Mohon tunggu...
Mutiara Tyas Kingkin
Mutiara Tyas Kingkin Mohon Tunggu... Freelancer - Educators

These are my collection of words to share with you. Hopefully, it will bring a good vibe to the readers.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Antrean

3 September 2022   08:09 Diperbarui: 3 September 2022   08:17 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tubuhku seperti melayang. Aku tidak peduli didorong ke depan, belakang, kiri, kanan. Aku seperti zombie dalam antrean. Tatapanku kosong. Terserah arah antrean ini mau membawaku kemana. Aku tidak peduli.

Jutaan orang tumpah ruah dalam antrean ini. Membawa tujuan dan latar belakangnya. Ada yang mengantre bersama keluarga cemaranya. Ada yang mengantre dengan sahabat-sahabat karibnya. Ada yang mengantre dengan kekasih hatinya. Ada yang sendirian. Ada yang mendapat kenalan. Ada yang menolong. Ada yang ditolong. Ada yang mencuri. Ada yang memberi. Ada yang menangis. Ada yang tertawa.

Sekarang, aku merasa sangat kosong dalam antrean ini. Semua ambisi yang aku bawa, emosi yang meletup-letup seakan hilang menguap begitu saja. Tidak ada lagi celetukkan, "aku pasti bisa meraih itu," "akan kutunjukkan pada siapapun yang meremehkanku," "aku marah," "aku kecewa," "aku iri," "Tuhan mau apa?" "Tuhan aku capek?" "Tuhan kenapa harus saya?"

Langkah kaki dalam antrean ini mengambang. Mengikuti arus. Tanpa emosi berarti yang dirasakan.

***

Terik matahari mulai redup. Aku masih sama. Langkah kaki mengambang. Mengikuti arus. Tanpa emosi berarti yang dirasakan. Namun, tiba-tiba langkahku terhenti. Seorang ibu dengan bayinya yang ia dekap, tertendang-tendang rombongan yang melangkah kasar. Aku berdiri tepat di hadapan ibu-anak itu. Menjadi tameng si rombongan kasar. Ibu itu mendongak. Air matanya bercucuran. Menganggukkan kepala sebagai ucapan terima kasih. Aku tersenyum. Mulai melanjutkan langkah dalam antrean.

Aku masih mengantre. Masih sama. Langkah kaki mengambang. Mengikuti arus. Tanpa emosi berarti yang dirasakan. Begitu terus sampai hari melenggang malam. Nampaknya, antrean tidak sesesak tadi tengah hari. Kurasakan napasku mulai sedikit lega. Aku mengamati sekitar. Orang-orang juga tidak serusuh tadi, mereka justru beristirahat seperti orang piknik.

Ujung antrean ini sudah mulai terlihat. Aku istirahat sebentar. Meluruskan kaki. Ada yang terasa aneh. Tapi, aku sendiri tidak tahu apa. Aku mengambil kemeja flannelku untuk menutupi wajahku. Aku menangis. Ya, malam itu aku menangis.

***

Aku sudah tiba. Ini giliranku. Aku berada di sebuah ruangan dengan tembok berwarna kuning memudar. Aku langsung duduk di karpet hijau itu. Menarik napasku dalam-dalam. Menghembuskannya. Kuulangi berkali-kali. Terdengar suara langkah kaki dari belakangku. Aku sudah bisa menebakknya siapa itu.

              "Kamu terburu-buru sekali anak manis. Sangat berambisi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun