“Aku mau duduk di sini. Ibu Retno mengijinkan.”
Pagi ketiga. Prudence berkeras memaksaku bersabar meski semalaman aku mencecarnya di chat Line. Aku tak bisa. Aku Rengganis, harus tahu segala yang ingin ku tahu.
Pilihan yang kemudian membuat hari ketigaku serasa di neraka kesunyian. Tak ada balasan dari kalimat pertamaku pagi tadi. Pun tak ada percakapan baru setelahnya. Prudence berikan emotikon tawa berderai lima baris, ketika aku baru saja menyapanya ‘Hai’ segera setelah keluar dari kelas.
“Anti basa-basimu mati kutu kan di sebelah Angga?”
“Aku tak mau kalah. Tak boleh. Aku akan bertahan sampai Angga menyapaku lebih dulu…”
“Doaku untukmu Nis…Hahahahahaha…”
“Ceritakan padaku sekarang! Sebut apa saja yang kau sukai..Wiken di Puncak? Ke Bandung? Atau ke Bali? Apapun. Demi cerita yang kamu miliki bersama Angga…,” aku pasti mencengkeram lengan Prudence terlalu keras. Alisnya yang cantik berkerut.
“Maaf. Tapi aku juga akan menyiksamu dengan penasaran begini rupa. Ayolah Pru…”
“Ok. Kebetulan, stok pop corn Garretku kosong. Sekarang ikut aku pulang, sore ini kita terbang ke Singapura.”
Spontan aku memeluk Prudence. Tak peduli apa yang membuatnya ringan hati menolongku, dekati mantannya.
***