Dari ranselmu, aku mengambil buku yang pada sampulnya tertulis kata 'Hiragana'. Dalam catatan itu, kutemukan dua huruf kanji yang kau jadikan tato pertamamu. Salah satunya dibaca 'i' dan yang lain: 'ka'. I-ka?
Kau masih menatap dengan cara yang sama, kali ini sambil tersenyum. Genggaman tanganmu semakin erat. Sontak aku merasa seperti sedang dilambungkan ke langit. Namun, ada suara-suara batin yang menahanku agar tidak terus melayang. Ada jutaan perempuan di dunia ini bernama 'Ika' atau dipanggil seperti itu.
"Ya, Ika. Cewek yang bolak-balik nangis di dada gue. Yang bikin gue udah kayak 'Ksatria Penadah Air Mata'. Yang ngegigit pundak gue, kalo gue ngebut. Yang bilang permainan gitar gue itu jahanam, bikin insomnia. Kenal?"
Sembari menahan gelak bungah, aku sengaja menggeleng. Berharap kau merinci lebih banyak lagi tentang 'Ika'-mu. Jadi, aku bisa berjingkrak tanpa ragu dan memeluk tanpa malu-malu.
Namun, kau diam saja. Sesekali terlihat meringis, tetapi belum juga mengalihkan tatapan. Kebisuan itu menular. Aku pun kehilangan kata-kata, seperti raib terisap oleh hati yang tengah berpendar liar.
Aku lupa berapa lama Jack mengerjakan tugasnya. Yang jelas, begitu selesai kau langsung menunjukkan tatomu, sehasta di depan wajahku. Dua huruf kanji warna hitam selebar lima sentimeter yang sangat artistik.
"Tato ini, pengganti kalimat 'I love you' yang nggak keluar dari mulut gue. Kemaren-kemaren, hari ini, dan ... seterusnya."
Seketika itu juga aku meleleh, Lang.
"Pengennya sih di kepala, biar botak gue ini ada hiasannya."
"Cukup, Lang. Cukup! I love you too."
Kau tersenyum lebar. Tanpa kusadari ternyata Jack sudah menyingkir dari ruangan. Kita terlalu sibuk, saling mengeratkan pelukan dan berpagut mesra. Bahagia. Sangat bahagia.