Apapun itu, kata-katanya membuatku merasa bersalah jika hanya berdiam diri menatap sesuatu. Jadilah aku yang memutuskan memindahkan pandanganku kepada buku.
"Jangan buka dulu. Lebih baik kita pergi ke kantin. Bukankah waktu istirahat disediakan untuk beristirahat?" Ucapnya lagi.
Aku mendengus kesal. Jika aku membuka buku, bukankah itu artinya aku tak mau diganggu? Aku memandanginya yang masih bersemangat berbicara padaku walaupun aku menunjukkan sikap ketidaksukaanku akan keberadaannya di sampingku.
Matanya berbinar. Dia tersenyum. Aku mencoba mengalihkan pandanganku pada bukuku lagi.
"Sudahlah. Ayo ikutlah denganku." Anak perempuan itu masih kukuh mengajakku pergi. Bahkan kini tangannya telah melingkar di tanganku. Membuatku refleks memandangi lenganku sendiri.
Aku memandanginya sambil mengerucutkan dahi. Awalnya dia tersenyum. Tapi setelah kuberi tatapan seperti itu, senyumnya perlahan memudar. Matanya yang tadi berbinar menjadi redup.
"Maaf." Lirihnya.Â
"Ya sudah kalau tidak mau. Aku pergi." Ucapnya lirih. Suaranya terdengar sendu.Â
Tunggu, apakah aku berlebihan? Kulihat punggungnya yang terkulai lesu mulai menjauh lalu kemudian menghilang di balik pintu.
"Bro!" Seseorang menepuk pundakku pelan. Membuatku refleks menengok ke arahnya.
"Ada apa, Ton?" Tanyaku padanya. Namanya Toni. Kawan sekelasku.