"Tuh, masuk!"
Kubalas kalimat perintah itu dengan tatapan heran. Tak sampai setengah menit?
Seolah-olah mendengar pertanyaan batinku, kau pun menjelaskan bahwa kedua orang tuamu sedang tidak ada di rumah.
Sial! Malam itu, pacarku juga sedang tidak ada di rumah. Kekesalan berlipat ganda. Aku keluar bilik, menuju kasir. Kau baru selesai membayar biaya telpon. Lalu akhirnya, kita sama-sama meninggalkan wartel langganan.
"Woy, lo mau ke mana?"
Andai bisa menghubungi kekasih tercinta di Surakarta, aku pasti jadi sangat bersukacita. Kemudian, merayakan kebahagiaan itu dengan sepiring nasi goreng spesial di warung tenda. Sayangnya, hatiku tengah merana. Ingin pulang saja, menangisi rindu yang kian tak bertepi bersama bantal guling kesayangan. Ya, tanpa sadar kubeberkan jawaban panjang lebar tersebut.
"Mending ikut gue, yuk! Makan pecel lele di situ, daripada lo mewek sendirian di kosan. Hahaha."
Ah, kau benar. Lebih baik aku menghibur hati. Setidaknya, memanjakan perut yang sedari siang belum diisi. Begitu aku berdalih pada diri sendiri, sebelum mengiyakan tawaranmu malam itu.
Kita berjalan bersama menuju warung tenda yang kau maksud. Bapak penjual pecel lele menyambut kedatangan kita dengan ramah. Mas Elang, apa kabar? Aku ingat betul sapaan lelaki beruban itu.
Dari ucapan si bapak, aku tahu namamu. Elang. Mungkin itulah yang membuat kita tidak pernah berjabat tangan dan saling mengucapkan nama, layaknya orang berkenalan. Elang? Nama asli?
Tanpa memandangku, kau balik bertanya, "Apa pentingnya sih, nama itu asli atau cuma nickname?"