Mohon tunggu...
Mutiara Tyas Kingkin
Mutiara Tyas Kingkin Mohon Tunggu... Freelancer - Educators

These are my collection of words to share with you. Hopefully, it will bring a good vibe to the readers.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menyeka Tragedi

21 Agustus 2022   17:16 Diperbarui: 21 Agustus 2022   17:17 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semburat sinar matahari sudah menggelitik wajahku, melalui celah-celah ventilasi berdebu. Aku mengernyitkan dahi. Kepalaku nyut-nyutan. Nampaknya semalam aku berlaku bodoh lagi. Ku dudukkan badanku. Pandanganku memutar. Buyar. Ya, ini memang tindakan bodoh yang harus ku akhiri, dan seharusnya tidak pernah terjadi lagi atau ku akhiri saja semuanya.

Aku berusaha mengingat apa saja yang terjadi kemarin. Sial. Kepalaku makin nyut-nyutan. Aku hanya mengingatnya sebagian. Sepulang dari embung, tubuhku langsung ambruk ke kasur. Berharap segera terlelap namun nyatanya aku hanya terbujur kaku seperti mayat hidup. Potongan-potongan kejadian itu berkelebatan di kepalaku. Membuatku semakin frustasi.  

Sudah habis beberapa botol, tetap saja aku terjaga. Lalu, aku berdiri dan membenturkannya ke tembok, "Malam ini kau harus tidur ke-pa-rat." Setelahnya aku sudah tidak tahu apa yang terjadi denganku.

"Saaaaaaampah...."

Lamunanku terhenti mendengar teriakan Pak Minjo si tukang sampah. Dengan sisa tenaga aku bergegas menuruni anak tangga sembari memegangi kepalaku yang berdenyut.

"Pak..." Aku berlari kecil menyusul langkahnya yang sudah hampir menjauh dari kosan.

"Yee si eneng... wuihh banyak amat neng sampahnya. Sampah brapa tahun ini?" Pak Minjo memang suka melucu. Kami anak-anak kos baik yang lama maupun yang baru sudah akrab dengannya.

"Eh... bentar pak." Aku mengambil DVD itu sebelum Pak Minjo mencampur adukkan sampahnya.

"DVD apaan neng? Film bokep ya... hayo..."

"Iya pak, belum selesai nonton. Tanggung." Pak Minjo hanya geleng-geleng kepala. Aku menahan tawa melihat ekspresi mukanya yang kemerahan terbakar matahari.

***

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya laptop merah maroon butut itu menyala. Ku masukkan kepingan DVD yang pinggiranya sedikit berkarat. Layar laptopku seketika gelap.

"Sialan." Umpatku. Belum sempat tanganku menekan power off. Tiba-tiba layarnya memunculkan warna putih. Biru. Putih. Kemudian hitam. "DVD sialan."

Sebelum aku menutup paksa laptoku, tiba-tiba layarnya menyala. Memutarkan sebuah video. Kepalaku yang masih nyut-nyutan seketika bermuara pada titik fokus. Video itu menampilkan seorang anak kecil di sebuah rumah sakit. Terbaring dengan banyak selang di tubuhnya. Lalu, berpindah ke sebuah kolam renang. Berpindah ke bandara. Ke sebuah rumah, dan terkahir di sebuah embung.

Jantungku berdebar-debar menyaksikan video itu. Kepalaku semakin sakit.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA." Ku tutup laptopnya dan membantingnya.

Semua peristiwa dalam video itu... "Sial."

Ya, anak kecil dalam video kecil itu adalah aku. Aku tidak ingat tepatnya berada diusia berapa. Tapi, aku meyakini benar anak kecil itu aku. Videonya memang tidak jernih, tapi setiap tempat yang berada di dalamnya adalah lokasi yang aku tau persis.

Kakek itu... "Putar ini. Dan lewati saja adegan yang paling kau benci."

Ku buka lagi laptopku, menyalakannya kembali video itu. Kali ini ku putar ulang pada setiap bagiannya. Kepalaku masih berdenyut.

***

Rumah sakit, 2006.

Gempa bumi melanda Yogyakarta. Peristiwa itu menyisakan trauma yang begitu mendalam untukku yang kala itu masih berusia duduk di bangku sekolah dasar. Aku tertimpa puing-puing, mengharuskan aku harus dilarikan ke rumah sakit. Koma selama dua minggu. Tapi, ada yang lebih mengerikan dari itu. Ketika aku kembali lagi ke rumah. Aku sudah tidak menemui eyang kakung. Eyang tidak selamat dan meninggal dalam tragedi gempa Jogja. Aku menangis dan berteriak histeris. Kata orang-orang yang menenanganiku, aku mengalami tantrum dan harus dibawa ke psikater anak.

Eyang kakung adalah sosok yang paling dekat denganku. Ketika mereka lebih sibuk mengurusi hingar bingar dan selalu beradu argumen. Eyang selalu mempunyai dongeng tentang si kancil, yang mengandung sarat makna kehidupan. Menceritakan masa mudanya, dan bagaimana ia menaklukan hati eyang putri.

***

Kolam Renang, 2011.

Kantor ayah sedang memiliki program berlibur keluarga. Tapi, hanya aku, kakak, dan ayah yang berangkat karena, mama juga sedang sibuk dengan urusan pekerjaannya. Sore itu, di villa tampak sepi. Aku sendiri juga tidak tahu orang-orang pergi kemana. Perasaan bosan yang menyergap menghantarkan ku menuju ke kolam renang. Ternyata di sana cukup ramai. Aku mulai mengganti pakaianku dan mencemplungkan tubuhku ke kolam. Hawa segar langsung merasuk ke pori-pori kulitku.

Namun, kesegaran dan kenyamanan itu tidak berlangsung lama. Ada dua orang laki-laki yang sedari tadi mengikuti arah berenangku. Hingga aku sampai di pojok kolam renang dan tiba-tiba mereka menarik kakiku. Aku berusaha melawan. Aku tidak bisa berteriak di dalam air. Ya... peristiwa paling menjijikan dalam hidupku itu terjadi. Dua laki-laki asing melecehkanku. Sejak saat itu. Aku sangat membenci diriku. Aku mencoba melewati adegan di video ini.

***

Bandara, 2018.

Laki-laki tinggi yang selama tiga tahun selalu bersamaku menghantarkan ku sampai ke batas pintu masuk pengantar. Ada yang janggal pagi ini. Tapi ku tepis segala pikiran negatif itu. Aku memeluknya, dia pun membalasnya. Tersenyum. Ku seret koper-koperku, dan melambaikan tangan untuknya.

Sial. Pesawatku delay sampai besok pagi. Untung saja ini hanya kepergian kepulanganku ke rumah, bukan untuk acara penting yang harus segera aku sambangi. Entah kenapa hari itu aku sangat malas berganti pesawat. Aku lebih memilih menunda kepergianku esok hari.

Aku keluar menyusur lobby-lobby bandara untuk mencari coffee shop. Belum sempat aku memasuki coffee shop itu, mataku menangkap laki-laki brengsek itu. Apalagi ini kalau bukan soal perselingkuhan. Ku blokir seluruhnya yang berhubungan tentangnya. Detik itu aku menganggap hubungan kami berakhir dengan sia-sia. Aku mencoba melewati adegan di video ini.

***

Rumah di Jogja, 2018.

Akhirnya aku memutuskan naik kereta untuk pulang ke Jogja. Kebanyakkan orang menganggap rumah adalah dimana kita mempunyai tempat untuk pulang. Awalnya aku juga menganggapnya demikian. Sampai pada akhirnya, surat cerai ada di atas meja makan dan mereka sepakat.

Persetan. Untuk apa mereka mengikrarkan janji pernikahan jika merawatnya saja tidak pernah. Mereka sibuk mengurusi huru-hura, uang, uang, uang, dan perselingkuhan. Lingkaran setan. Aku tidak banyak berkomentar terkait masalah ini. Aku menganggap, hidup kami menjadi masing-masing. Tidak ada lagi keluarga. Aku mencoba melewati adegan di video ini.

***

Kendal, 2020.

Sudah hampir satu tahun aku tinggal di kota kecil ini, di Jawa Tengah. Sejak pandemi melanda, mengakibatkan bisnis yang kubangun bangkrut. Aku terpaksa memberhentikan seluruh karyawanku, dan terlilit hutang. Seluruh asset yang aku punya apartemen, mobil, dan saldo rekening sudah raib untuk memberi pesangon dan membayar beberapa uang pinjaman.

Aku menepi di pinggiran kota Kendal. Tinggal di sebuah kos-kosan sederhana, dengan atap kamar bocor sejak dua minggu lalu. Namun, aku tidak mengajukan protes. Untuk apa? Manusia sepertiku yang selalu telat membayar uang sewa, tidak layak untuk protes. Saat ini, aku memenuhi kebutuhanku dengan bekerja di sebuah toko bunga.

Di embung sore itu. Aku memang berniat ingin mengakhiri semuanya. Ya... benar-benar semuanya.

***

Setelah selesai menonton video itu. Aku menjadi teringat seorang kakek yang aku temui di embung kemaren sore.

Sial. Batu itu sudah terlempar entah ke arah mana, dan sekarang ujung jari kakiku berdarah.

"Haha..."

Aku menengok ke sumber suara. Dari arah belakang. Seorang kakek-kakek, dengan stelan baju gombroh motif bergaris dan celana pendek hitam. Sejak kapan dia berada di belakangku? Apakah sedari tadi dia mengikutiku?

"Apa kakek menguntit?"

Bukannya menjawab. Kakek itu justru tertawa menampakkan giginya yang ompong kekuningan. Aku mengernyitkan dahiku. Sialan. Siapa kakek ini? Sedari tadi sekitar embung ini tidak ramai. Hanya ada penjual bakso tusuk dengan topinya yang sudah buluk. Entah apa warna aslinya. Serta ibu muda yang tengah hamil, duduk sembari membaca buku. Sisanya hanya orang berlalu lalang dari kampus yang gedungnya tidak jauh dari sini.

Aku celingukan. Dari mana kakek ini tiba-tiba sudah berada di belakangku. Tidak menaruh curiga dia akan berbuat jahat seperti bandit yang tiba-tiba merebut tasku. Toh, tubuhnya saja sudah terlihat sangat renta. Punggungnya sedikit membukuk. Sedang kerutannya ada dimana-mana. Kalau boleh aku tebak, mungkin usianya sudah 70 tahun atau lebih. Eh... tapi siapa tau, ada pistol di balik baju gombrohnya.

Aku mulai membuat jarak.

"Aku tidak membawa pistol. Hanya punya pisau dapur, biasanya untuk mengupas mangga yang jatuh dari pohon di belakang gubug."

Aku benar-benar tidak mengerti. Siapa kakek ini? Aku tidak akan berpikir macam-macam. Takut nanti dia bisa menebak isi kepalaku. Kupalingkan pandanganku ke embung. Sore ini aku hanya ingin duduk tenang, mengumpat, atau aku akan meledak. Tapi, kakek ini tiba-tiba hadir dan membuatku ingin memilih opsi ketiga.

"Jangan sesekali kau berpikir untuk menyakiti dirimu sendiri. Itu justru hanya akan menyakiti Dia."

Sial. Kali ini aku benar-benar sudah tidak tahan. "Kakek mau apa? UANG?!" Bentakku. "Jangan tertawa, karena sedang tidak ada yang lucu di sini."

Wajahnya seketika berubah. Matanya yang sedari tadi menyipit ketika tertawa kini menatap ke arah depan dengan sayu. Nampaknya aku sudah berlaku kurang ajar. Membentak orang tua memang bukan tindakan terpuji. Sial. Ledakkanku salah sasaran.

"Ma...ma-maaf kek. Tadi saya-"

Kakek itu kini melinting tembakau dari dalam sakunya yang gombroh. Memetikkan api dari korek kayu yang sisa satu, dan mulai menghisap rokok tembakaunya.

"Hidup ini memang misteri. Manusia berusaha. Namun, kadang tergelincir oleh rasa jumawanya sendiri. Salah itu wajar wong menungso. Tapi, tidak perlu dilarut-larutkan." Asapnya mengebul di antara kami. Anehnya rokoknya tidak berbau. Tak menganggu seperti asap rokok kebanyakkan. "Sing uwes yo uwes." 

Kakek itu mematikan ujung rokoknya. Memasukkan sisanya ke dalam saku. Ia mulai beranjak berdiri. Aku menyusulnya berdiri.

"Kek, saya minta maaf. Tadi membentak." Ia memegang pundakku. Tersenyum. Kerutan di matanya membuat raut wajahnya berbinar kembali.

Kakek itu merogoh sesuatu dari sakunya yang gombroh. Saku itu memang terlihat sangat besar. Sepertinya si kakek menyimpan banyak barang-barang di situ. Tangannya mengeluarkan kepingan DVD berwarna putih, tapi pinggiran piringnya sudah berkarat.

"Putar ini. Dan lewati adegan yang paling kau benci." Dengan ragu-ragu aku menerimanya. Sebelum melangkah pergi, kakek itu tersenyum kembali. Kini langkah kakinya perlahan menjauh. Dia manusia. Ya. Kakek-kakek seperti pada umumnya. Jalannya lambat dan sedikit membungkuk. Aku terkekeh dalam hati, sempat mengira akan seperti di film-film kakek itu akan tiba-tiba menghilang.

Langit sudah menerima senja dengan sempurna. Aku juga harus bergegas pulang. Persetan dengan DVD butut tidak jelas ini. Aku sedang tidak ingin memikirkan apapun yang membuat otakku semakin runyam.

***

Langit belum terlalu gelap. Aku segara pergi ke embung. Berharap menemui kakek berbaju gombroh itu. Beruntung. Sesampainya di sana, aku melihatnya sedang memancing. Bajunya masih gombroh seperti kemaren sore.

Aku berdiri di belakangnya. "Oh duduk sini, nduk." Kakek itu mengetahui kehadiranku.

"Apa kau sudah melihat DVDnya? Kau suka?"

"Setiap adegan di video itu aku membencinya. Tapi, aku tidak bisa melewatinya. Dimana kakek mendapat DVD ini?"

"Dari penjaga warnet. Pemutar DVD di rumah kakek sedang rusak. Jadi kakek sudah lama tidak menyetel DVD. Itu video DVD kesukaan kakek dan cucu. Kami sampai tertawa terbahak-bahak melihatnya."

"Hah?" Aku mulai tak habis pikir. Jangan-jangan kakek ini orang gila. Tapi DVD ini? Sebetulnya darimana ia dapat? "Jadi, kakek tertawa melihat seluruh tragedi dalam hidupku? Dan menurut kakek itu lucu?"

"Apa maksudmu, nduk?"

"Iya kan? Video itu berisi tragedi-tragedi dalam hidup saya, yang ingin saya hapus dan buang jauh-jauh."

Kakek itu berhenti memancing. Mulai menatapku dengan tatapan serius.

"Hatimu belum mengampuni. Bahkan mengampuni dirimu sendiri."

Aku masih tidak paham. "DVD itu berisi video film tentang seorang ayah yang kehilangan putrinya akibat penyakit kanker. Masa-masa di rumah sakit, baginya adalah masa-masa kelam. Bapak itu bisa mengubah tragedi kelam dalam hidupnya, dengan menjadi seorang guru yang lucu bagi murid-muridnya. Setiap pembelajaran dia selalu menyisipkan lelucon untuk muridnya."

"Kakek selalu melewati adegan di rumah sakit dalam video itu, dan langsung beranjak ke bagian lucu. Tapi, setelah bertahun-tahun kakek memutar video itu. Barulah mengerti, tanpa adegan di rumah sakit maka bapak itu tidak akan bisa memaknai setiap kejadian dalam hidupnya. Bahkan mungkin tidak akan pernah bisa tertawa lagi."

Sambungnya, "Memang apa yang kau lihat dalam video itu, nduk?"

Aku diam termagu. "Kemaren kakek lihat, kamu terlihat murung sekali. Kakek takut kamu terjatuh ke dalam embung. Makanya kakek dekati. Kakek punya banyak DVD, ada kartun, film, dan lagu-lagu. Kalau kamu tidak suka DVD yang itu. Kamu bisa memilih yang kamu suka."

***

Siang ini, aku berkunjung ke rumah kakek. Rumahnya luas dan banyak pohon mangga. Aku membawakan sop buntut untuk makan siang bersama. Kakek punya dua orang anak. Keduanya sudah menikah, dan selalu berkunjung setiap weekend. 

Kami makan siang bersama. Di sinilah kakek bercerita, bahwa cucu pertamanya meninggal akibat kanker darah. Itulah alasan kakek selalu melewati adegan rumah sakit dalam film kesukaan cucunya.

"Tragedi dalam hidup kita, tidak akan pernah bisa hilang seberapa keras kita berusaha menghapusnya. Namun, yang bisa kita lakukan hanya berdamai dan menerimanya."

Aku tersenyum mendengar nasehat kakek yang kupanggil si kakek gombroh. Oh astaga aku baru menyadari sesuatu. Aku seperti berjumpa kembali dengan eyang kakung. Aku dan kakek makan dengan lahap sop buntut masakanku. Kemudian, kami ke belakang untuk mengupas mangga.

Mungkin benar. Aku masih marah pada setiap tragedi menyesakkan dalam hidupku. Berdamailah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun