Mohon tunggu...
Mutiara Tyas Kingkin
Mutiara Tyas Kingkin Mohon Tunggu... Freelancer - Educators

These are my collection of words to share with you. Hopefully, it will bring a good vibe to the readers.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menyeka Tragedi

21 Agustus 2022   17:16 Diperbarui: 21 Agustus 2022   17:17 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wajahnya seketika berubah. Matanya yang sedari tadi menyipit ketika tertawa kini menatap ke arah depan dengan sayu. Nampaknya aku sudah berlaku kurang ajar. Membentak orang tua memang bukan tindakan terpuji. Sial. Ledakkanku salah sasaran.

"Ma...ma-maaf kek. Tadi saya-"

Kakek itu kini melinting tembakau dari dalam sakunya yang gombroh. Memetikkan api dari korek kayu yang sisa satu, dan mulai menghisap rokok tembakaunya.

"Hidup ini memang misteri. Manusia berusaha. Namun, kadang tergelincir oleh rasa jumawanya sendiri. Salah itu wajar wong menungso. Tapi, tidak perlu dilarut-larutkan." Asapnya mengebul di antara kami. Anehnya rokoknya tidak berbau. Tak menganggu seperti asap rokok kebanyakkan. "Sing uwes yo uwes." 

Kakek itu mematikan ujung rokoknya. Memasukkan sisanya ke dalam saku. Ia mulai beranjak berdiri. Aku menyusulnya berdiri.

"Kek, saya minta maaf. Tadi membentak." Ia memegang pundakku. Tersenyum. Kerutan di matanya membuat raut wajahnya berbinar kembali.

Kakek itu merogoh sesuatu dari sakunya yang gombroh. Saku itu memang terlihat sangat besar. Sepertinya si kakek menyimpan banyak barang-barang di situ. Tangannya mengeluarkan kepingan DVD berwarna putih, tapi pinggiran piringnya sudah berkarat.

"Putar ini. Dan lewati adegan yang paling kau benci." Dengan ragu-ragu aku menerimanya. Sebelum melangkah pergi, kakek itu tersenyum kembali. Kini langkah kakinya perlahan menjauh. Dia manusia. Ya. Kakek-kakek seperti pada umumnya. Jalannya lambat dan sedikit membungkuk. Aku terkekeh dalam hati, sempat mengira akan seperti di film-film kakek itu akan tiba-tiba menghilang.

Langit sudah menerima senja dengan sempurna. Aku juga harus bergegas pulang. Persetan dengan DVD butut tidak jelas ini. Aku sedang tidak ingin memikirkan apapun yang membuat otakku semakin runyam.

***

Langit belum terlalu gelap. Aku segara pergi ke embung. Berharap menemui kakek berbaju gombroh itu. Beruntung. Sesampainya di sana, aku melihatnya sedang memancing. Bajunya masih gombroh seperti kemaren sore.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun