Elang di Dadaku
Di sinilah aku sekarang, di depan cermin besar dengan dada terbuka. Memandangi bayangan sebentuk aksara, aku teringat padamu, Lang. Selalu begitu. Selama hampir tiga windu terakhir ini, aku belum juga berhasil melupakan kisah kita. Menghapus sepenggal tentangmu dari dada saja, aku tak mampu. Tidak! Tidak pernah bisa. Di situ, kau akan selalu ada. Selamanya.
***
Benar katamu, kita harusnya berterima kasih kepada penjaga warung telekomunikasi. Ya, perempuan judes yang memberi kita nomor antrean. Angka enam dan sembilan yang ditulisnya di kertas kecil itu, sulit dibedakan. Membuat kau dan aku berdebat sengit di depan bilik wartel.
"Gue nomor enam! Giliran gue!"
Mendengar bentakanmu, tentu saja aku ngotot. Enam adalah nomor antreanku. Namun, langsung kaubantah dengan mengatakan itu angka sembilan. Kau juga mengungkap, melihat kemunculanku. Sebuah fakta bahwa aku datang belakangan, semakin jelas dan kuat.
"Gue mau nelpon ortu. Penting, tauk!"
Kautegaskan tujuanmu melakukan sambungan telpon langsung jarak jauh. Kubalas saja dengan enteng, itu cuma dusta belaka. Aku yakin, kau ingin menghubungi kekasihmu di luar kota. Rindu sedang membara, memberangus etika, sampai-sampai ingin menyerobot antrean dari seorang wanita.
"Kalo nggak percaya, sini! Ikut masuk aja! Lagian, kalo emang gue mo nelpon pacar, kenapa? Lo cemburu?"
"Idihh, siapa elu!"
Kupalingkan wajah dan kau pun masuk. Namun, aku tak juga beranjak dari depan bilik, masih sibuk menggerutu. Kesal kepadamu. Bahkan, aku tak acuh dengan tatapan aneh orang-orang di sekitar.