Mohon tunggu...
Ika Mulya
Ika Mulya Mohon Tunggu... Penulis - Melarung Jejak Kisah

Pemintal Aksara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Elang di Dadaku

5 Juni 2020   12:28 Diperbarui: 5 Juni 2020   12:38 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila telah bosan, kita pindah ke Kansas, kantin sastra. Sekadar ngopi atau menikmati mi ayam, makanan kesukaanmu. Canda dan tawa menyeruak di sela-sela obrolan tentang apa saja.

"Kita ngamen, yuk!"

Idemu itu konyol, Lang! Bagaimana aku bisa setuju. Motor RX- King terbaru saja bisa kau beli, buat apa mendulang receh di gerbong kereta atau bus kota? Begitu ungkapan protesku.

"Lo aja yang manja! Dasar anak papi!"

"Gue nggak manja! Ayo! Tapi buat apa, Lang?"

Rupanya kau ingin menemaniku observasi. Menyelesaikan tugas kuliah tentang kehidupan anak-anak jalanan, tidak cukup hanya dilihat dari balik kaca sedan papi. Namun, membiarkanku kelayapan sendirian di jalanan ibukota, kau tak tega. Maka demi tugasku, jadilah kita sepasang pengamen dadakan. Modal nekat. Sungguh sebuah penyamaran yang absurd.

Lang, aku cemburu setiap ada perempuan yang memandangmu begitu lekat. Huhh! Itu bukan sekadar tatapan takjub, melihat ada pengamen jalanan yang rupawan. Bukan! Aku yakin, mereka menginginkanmu jadi kekasih. Hati ini semakin panas saat kau juga melempar senyum untuk mereka. Sok manis kau, Lang! Menyebalkan!

Inikah pertanda diam-diam cinta telah berkelindan? Menyusup bersama hangat saat kau merangkulku di bawah deras hujan bulan November. Tumbuh liar di sela-sela hubunganku dengan Arjuna yang penuh tanda tanya. Kau selalu ada setiap kali aku merasa begitu hampa. Tak ada habis-habisnya mengisi hari juga ... hati.            

Suatu malam, lewat telpon Arjuna memutuskan hubungan. Long Distance Relationship yang sangat menyiksa, menjadi alasan utamanya. Aku menyetujui keputusan tersebut, pantang mengiba, meskipun atas nama cinta. Sekuat tenaga menegar-negarkan hati, tetapi di depanmu, manalah kubisa.

"Nangis aja di sini."

Kauikhlaskan sepasang bahumu kupukuli, sebelum merengkuh tubuh ini. Kemudian, tanpa ragu kutenggelamkan wajah dalam pelukan, dan air mata pun tumpah ruah di dadamu. Kau diam seribu bahasa, tetapi menghujaniku kecup lembut di pucuk kepala. Mengeratkan dekapan, mengalirkan hangat kekuatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun