"Gantari kangen sekali sama ibuk." Tidak perlu ditanya, air mata kami sudah melebur. Tanpa mengucapkan hal yang sama. Aku bisa merasakan, ada kerinduan yang lebih mendalam dari pelukannya.
"Matur nuwun Gusti. Anakku sehat." Dia menatap langit yang mendung.
Kami berdua membuka lukisan ini. Terlihat air matanya bergeming saat membaca filosofinya.
Title: Meminum Air Darah Ibu.Â
Ada pertaruhan sebelum terjadinya kelahiran. Disusul dengan harapan yang memanggil-manggil sebagai manusia. Namun, ada yang lebih besar lagi yaitu, banyak pengorbanan bagi nyawa kecil yang akan bertumbuh dewasa bahkan sampai mati.Â
Mula-mula diberi air susu ibu. Badan dan energinya menjadi satu. Hingga pada akhirnya, keringat, air mata, darah turut serta. Tetuah mengatakan, tidak ada sebanding dengan harga nyawa si ibu, bahkan dengan meminum darahnya sekalipun. Namun, hebatnya ia tidak memintamu meminum darahnya. Meskipun kau sendiri tahu, darah itu menghantarkan nyawamu ke bumi.Â
Sengaja ku tulis hanya dalam Bahasa Indonesia dan tidak menerjemahkannya ke dalam Bahasa Inggris saat pameran.
Ia memelukku sangat erat. Air matanya menetes di lenganku. Ia adalah ibuku.
"Bu, selamat hari ibu..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H