"Kamu bilang apa pada si Otong Gapuak, Jeng? Ayo, laporkan apa yang kamu ceritakan padanya?" desak Lestari menuntut.
"Nggak pernah ngomong yang aneh-aneh kok!"aku mengelak, setelah mengerti arah pertanyaannya.
"Jangan begitu dong, Jeng.Mengaku saja!" nadanya sangat memohon. Memelas. Cemberut dan meringis. Ditatapnya aku dengan pandangan kurang bersahabat. Nyaliku ciut juga ketika menyaksikan bola matanya membias merah. Ah, di kaki langit hatinya bergelombang kabut hitam. Pertanda apa? Kok sampai berduka gadis manis ini? Apa yang terjadi dengan dirinya?
Dan tanganku menggeletar ciut ketika mengambil amplop berbunga warna jingga, ia sodorkan padaku. Amplop ia berikan dengan sikap memusuhi.
Lestari yang manis:
Sungguh , aku tak pernah menduga dalamnya relung perasaanmu. Baru ini kali aku memahami semua itu. Dari Jejeng, seorang Otong memeroleh kejelasan yang seterang-terangnya tentang keagungan cintamu padaku. Maafkan aku manis, jika lama sudah kau menanti jalinan benang sutra dariku. Sebagaimana juga perasaan kamu, aku juga telah lama memendam perasaan yang aneh itu terhadap dirimu. Ya, bunga cinta kita! Sudah tiba saatnya aku menulis surat ini, kendati naluriku menyatakan lebih baik berterus-terang saja, tanpa perantara surat segala.
Tetapi manisku, surat ini tak lebih sebagai penembus dinding kokoh yang 'menjurangkan' kita selama ini. Aku berhasrat sekali mendengar penuturan dari bibirmu yang ranum ( yang sering membuatku bermimpi, duhai gadisku!). Di relung kalbumu, benarkah bersemi benih cintaku seperti kauutarakan pada Jejeng, teman akrabmu itu? Semoga aku tak salah kaprah, nona cantik! Semoga gayung bersambut agar aku tak bertempik sebelah tangan!
Oh ya Lestari!
Sebubarnya sekolah besok, aku menunggumu di simpang tiga jalan menuju ke rumahmu. Oke? Aku ingin membuktikan kenyataan yang sebenarnya, jalinan sutra cinta-putih di antara kita.
 Salamku,  Â
Merdy Lesmana