"Berapa gadis, manis?" Kali ini si ibu bergaun merah yang bertanya.
"Maaf. Ini tidak dijual. Saya akan membawanya ke Indonesia."
Kulihat seluruh wajah menatapku kecewa. Mungkin juga marah. Anehnya, tidak ada penyesalanku di sana.
***
Jam hapeku sudah menunjukkan pukul 21.00 Waktu Indonesia Bagian Barat. Sebentar lagi, pesawat ini akan mendarat di Bandar Udara Internasional Adisucipto. Aku pulang ke Yogyakarta.
Tapi, aku tidak segera pulang-ke tempat di mana seharusnya. Ku rebahkan badanku sejenak di hotel bandara. Pikiranku melayang. Akankah ia menyukai lukisanku? Akankah ia bangga terhadapku? Bagaimana wujudnya sekarang? Secantik dulu kah? Sehat ataukah sakit?
Aku memandangi lukisanku yang tersegel. Ukurannya sangat besar.
***
Perempuan itu duduk di bawah pohon cemara bertumbuh jarang di halaman. Bersenandung sembari menjahit. Rambutnya kini beruban panjang. Aku mengenali suara itu. Ya, aku mengenalinya setiap malam duduk di meja jahit, bersautan dengan dengkingan nyamuk.
Aku menghampirinya perlahan-waktu berjalan melambat agaknya. Ia menyadari hadirku. Menatapku sedikit terhentak. Kemudian berdiri. Syukurlah-raganya masih sehat dan utuh.
"Cah ayu..." aku memeluknya. Berbalas lebih erat dari biasanya. "Kok nggak ngabarin bulik atau paklik pulang ke Indonesia?"