Mohon tunggu...
Ika Mulya
Ika Mulya Mohon Tunggu... Penulis - Melarung Jejak Kisah

Pemintal Aksara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Elang di Dadaku

5 Juni 2020   12:28 Diperbarui: 5 Juni 2020   12:38 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepadamu, kulampiaskan segenap pedih perih. Bukan sebab menangisi Arjuna. Bukan, Lang! Aku menangisi diri sendiri. Jarak Jakarta-Surakarta tetaplah sama, sejak kali pertama cinta bersemi sampai tiga tahun terlewati. Mengapa baru malam itu tiba-tiba jarak jadi kendala. Mengapa tak terbaca satu saja tengara, bahwa sesungguhnya dia tak pernah benar-benar cinta. Bodohnya aku!        

Kau masih saja membisu.

Dalam heningmu, diam-diam aku berharap kau berkata sesuatu, Lang. 'Ada aku di sini, Ka. Ada aku yang mencintaimu lebih dari Arjuna. Lebih dari siapa pun.' Begitu kalimat yang kuimpikan keluar dari mulutmu. Namun, sampai embun-embun kedukaan mengering dan malam beranjak menua, tak juga terdengar apa-apa. Aku kian nelangsa.

Esok harinya adalah Kamis pertama di Januari 1997. Tepat tiga purnama, terhitung sejak pertemuan kita di wartel. Kau datang ketika aku tengah bersusah payah melesapkan cinta dari hati. Setengah memaksa, kau mengajakku ke Jack's Tattoo Studio--tempatmu bekerja paruh waktu.

"Buat apa punya tato? Jangan!"

"Suka-suka gue, dong!"

Baiklah. Suka-suka kau saja, Lang. Toh, sebelumnya pun, aku telah merelakan diri dicekam kekhawatiran setiap kali kau ikut pendakian. Semata demi memberimu kebebasan yang utuh. Terserah.

Tertera dua huruf kanji dalam print out yang kau sodorkan ke Jack. Laki-laki bertubuh penuh tato yang pendiam itu hanya mengangguk-angguk, lalu menyiapkan peralatan. Kau duduk dan mengulurkan tangan kanan--yang sudah dibersihkan dengan alkohol--di atas meja kerja Jack.

Walaupun Jack tampak sangat profesional, tetap saja aku ngeri. Tiap kali ujung jarum menitikkan tinta di punggung tanganmu, rasa ngilu menjalar ke pikiran. Maka, lebih baik menatapmu saja, seraya menanyakan apa arti dua huruf kanji itu.

Alih-alih menjawab, tanganmu yang lain justru meraih jemari kananku. Lalu, berkali-kali kau mengecupnya sambil terus menatap. Tatapan yang sulit kumaknai. Mungkinkah lewat sorot mata, kau tengah mencoba berbagi sakit? Sedemikian sakitkah, hingga tak sanggup menjawab pertanyaanku?

"Liat aja di buku kuliah gue."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun