikkan hoodienya.

Sesekali Rhaya mencuri pandang dari balik payung yang dia kenakan. Hujan makin deras dan Elang hanya berbalut jaket sementara jarak sekolah mereka masih cukup jauh.  Rhaya tahu Elang tidak sepenuhnya mengikutinya karena sebenarnya tujuan mereka sama.

Ada keterkejutan yang dipancar dari wajah Elang ketika didapatinya Rhaya memayunginya dan ada sebuah sapu tangan yang mengarah padanya. Tanpa ragu, Elang meraih sapu tangan itu dan membasuh wajahnya yang dipenuhi tetesan air hujan. Rhaya memperhatikan Elang, bagian bawah celana juga beberapa bagian jaketnya sudah basah karena air hujan.

“Kenapa kembali?” tanya Elang memecahkan diam diantara mereka saat keduanya kini berjalan beriringan.

“Hanya tidak ingin membuat orang lain bernasib sama sepertiku.”

“Kenapa tidak membawa motor?  Aku tidak pernah melihatmu ke sekolah dengan berjalan kaki.” Elang mengulum senyum mendengar bahwa Rhaya sebenarnya memperhatikannya.

“Hanya tidak ingin melakukan kesalahan seperti kemarin.” jawab Elang yang membuatnya-akhirnya- bisa melihat senyuman di wajah Rhaya. Wajah Rhaya bersemu merah mendapati Elang yang tidak sekalipun melepaskan pandangan darinya...hingga...

“Aww..” lirih Elang ketika ujung payung yang dipegang Rhaya mengenai kepalanya.

“Oh Maaf.”

“Sini biar aku saja.” Elang mengambil alih payung dari tangan Rhaya, sedikit merapatkan tubuhnya dengan Rhaya agar air hujan tidak mengenai tubuh gadis itu. Ada gugup yang ditangkapnya dari gadis disisinya tapi itu malah membuat Elang makin tidak bisa menghentikan senyumnya, baginya hari ini adalah perjalanan sekolah paling menyenangkan yang pernah dia rasakan.

“Aku Elang... Mau berteman denganku?” Tangan itu kembali terulur, dan tidak seperti sebelumnya kini, ada tangan lain yang membalas uluran tangan itu.

“Aku Rhaya..”

Ketika hujan begitu menyejukkan... sama seperti senyummu pagi ini..

 

 

 

Ilustrasi

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun