Perempuan itu duduk di bawah pohon cemara bertumbuh jarang di halaman. Bersenandung sembari menjahit. Rambutnya kini beruban panjang. Aku mengenali suara itu. Ya, aku mengenalinya setiap malam duduk di meja jahit, bersautan dengan dengkingan nyamuk.
Aku menghampirinya perlahan-waktu berjalan melambat agaknya.Â
Malam hari. 1998. Badai bergemuruh sangat dahsyat. Â
***
Suara kilat menyambar-nyambar di luar. Dari bilik jendela yang kordennya berterbangan, terlihat hujan nyaris badai. Tampias air membasahi sebagian lantai kamar. Si bidan jangkung, dibantu perawat asistennya sibuk menyelamatkan sebuah nyawa yang akan mengarungi dunia.
"Ayok bu, sedikit lagi. Tarik napasnya kuat-kuat..."
"Sakit, dok..."
Sebelum ada kelahiran baru, tentu ada harga nyawa yang perlu dibayarkan sebelumnya. Kain putih berenda biru, sekarang berbau amis penuh darah. Mereka, masih saja-berusaha menyelamatkan satu nyawa yang entah apa kelak tujuannya dilahirkan?
Aku tidak tau betul rasanya, ketika sentuhan lembut itu pertama kali mendekap pori-poriku. Mungkin, tubuhku yang telanjang sedikit hangat dengan deru napas yang sangat dekat saat memeluk. Atau, jika aku ingat tubuhku sedikit terkena percikan air yang menetes. Air? Entahlah-aku tidak paham.
"Selamat bu, anaknya perempuan. Cantik."
Dimulailah-sebuah kehidupan baru.
***
Aku mematut diri di hadapan cermin kuno, dengan ornamen bergaya batik kawung. Bola mataku bersitatap. Binarnya redup, di barengi semburat lampu rias di ujung meja. Tulang pipi yang terlihat tegas, membuat orang-orang mengatakan kau mirip sekali dengannya. Mungkin juga dalam parafrase lain, ini sih Wulandari banget. Sifatmu sama persis denganya, sedikit keras kepala.Â
Terlihat-lengkung garis bibir dengan liptstik yang masih menempel, barang pudar sedikit karena dipakai beraktivitas seharian. Mengulum senyum. Ada lengsung pipi di sebelah kiri-tepatnya di bawah bibir. Ini sih keturunan Wulandari. Lesung pipinya, hanya ia lebih cekung sedikit.Â
Banyak kemiripan di antara kami. Mungkin yang tidak pernah dibilang mirip, hanya porsi tubuh. Mungkin. Yang disebut-sebut memiliki bentuk tubuh lebih ramping. Aku berisi dan tinggi. Tapi, jauh dari itu. Mereka lebih suka menyebut kami mirip secara sifat. Anehnya, kemiripan yang mereka katakan, selalu bertentangan dengan kami berdua.
Kalau saja aku membencinya, tetapi bagaimana bisa aku membenci hal yang tidak aku suka dari dirinya, sedangkan ada hal yang menaut pada diriku tentangnya?
Ah-kalau saja aku mencintainya, tetapi bagaimana bisa aku mencintai hal yang aku sendiri tidak pernah paham tentang itu darinya?
***
Sore itu seperti biasa, saat aku sudah selesai mencopot sepatu dan kaos kakiku-menaruhnya di rak di sebelah tumpukan kardus. Aku berjalan menghampiri meja makan. Tidak ada yang spesial, seperti biasanya-ada buah mangga yang sudah dikupas dan dipotong rapi. Terdengar aneh memang. Bagaimana mungkin memotong mangga serapi itu. Bahkan sama sekali tidak pernah kursus memasak. Tapi, ia melakukannya dengan sempurna.
"Bersihkan kakimu lebih dulu. Lalu, kau baru boleh mendekat ke meja makan."
Aku menurutinya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Namun, seleraku untuk memakan mangga sedikit menurun-meski aku akan tetap memakannya. Itulah bila kami sedang di rumah. Di ruang yang sama. Di waktu yang sama.
Pernah suatu ketika, di luar geludhuk sedang nyaring-nyaringnya. Aku yang tengah mengerjakan PR matematika, mendadak gemetar. Angin seperti ditiup dua raksasa di luar. Aku berjalan keluar. Melihat ia, sedang duduk di mesin jahit. Kedua tangan dan pikirannya berfokus pada kain, yang dari kejauhan bermotif burung dan bunga. Aku sedikit lupa.
Kakiku menjadi terpaku. Ada perasaan enggan untuk menghampirinya. Ternyata ia merasakan kehadiranku. Matanya terlihat sangat sayu.
"Kau takut? Bawalah bukumu dan kerjakan di sini." Lagi. Aku menurutinya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Di rumah-di ruang yang sama-di waktu yang sama. Itulah kami. Aku tidak mengerti, oh-atau lebih tepatnya mungkin aku belum mengerti, atau aku bahkan tidak mengerti sama sekali. Kecanggungan ini seperti gunung es yang sudah lama sekali membeku. Apakah akan cair dengan sendirinya, atau kami berdua menikmati dinginya suasana.
Ini tidak seperti serial film yang ku tonton setiap Minggu sore. Serial itu mengisahkan seorang ibu peri yang lembut kepada anak-anaknya. Dan anak-anak juga tidak takut menceritakan apa saja pada ibu peri tersebut.
PR matematiku sudah selesai. Aku mengerjakannya dengan sungguh hingga tertidur di sofa beludru coklat kami. Di luar sudah turun hujan. Menyeruakkan hawan dingin, tetapi aku ingat tubuhku tidak sedingin itu. Sebab, tubuhku terselimuti motif bergambar beruang, dan kedua tangan itu mendekap di sampingku.
***
Orang mengatakan aku sudah beranjak dewasa. Mungkin benar-karena aku sudah tidak takut lagi pada petir, dan sudah tidak meringkung di ketiaknya saat kedinginan. Hanya saja, percakapan itu masih terjadi sangat jarang. Sama seperti biasanya. Namun, saat merayakan pergantian usiaku yang ke tujuh belas-kami berdua meniup lilin bersamaan. Melantunkan doa. Aku mencium tangannya, dan ia memelukku.
Aliran darahku mengalir hangat dan cepat. Hingga di pertengahan tahun, darah itu seakan mendidih. Aku ingin melanjutkan studiku dalam melukis. Aku ingin menjadi seorang seniman. Itu terpatri sejak usiaku 6 tahun. Ketika sekolah mengajak karya wisata dan aku melihat lukisan indah lengkap dengan filosofinya. Dilukis oleh pelukis perempuan kenamaan, berkebangsaan Portugis. Oh-jauh sebelum itu, aku suka menorehkan imajinasiku pada sampul-sampul buku.
"Mau menghidupi dirimu dengan barang-barang itu?"
"Barang apa? Itu namanya lukisan. Aku yang melukisnya."
"Ya. Tapi, penghasilannya tidak akan tetap. Berbeda jika kamu bekerja di sana."
Berbeda. Tidak seperti biasanya. Aku tidak menuruti perkatannya.
***
Bagaskara tengah terik, dan aku sudah selesai berkemas. Ada dua koper besar yang akan ikut terbang bersamaku ke Boston. Aku mendapatkan beasiswa untuk studiku. Namun, ada pergumulan yang tetap saja mendera akan keberangkatanku.
Pintu kamarku terketuk. Aku mempersilahkan masuk. Ia duduk di tempat tidurku, menaruh sebongkah kotak. Dan hanya mengatakan, "pakai ini jika kau merasa kedinginan." Lalu, keluar dengan raut wajah-yang aku sendiri tidak sanggup menebaknya.
***
Ini sudah tahun ke empat. Merupakan semester akhir dari masa perkuliahanku. Biasanya di akhir semester, kami mengadakan pameran untuk ujian akhir. Pameran ini juga menentukan nilai kelulusan. Persiapanku sudah 95%, semoga. Semoga. Amin. Pameran projek akhir nanti, mengusung tema mengenai 'yearning.' Di mana Desember sering digunakan para pelajar untuk kembali ke rumah mereka masing-masing.
Aku tengah menyelesaikan lukisanku di halaman gedung universitas. Hawanya sangat syahdu. Aku di temani kekasihku, Ergha. Dia sedang asik tenggelam membaca sastra Belanda.
"Huufffttt..." aku menarik napas panjang-lega. Setelah berhasil menggoreskan warna yang paling crusial dalam lukisan ini.
"Have you done it, babe?"
Aku tersenyum-mengangguk. Dia memandangi lukisanku. Terlihat alisnya menaut. Bingung.
"A lot of red. Like blood?" ekspresinya masih kebingungan. "What does it mean?" aku hanya tertawa.
Diriku berbalut dress hitam panjang. Ku lihat Ergha sudah berada di kursi undangan. Pameran akan dimulai sepuluh menit lagi. Aku cukup gelisah. Tidak tenang. Bagaimana kabar di Indonesia sekarang?
Tepat seminggu setelah keberangkatanku. Tahun 1998. Di Indonesia sedang krisis moneter. Kerusuhan itu menguar di mana-mana, meski jauh dari daerahku. Namun, tetap saja mengerikan. Mungkin itu menjadi salah satu alasan, aku boleh terbang ke Boston. Demi keselamatanku. Bagaiamana dengan keselamatannya?
"Tapi..." terdengar keraguan yang mendalam suaraku.
"Berangkatlah. Paklik, Buklik menjagaku. Berangkatlah."
Pemotongan pita sudah selesai. Pameran dimulai. Aku berkeliling, melihat karya teman-temanku. Menakjubkan. Hingga ada seseorang sedikit terengah-engah napasnya menghampiriku.
"Where have you been? You have a visitor. Hurry up!" Aku berlari kecil dalam balutan kain panjang ini.
"I'm sorry, sir, madam."
"Kau orang Indonesia." Tembaknya.
Aku mendelik. "Ya."
"Berapa harga lukisanmu? Satu milyar? Atau aku berani menaruh hingga lima milyar," aku tercekat. "Aku menyukai filosofi dan makna lukisan ini. Meski ya... lebih banyak abstrak pada padanan warnannya."
Aku masih tidak bergeming. Ergha merangkul pinggangku dari belakang, membisikan sesuatu. Dia mau aku mengiyakan tawaran ini. Sahabatku Anne dan Patridge menganggukkan hal yang sama.
"Berapa gadis, manis?" Kali ini si ibu bergaun merah yang bertanya.
"Maaf. Ini tidak dijual. Saya akan membawanya ke Indonesia."
Kulihat seluruh wajah menatapku kecewa. Mungkin juga marah. Anehnya, tidak ada penyesalanku di sana.
***
Jam hapeku sudah menunjukkan pukul 21.00 Waktu Indonesia Bagian Barat. Sebentar lagi, pesawat ini akan mendarat di Bandar Udara Internasional Adisucipto. Aku pulang ke Yogyakarta.
Tapi, aku tidak segera pulang-ke tempat di mana seharusnya. Ku rebahkan badanku sejenak di hotel bandara. Pikiranku melayang. Akankah ia menyukai lukisanku? Akankah ia bangga terhadapku? Bagaimana wujudnya sekarang? Secantik dulu kah? Sehat ataukah sakit?
Aku memandangi lukisanku yang tersegel. Ukurannya sangat besar.
***
Perempuan itu duduk di bawah pohon cemara bertumbuh jarang di halaman. Bersenandung sembari menjahit. Rambutnya kini beruban panjang. Aku mengenali suara itu. Ya, aku mengenalinya setiap malam duduk di meja jahit, bersautan dengan dengkingan nyamuk.
Aku menghampirinya perlahan-waktu berjalan melambat agaknya. Ia menyadari hadirku. Menatapku sedikit terhentak. Kemudian berdiri. Syukurlah-raganya masih sehat dan utuh.
"Cah ayu..." aku memeluknya. Berbalas lebih erat dari biasanya. "Kok nggak ngabarin bulik atau paklik pulang ke Indonesia?"
"Gantari kangen sekali sama ibuk." Tidak perlu ditanya, air mata kami sudah melebur. Tanpa mengucapkan hal yang sama. Aku bisa merasakan, ada kerinduan yang lebih mendalam dari pelukannya.
"Matur nuwun Gusti. Anakku sehat." Dia menatap langit yang mendung.
Kami berdua membuka lukisan ini. Terlihat air matanya bergeming saat membaca filosofinya.
Title: Meminum Air Darah Ibu.Â
Ada pertaruhan sebelum terjadinya kelahiran. Disusul dengan harapan yang memanggil-manggil sebagai manusia. Namun, ada yang lebih besar lagi yaitu, banyak pengorbanan bagi nyawa kecil yang akan bertumbuh dewasa bahkan sampai mati.Â
Mula-mula diberi air susu ibu. Badan dan energinya menjadi satu. Hingga pada akhirnya, keringat, air mata, darah turut serta. Tetuah mengatakan, tidak ada sebanding dengan harga nyawa si ibu, bahkan dengan meminum darahnya sekalipun. Namun, hebatnya ia tidak memintamu meminum darahnya. Meskipun kau sendiri tahu, darah itu menghantarkan nyawamu ke bumi.Â
Sengaja ku tulis hanya dalam Bahasa Indonesia dan tidak menerjemahkannya ke dalam Bahasa Inggris saat pameran.
Ia memelukku sangat erat. Air matanya menetes di lenganku. Ia adalah ibuku.
"Bu, selamat hari ibu..."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI