Diriku berbalut dress hitam panjang. Ku lihat Ergha sudah berada di kursi undangan. Pameran akan dimulai sepuluh menit lagi. Aku cukup gelisah. Tidak tenang. Bagaimana kabar di Indonesia sekarang?
Tepat seminggu setelah keberangkatanku. Tahun 1998. Di Indonesia sedang krisis moneter. Kerusuhan itu menguar di mana-mana, meski jauh dari daerahku. Namun, tetap saja mengerikan. Mungkin itu menjadi salah satu alasan, aku boleh terbang ke Boston. Demi keselamatanku. Bagaiamana dengan keselamatannya?
"Tapi..." terdengar keraguan yang mendalam suaraku.
"Berangkatlah. Paklik, Buklik menjagaku. Berangkatlah."
Pemotongan pita sudah selesai. Pameran dimulai. Aku berkeliling, melihat karya teman-temanku. Menakjubkan. Hingga ada seseorang sedikit terengah-engah napasnya menghampiriku.
"Where have you been? You have a visitor. Hurry up!" Aku berlari kecil dalam balutan kain panjang ini.
"I'm sorry, sir, madam."
"Kau orang Indonesia." Tembaknya.
Aku mendelik. "Ya."
"Berapa harga lukisanmu? Satu milyar? Atau aku berani menaruh hingga lima milyar," aku tercekat. "Aku menyukai filosofi dan makna lukisan ini. Meski ya... lebih banyak abstrak pada padanan warnannya."
Aku masih tidak bergeming. Ergha merangkul pinggangku dari belakang, membisikan sesuatu. Dia mau aku mengiyakan tawaran ini. Sahabatku Anne dan Patridge menganggukkan hal yang sama.