Mohon tunggu...
Mutia Khumairoh
Mutia Khumairoh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis adalah jalan terbaik ketika kau ingin berbicara tapi tak tahu bagaimana cara untuk mengutarakannya dengan suara.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen 1] Apa Salahnya Bermimpi?

11 Maret 2024   15:05 Diperbarui: 19 April 2024   10:52 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semua orang boleh bermimpi. Semua orang berhak memiliki mimpi. Bermimpilah setinggi langit, karena jika pun jatuh masih berada di antara bintang-bintang. Begitulah orang bijak berkata.

Tapi mengapa orang berkata padaku, "Jangan mimpi kau!"setiap kali aku berkata bahwa mimpiku adalah pergi berkeliling dunia dengan kekuatanku sendiri?

Apakah karena aku masih kecil? Tidak juga. Aku sudah tujuh belas tahun. Sudah berhak memiliki SIM. Sudah berhak memilih di pemilihan umum. Dan dua tahun lagi aku memasuki usia legal menikah. Bukankah aku tidak bisa dianggap anak kecil lagi?

Aku kembali merenung. Apakah semua ini karena aku miskin? Ku pikir lagi, sepertinya tidak. Bukankah banyak tokoh tokoh dunia yang juga berangkat dari kemiskinan? Kalau mereka boleh, mengapa aku tidak? Ataukah mereka juga mengalami hal sama sepertiku di masa sebelum kesuksesannya?

Atau karena bapaku petani? Atau karena bapakku tidak sekolah? Ku pikir lagi juga sepertinya tidak. Bukankah yang bermimpi adalah aku? Lalu mengapa bapaku yang tidak sekolah menjadi alasan aku tidak boleh bermimpi?

Aku masih duduk diam menatap papan tulis berwarna putih mengkilap di depan kelas. Warna hitam tulisannya baru saja dihapus oleh kawanku tadi.

"Rangga!" Suara anak perempuan yang setengah berteriak itu menyusup ke dalam telingaku. Membuatku menoleh ke arah suara itu datang. Jika kau bertanya mengapa aku menoleh, jawabannya karena Rangga adalah namaku.

"Jangan melamun!" Perintahnya saat presensinya sudah berada di samping kursi tempat aku mendudukkan diri.

"Aku tidak melamun." Sanggahku dengan percaya diri. Aku yakin aku tidak melamun.

"Duduk diam bermenit-menit sambil menatap satu titik. Apa namanya jika bukan melamun?" Ucap anak perempuan itu lagi.

"Aku tidak melamun. Aku hanya memikirkan beberapa hal." Belaku pada diri sendiri.

"Oh ya? Memikirkan apa?" Tanya anak perempuan itu lagi.

"Tentang mimpi-mimpiku." Jawabku jujur. Lelah dengan pertanyaannya yang sebenarnya tak ingin ku jawab. 

Dia kemudian terkekeh. Ada apa dengannya? Dia menertawakanku? Tanyaku dalam hati.

"Mimpi akan menjadi mimpi jika kau bau bangun. Dan mimpi selamanya hanya akan menjadi mimpi jika kau tak berusaha mewujudkannya. Jika kau hanya diam dan memikirkan mimpi-mimpimu, itu namanya berkhayal." Ucapnya lagi. Menohok ulu hatiku. Menjadikannya terasa sesak.

"Benarkah? Apa maksudmu?" Tanyaku lagi.

Dia kembali terkekeh. Ada apa sebenarnya dengan dirinya?

"Entahlah, aku pun tak tahu apa yang aku ucapkan. Aku hanya mengatakan apa yang terlintas di pikiranku. Lagi pun, aku bukan filsuf yang paham akan makna dari segala sesuatu." Ucapnya ringan. 

Apa-apaan dia ini? Aku mengernyitkan dahi tanda berpikir.

"Apa perkataanku ada yang melukaimu? Jika iya tolong maafkan aku. Aku tidak bermaksud apapun. Kata-kata tadi spontan keluar dari pikiranku." Ucapnya sambil tersenyum. Nada bicaranya sedikit berubah. Terdengar lebih tenang.

"Tidak." Ucapku pendek kemudian menarik sebuah buku di meja. Tidak dapat ku pungkiri. Perkataannya membuatku merasa aneh. Bagaimana aku menjelaskannya? Tersindir? Tersinggung ? Atau mungkin termotivasi? 

Apapun itu, kata-katanya membuatku merasa bersalah jika hanya berdiam diri menatap sesuatu. Jadilah aku yang memutuskan memindahkan pandanganku kepada buku.

"Jangan buka dulu. Lebih baik kita pergi ke kantin. Bukankah waktu istirahat disediakan untuk beristirahat?" Ucapnya lagi.

Aku mendengus kesal. Jika aku membuka buku, bukankah itu artinya aku tak mau diganggu? Aku memandanginya yang masih bersemangat berbicara padaku walaupun aku menunjukkan sikap ketidaksukaanku akan keberadaannya di sampingku.

Matanya berbinar. Dia tersenyum. Aku mencoba mengalihkan pandanganku pada bukuku lagi.

"Sudahlah. Ayo ikutlah denganku." Anak perempuan itu masih kukuh mengajakku pergi. Bahkan kini tangannya telah melingkar di tanganku. Membuatku refleks memandangi lenganku sendiri.

Aku memandanginya sambil mengerucutkan dahi. Awalnya dia tersenyum. Tapi setelah kuberi tatapan seperti itu, senyumnya perlahan memudar. Matanya yang tadi berbinar menjadi redup.

"Maaf." Lirihnya. 

"Ya sudah kalau tidak mau. Aku pergi." Ucapnya lirih. Suaranya terdengar sendu. 

Tunggu, apakah aku berlebihan? Kulihat punggungnya yang terkulai lesu mulai menjauh lalu kemudian menghilang di balik pintu.

"Bro!" Seseorang menepuk pundakku pelan. Membuatku refleks menengok ke arahnya.

"Ada apa, Ton?" Tanyaku padanya. Namanya Toni. Kawan sekelasku.

"Kau memang si rangking satu? Tapi aku tidak tahu ternyata kau bodoh juga." Ucapnya padaku. Sama seperti reaksiku pada anak perempuan tadi. Aku mengerutkan dahi saat mendengar apa yang dia ucapkan padaku.

"Berhenti menatap orang dengan tatapan dan ekspresi seperti itu! Itu membuatmu terlihat bodoh sekaligus menjengkelkan." Ucap Toni lagi.

"Maaf." Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tak gatal.

"Mimpi ada untuk diwujudkan. Tapi duniamu dan apa yang ada di hadapanmu sekarang juga harus kau kejar." Ucapnya sambil kembali menepuk bahuku.

"Hah?" Responku pendek. Aku kurang bisa menangkap apa yang dia katakan.

"Pergilah ke kantin bodoh! Kejar si Rina!" Ucapnya kesal. Ku beri tahu, anak perempuan tadi bernama Rina. 

"Kenapa?" Tanyaku pada akhirnya.

Toni kembali mendengus kesal. "Kau bodoh! Tak usah kau pikirkan kenapa! Pergi saja, ikuti perkataanku!" Ucapnya kesal.

Sekarang giliran aku yang mendengus kesal. Bagaimana tidak? Berkali-kali disebut bodoh oleh Toni. Yang mohon maaf, di kelas pun tidak masuk sepuluh besar. Mohon maaf jika aku terdengar sombong. Tapi aku sekarang sedang kesal. Jadi jangan protes!

Pada akhirnya aku menuruti ucapan Toni. Jika tidak, maka suara Toni akan terus mengisi pendengaranku hingga bel masuk berbunyi nanti.

Aku melangkah dengan tak bersemangat. Menuju kantin yang jaraknya cukup untuk menghabiskan waktu lima menit yang kumiliki.

Kulihat Rina sedang ikut mengantri dalam barisan. Ia terlihat tak bersemangat.

"Rina." Panggilku pendek. Kulihat ia menoleh ke arahku. Perlahan tapi pasti, dapat kusaksikan air mukanya telah berubah.

Matanya kembali berbinar. Senymnya kembali melebar. Bahkan aku dapat melihat gigi-gigi kecilnya serta lesung pipi yang tercetak di pipi kanannya. Seketika aura cerah berada di sekelilingnya. Membuat suram yang tadi menempel padanya hilang entah kemana.

Satu kata. 

Manis. 

Wajah itu menularkan senyum di wajahku tanpa ku rasa. Sadar-sadar aku sudah tersenyum seperti orang bodoh. 

Mungkin Toni benar. Aku memang bodoh.

Apa ini? Mengapa aku suka melihatnya tersenyum? Dan mengapa aku ter

senyum saat melihatnya tersenyum.

Dan aku juga bertanya-tanya. 

Apakah sekarang kau juga tersenyum?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun