Mohon tunggu...
Muhammad Zainuddin Badollahi
Muhammad Zainuddin Badollahi Mohon Tunggu... Peneliti muda -

Mahasiswa UNHAS jurusan Antropologi, Program Master ilmu Sosial Politik jurusan Antropologi di UNHAS. Hobi : Membaca, Nulis, Fotografi, Traveling, Diskusi. Menjadi Konsultan adalah salah satu cita-cita ku. Menjadi seseorang dengan penuh tantangan dan menjadi seorang penelitian adalah hal yang menarik buat ku.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Beberapa Konsekuensi UU tentang Desa terhadap Konsep Pembangunan Desa, Pembagian Urusan, Penyusunan Peraturan Perundangan di Bawahnya, dan Penganggaran 2015-2019

10 November 2014   05:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:12 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rakyat Harus Tau Arah Pembangunan Desa ?



Ditetapkannya undang-undang tentang desa pada tanggal 18 Desember 2013 bagaikan kulminasi tujuh tahun demonstrasi perangkat. Diakomodasinya tuntutan elite pendemo di antara 122 pasal perundangan ini mengindikasikan bakal berubahnya wajah tujuh puluhan ribu desa seindonesia.

Kebijakan Pembangunan

Kebijakan publik di negara sedang berkembang diciptakan bukan sekedar guna melayani masyarakat, melainkan sekaligus mengubahnya. Hendak dilakukan sesuai peringkat desa, pembangunan nantinya dilaksanakan dalam batas sedesa maupun kawasan kerjasama beberapa desa (Bab IX pasal 78-85).

Tertulis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, selama periode 2010-2014 pemerintah berencana memasuki 12.500 desa dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara melalui utang luar negeri, program pemberdayaan menjajagi lebih dari lima puluh ribu desa. Sayang dalam sensus oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, perangkat desa melaporkan masing-masing jenis program pembangunan hanya memasuki 3 persen hingga 31 persen desa seindonesia.

Konsekuensi target serendah itu ialah dibutuhkan 700 tahun bagi APBN untuk mendanai seluruh fasilitas desa. Donor luar negeri mungkin menyingkat jalan pembangunan, namun toh masih dibutuhkan waktu hingga 100 tahun lagi.

Undang-undang desa memiliki sisi percepatan pembangunan. Memang sebagian isinya berupa pencantuman kembali pokok-pokok peraturan menteri dalam negeri (permendagri), seperti alokasi dana desa (ADD), aset desa, badan usaha milik desa (Bumdes), kerjasama desa, sistem informasi desa, kelembagaan sosial dan lembaga adat.

Bedanya terletak pada penguatan legalitas serta penajaman substansi. Dapat diperkirakan aspek ekonomi, sosial dan budaya desa akan berkembang.

Uang, Adat

Data BPS menunjukkan rata-rata penerimaan desa Rp 254 juta per tahun. Nilai ADD mendominasi sebesar Rp 105,9 juta atau 41,7 persen. Jumlah ADD seluruhnya diperkirakan hanya Rp 7,4 triliun.

Undang-undang ini akan melipatgandakan ADD hingga empat belas kali, hingga mencapai sekitar Rp 1,4 miliar per desa dalam setahun. Selain sesuai tuntutan demonstrasi perangkat desa, pemerataannya berpotensi meningkatkan pembangunan 3-30 kali lipat.

Aturan peruntukan 30 persen untuk operasionalisasi pemerintahan desa (sesuai surat edaran Mendagri, 17 Agustus 2006)hanya cocok saat ADD bernilai Rp 300 juta, sesuai kondisi sekarang. Lebih dari angka tersebut akan menggemukkan tunjangan perangkat. Peningkatan nilai ADD melonjakkan rata-rata honor /tunjangan perangkat dari Rp 100 juta menjadi hampir Rp 500 juta per desa dalam setahun. Tunjangan juga diperluas bagi seluruh perangkat desa hingga dusun serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Sayang pemekaran desa marak, sehingga momentum emas ADD mungkin segera menurun. Diperkirakan tahun 2050 jumlah desa meningkat tiga kali lipat.

Secara khusus undang-undang ini memikirkan peluang desa adat (Bab 13 pasal 96-111). Perbedaannya dari desa pada umumnya berupa penggunaan sejarah dan aturan adat sebagai basis teritorial dan struktur pemerintahan. Ruang bagi adat memang harus ada agar tercipta landasan legal untuk menurunkan UUD 1945 Pasal 18, yang hanya menyebut kesatuan masyarakat hukum adat.

UUD 1945 disusun sebelum masuknya Papua sehingga hanya mencantumkan sekitar 250 kesatuan masyarakat adat –yang kini hendak diklaim sebagai desa (adat). Padahal BPS menemukan 746 suku dominan di seluruh desa, dan 450 di antaranya tumbuh di desa-desa di Papua.

Menggunakan data BPS tahun 2003, desa yang terdiri atas satu suku hanya 38 persen. Desa yang tanpa perkawinan antar suku sekedar 35 persen. Lembaga adat cuma terdapat pada 39% desa.

Jelaslah, pembentukan desa adat mestinya selalu berupa penggabungan desa-desa. Peta juga memperlihatkan lokasi desa-desa sesuku senantiasa berdampingan. Berkaca dari penggabungan rata-rata empat desa menjadi satu nagari di Sumatera Barat, perlu diantisipasi persaingan antar mantan kepala desa lama, serta persaingan memperebutkan dana pembangunan di tingkat desa adat.

Langkah Berikutnya

Perlu diwaspadai konservatisme politik dalam undang-undang ini. Bertambah satu periode, kepala desa boleh dipilih hingga tiga masa jabatan atau 18 tahun –sekitar separuh masa manusia dewasa. Dana operasionalnya dari ADD turut menanjak. Sementara itu, BPD tak kuasa meraih kembali wewenangnya untuk menurunkan kepala desa sebagaimana dalam UU 22/1999.

Alih-alih mendukung desentralisasi, undang-undang tentang desa justru melegitimasi pemerintah pusat langsung mendanai program pembangunannya ke desa (Pasal 72).

Pola yang dibangun undang-undang ini ialah mempercepat pembangunan ekonomi, sosial dan budaya di atas landasan kestabilan politik. Dikhawatirkan pola serupa periode 1970-an hingga 1980-an ini menghasilkan pedesaan otoriter birokratik pembangunan versi baru.

Sebaiknya perbaikan diupayakan saat operasionalisasi undang-undang ke dalam peraturan pemerintah. Apalagi undang-undang ini ditetapkan seusai penyusunan anggaran 2014, sehingga diperkirakan baru efektif mulai tahun berikutnya. Amanat pembentukan peraturan pemerintah meliputi pemilihan dan pemberhentian kepala desa, perangkat desa dan BPD, musyawarah desa, keuangan, dan kekayaan desa.

Konsekuensi terhadap Konsep Pembangunan Desa

Konsep pembangunan yang tercantum dalam UU 6/2014 tentang Desa dapat mempengaruhi cara arah kebijakan dan program pembangunan jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan. Berbagai program tersebut diarahkan untuk memenuhi mandat dari UU tentang Desa.

Sesuai dengan UU 6/2014 tentang Desa (Gambar 1), pembangunan desa dan kawasan perdesaan memiliki tujuan akhir (impact) peningkatan kualitas hidup, kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, serta pengurangan kemiskinan. Tujuan akhir pembangunan desa dan kawasan perdesan juga mencakup tercapainya kemandirian, pendapatan desa dan daya saing desa.

Tujuan akhir (impact) tersebut dapat tercapai melalui keberlanjutan manfaat pembangunan desa dan kawasan perdesaan (outcome) berupa pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan, pengembangan teknologi tepat guna, pengembangan potensi ekonomi lokal dan akses kegiatan ekonomi, pengembangan usaha bersama untuk meningkatkan daya saing, peningkatan efektivitas pemerintah desa untuk mempercepat dan meningkatkan akses maupun kualitas pelayanan pemerintah desa kepada masyarakat, percepatan pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat, pembinaan kelembagaan masyarakat, serta kestabilan keamanan dan ketertiban.

Untuk mencapai manfaat pembangunan tersebut, diharapkan program dan kegiatan menghasilkan (output) batas desa dan kawasan yang jelas, hasil sarana dan prasarana, pemenuhan kebutuhan primer atau dasar, hasil-hasil usaha ekonomi, perguliran dana, bantuan sosial dan hibah untuk orang miskin, layanan pemerintah desa, berbagai kegiatan kemasyarakat yang meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan masyarakat.

Untuk menghasilkan output tersebut, proses-proses pembangunan partisipatif dilaksanakan menurut norma-norma kebersamaan, kekeluargaan, kegotongroyongan, pengarusutamaan perdamaian, keadilan sosial, memanfaatkan kearifan lokal, memanfaatkan sumber daya alam desa, transparansi informasi perencanaan dan pelaksanaan, serta pemantauan oleh masyarakat desa. Strategi kolaboratif yang diunggulkan ialah pembahasan bersama Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa. Proses menuju kemandirian ditunjukkan dengan menggunakan sumber daya alam Desa, menggunakan sumber daya manusia Desa, pengelolaan aset Desa, dilaksanakan oleh Pemerintah Desa, atau dilaksanakan oleh BUM Desa. Proses pelembagaan dilakukan dengan pembentukan badan kerja sama antar-Desa, pembentukan kelompok/lembaga, pembentukan BUM Desa, musyawarah antar-Desa, atau musyawarah desa. Pihak luar dapat mendukung melalui pendampingan, terutama pendampingan teknis dan pendampingan akses ke pasar.

Adapun input pembangunan desa dan kawasan perdesaan mencakup prioritas, program, dan kegiatan pembangunan. Adapun input pendanaan dapat berupa penyertaan langsung oleh Desa dalam BUM Desa, hibah dan akses permodalan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Disadari bahwa pembangunan desa dan kawasan perdesaan tersebut mendapatkan pengaruh dari lingkungan sekitarnya, baik berupa peraturan dan kebijakan, program dna kegiatan yang telah diterima desa, sumberdaya dan teknologi lokal, pendanaan dan usaha ekonomi lokal, maupun aset desa setempat.

Mengingat UU 6/2014 akan berlaku untuk periode pembangunan 2015-2019, maka pokok-pokok isi dalam kerangka pembangunan desa tersebut dapat menjadi substansi bagi perencanaan pembangunan desa. Dalam kerangka pemikiran evaluasi, maka perencanaan tersebut diharapkan mampu mengetengahkan kondisi saat ini, baik berupa informasi program dan anggaran, maupun tingkat harmonisasi peraturan dan kebijakan sebagai landasan pembangunan. Analisis dalam evaluasi tersebut dapat dikelompokkan sebagai (1)masalah dan (2) potensi pembangunan, yang mudah diabstraksikan menjadi isu-isu strategis pemberdayaan masyarakat dan desa.

Berdasarkan rumusan isu strategis tersebut dapat disusun visi dan misi yang akan dipenuhi selama periode 2015-2019. Upaya pencapaian visi dan misi dioperasionalkan dalam tujuan dan prioritas pembangunan, yang diturunkan kembali menjadi strategi pelaksanaan, arah kebijakan, sasaran, program strategis dan anggaran. Evaluasi kinerja selanjutnya bisa dilakukan atas pencapaian visi, misi, tujuan, prioritas, strategi, arah kebijakan, sasaran, program dan anggaran.



Konsekuensi terhadap Perbaikan Permendagri

Agar dapat dioperasionalkan, UU tentang Desa perlu diterapkan menurut peraturan perundangan di bawahnya. Susunan peraturan perundangan tersebut dapat berupa konsekuensi logis dari peraturan di atasnya, atau sebagai mandat yang sudah tertulis dan harus dilaksanakan.

Di bawah ini disajikan mandat yang telah tertulis dalam UU 6/2014, PP 43/2014, dan PP 60/2014, di mana perbaikan Permendagri perlu dilaksanakan.


Tabel. Permendagri yang Perlu Disesuaikan dengan UU 6/2014, PP 43/2014, PP60/2014

Amanat PP dari UU Desa

Amanat Permen dari PP 43/2014

Amanat Permen dari PP 60/2014

Permendagri Saat Ini

Penataan desa

Permendagri 27/2006

Permendagri 28/2006

Permendagri 30/2006

Permendagri 31/2006

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun