Pekan ketiga di sekolah ini, aku dan Angga mulai bisa bertukar sapa. Meski hanya saat duduk di bangku. Prudence tak pernah bosan merekam. Rekaman yang kemudian aku dan ia tonton bersama. Meyakinkan Angga mulai terlihat tak lagi ragu langsung tatapiku saat berbicara.
“Maaf. Aku hanya sangat penasaran.”
Prudence memegangi dua lengan Angga. Mereka berhadap-hadapan begitu dekat.
“Pru, kumohon jangan memaksa…”
“Rengganis hanya satu dari puluhan cewek di sekolah ini. Mengapa hanya ia…”
“Aku juga tak tahu. Kumohon Pru, mereka mulai memberati jiwaku. Mereka yang tak bisa kau lihat. Tidak juga oleh sebagian besar teman-teman kita. Mereka yang menjagaku tetap sendiri…”
Mata Angga terpejam. Tubuhnya mulai membasah dan menggigil. Prudence mundur dan lepaskan pegangannya.
“Hai!! Kalian ternyata di sini!...”
Spontan Rengganis raih tangan Angga, juga Prudence.
“Pulang sekolah nanti aku mau mengajak kalian makan siang. Ujian Bahasa Indonesiaku A+! Aku harus merayakannya…Eh, ada apa? Angga, tanganmu begitu dingin…”
Perlahan Angga membuka matanya. Takut-takut pandangi Prudence, melirik ke arahku.