Bagi-bagi ilmu:
MEMPERLAKUKAN JENAZAH TERPAPAR COVID-19
Oleh: KH. Muhammad Sholikhin
(Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Kab. Boyolali. Disampaikan dalam acara Pelatihan Pemulasaraan Jenazah Terkait Covid-19, Dinas Kesehatan BPBD Kab. Boyolali, Selasa, 2 Juni 2020).
Dalam jenazah terpapar Covid-19 terdapat problematika yang perlu diuraikan simpul kemudahannya. Disatu sisi wajib tetap memuliakan jenazah dengan merawatnya, dan pada sisi lain terdapat bahaya terhadap mereka yang ikut merawatnya.Â
Oleh karenanya tidak mungkin hal ini diserahkan pada masyarakat umum, yang tidak menguasai teknis perawatan jenazah dalam kategori khusus atau darurat ini. Sehingga seala hukum yang terkait dengannya adalah yang bersifat khusus.Â
Pada konteks inilah posisi Satgas Covid-19 sangat urgen, yang oleh para ulama mereka disetarakan sebagai orang yang berjihad fi sabilillah, dan mendapatkan berbagai rukhshah dalam menjalankan berbagai jenis ibadah, pada saat menjalankan tugasnya.
Sementara jenazah terpapar Covid-19 tetap harus dimuliakan, bahkan harus mendapatkan pernghormatan agak lebih, karena ia adalah terhitung syahid akhirat. Ia harus dimandikan (sejauh masih memungkinkan) dan dikafani sesuai aturah syara, kemudian dikuburkan dengan penuh penghormatan. Jenazah tersebut tidak boleh diremehkan, apalagi mendapatkan penghinaan.
Dalam hal petunjuk dan pedoman perawatan jenazah terpapar Corona, sebenarnya sudah sangat banyak rujukan yang bisa di ambil sebagai landasan pelaksanaan tugas perawatan jenazah. Ada Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah Terinfeksi Covid-19, Surat Edaran Gubernus Jateng Nomor 443.5/0007222 tentang Tatacara Pengurusan Jenazah Terinfeksi Covid-19, Buku Fikih Pandemi oleh NUO Publishing, Fatwa LBM PBNU, Fatwa PP Muhammadiyah dan sebagainya. Pada kesempatan ini, semua materi tersebut coba kita rangkum secara praktis, ditambah dengan berbagai referensi kitab-kitab Fiqih yang ada.Â
KEWAJIBAN TERHADAP JENAZAH MUSLIM
Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda, 'Ada lima kewajiban yang harus dilakukan seorang muslim terhadap saudaranya yang muslim; menjawab salam, mendoakan orang yang bersin, memenuhi undangan, menjenguk orang sakit, dan mengantarkan jenazah." {Muslim 7/3 [1423]}
Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya yang muslim itu ada enam." Seorang sahabat bertanya, Apakah keenam hal tersebut ya Rasulullah?" Rasulullah SAW menjawab, "Apabila kamu bertemu, maka ucapkanlah salam kepadanya; apabila ia mengundangmu, maka penuhilah undangannya itu; apabila ia minta nasihat, maka nasihatilah ia; apabila ia bersin, lalu ia mengucapkan Alhamdulilah, maka jawablah dengan ucapan Yarhamkumullah; apabila ia sakit, maka jenguklah; dan apabila ia meninggal dunia, maka antarkanlah! {Muslim 7/3 [1424]}
ROLE MODEL DAN PRINSIP TAJHIZ AL-JANA'IZ TERPAPAR WABAH
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan" (QS. Al-Isra/17: 70).
"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan" (Qs. al-Baqarah/2: 195).
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu". (Qs. al-Baqarah/2: 185).
"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan" (Qs. Al-Hajj/22:78).
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Ketika seorang lelaki sedang berjalan di sebuah jalan, tiba-tiba ia mendapatkan sebuah dahan yang berduri. Kemudian lelaki itu menyingkirkannya dari jalan tersebut. Melihat itu, Allah berterima kasih kepadanya dan mengampuni segala dosanya." Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang mati syahid ada lima: orang yang mati karena terserang penyakit tha'un, orang yang mati karena sakit perut, orang yang tenggelam di air, orang yang mati karena tertimpa reruntuhan bangunan, dan orang yang mati syahid di jalan Allah Azza wa Jalla." {Muslim 6/51/1086]}
"Rasulullah Saw. bertanya (kepada sahabatnya): 'Siapakah orang yang mati syahid di antara kalian?' Mereka menjawab: 'Orang yang gugur di medan perang itulah syahid ya Rasulullah,. Rasulullah Saw bersabda: Kalau begitu, sedikit sekali umatku yang mati syahid. Para sahabat bertanya: Mereka itu siapa ya Rasul? Jawab Rasulullah Saw: Orang yang gugur di medan perang itu syahid, orang yang mati di jalan Allah (bukan karena perang) juga syahid, orang yang tertimpa thaun (wabah) pun syahid, orang yang mati karena sakit perut juga syahid, dan orang yang tenggelam adalah syahid (HR Muslim).
"Ulama mengatakan, yang dimaksud dengan kesyahidan mereka semua, selain yang gugur di medan perang, adalah bahwa mereka kelak (di akhirat) menerima pahala sebagaimana pahala para syuhada yang gugur di medan perang. Sedangkan di dunia, mereka tetap dimandikan dan dishalati. Sesungguhnya orang mati syahid ada tiga macam.Â
Pertama, syahid di dunia dan di akhirat: yaitu mereka yang gugur di medan perang melawan tentara kafir. Kedua, syahid di akhirat, tapi tidak syahid dalam hukum dunia, yaitu mereka semua yang disebut dalam penjelasan di ini. Ketiga, syahid di dunia, tidak di akhirat, yaitu mereka yang gugur tetapi berbuat curang terhadap ghanimah atau gugur saat melarikan diri dari medan perang, (Syarah al-Nawawi ala Shahih Muslim, VII/ 72).
Dari Aisyah ra. ia berkata: Ketika para sahabat ingin memandikan jenazah Rasulullah Saw., -mereka berbeda pendapat-. Mereka berkata: Kami tidak tahu apakah kami membuka pakaiannya sebagaiman kami membuka pakaian saudara-saudara kami yang meninggal atau kami memandikannya dengan tanpa melepas bajunya?" Ketika mereka sedang berselisih pendapat, Allah telah menidurkan mereka sampai sampai dagu mereka tertunduk ke dada. Kemudian berkata seseorang dari sebelah rumah dan mereka tidak mengetahui siapa dia, dia berkata: Mandikanlah Nabi dengan berpakaian. (H R. Abu Daud)
"Barangsiapa yang memandikan seorang mayit, lalu ia merahasiakan keburukan mayit itu, maka Allah ampuni dia sebanyak empat puluh kali" (HR. Al Hakim)
Dari Aisyah ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: "mematahkan tulang mayit seperti mematahkannya saat hidup" (HR. Ibnu Majah}
PEMULASARAAN JENAZAH TERPAPAR WABAH
Ketentuan Dasar
Pengurusan jenazah terpapar Covid-19 terutama dalam memandikan dan mengafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat. Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar COVID-19.
Umat Islam yang wafat karena wabah COVID-19 dalam pandangan syara' termasuk kategori syahid akhirat dan hak-hak jenazahnya wajib dipenuhi, yaitu dimandikan, dikafani, dishalati, dan dikuburkan, yang pelaksanaannya wajib menjaga keselamatan petugas dengan mematuhi ketentuan-ketentuan protokol medis.
Syahid Akhirat adalah muslim yang meninggal dunia karena kondisi tertentu (antara lain karena wabah/tha'un], tenggelam, terbakar, dan melahirkan), yang secara syar'i dihukumi dan mendapat pahala syahid (dosanya diampuni dan dimasukkan ke surga tanpa hisab), tetapi secara duniawi hak-hak jenazah-nya tetap wajib dipenuhi.
Sebelum pemulasaraan jenazah dilakukan, maka pihak diberikan edukasi tentang penanganan jenazah yang terpapar Covid-19, dengan adanya resiko penularan yang berbahaya, dimana pemakaman harus dilakukan kurang dari 4 jam sejak kematiannya. Pihak keluarga juga diedukasi bahwa jika menghendaki melihat wajah mayat terakhir kali, harus dilakukan sebelum jenazah dibungkus dengan bahan kedap air, dan harus mengenakan APD.Â
Jika sudah dibungkus, maka jenazah harus dibawa langsung ke areal penguburan, dengan ketentuan tidak boleh dibuka lagi.
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan petugas sebelum melaksanakan pemulasaraan jenazah terinfeksi virus.
Petugas wajib menggunakan pakaian pelindung. Mulai dari sarung tangan hingga masker. Semua komponen pakaian pelindung harus disimpan di tempat yang terpisah dari pakaian biasa.
Petugas tidak makan, minum, merokok, maupun menyentuh wajah saat berada di ruang penyimpanan jenazah, autopsi, dan area untuk melihat jenazah.Â
- Hindari kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh jenazah
- Selalu mencuci tangan dengan cairan antiseptik.
- Jika memiliki luka, tutup dengan plester atau perban tahan air.
- Sebisa mungkin, hindari risiko terluka dengan benda tajam.
- Bila petugas mengalami luka tusuk yang cukup dalam, segera bersihkan luka dengan air mengalir
- Bila luka tusuk tergolong kecil, cukup biarkan darah keluar dengan sendirinya
- Semua insiden yang terjadi saat menangani jenazah harus dilaporkan kepada pengawas.
- Perawatan jenazah ketika terjadi wabah penyakit menular, umumnya juga melibatkan disinfeksi.
- Setelah seluruh prosedur perawatan dilakukan, semua bahan (zat kimia atau benda lainnya) yang tergolong limbah klinis, harus dibuang di tempat yang aman.
- Memandikan
Secara umum, memandikan jenazah yang terpapar Covid-19 adalah memandikan jenazah tanpa membuka pakaian jenazah. Jika tidak memungkinkan, maka yang dilakukan adalah menayamumkan (tayammum). Jika hal tersebut tidak memungkinkan lagi, maka jenazah tidak dimandikan atau ditayammumkan.
"Dan tayamum dapat menggantikan memandikan mayit karena tidak ada air atau karena tidak dimungkinkan dimandikan, semisal orang mati tenggelam dan dikhawatirkan tubuhnya akan rontok jika dimandikan dengan digosok atau jika dituangi air tanpa digosok". (al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arbaah, I/476).
Petugas yang memandikan wajib berjenis kelamin yang sama dengan jenazah. Akan tetapi, jika tidak ada petugas yang berjenis kelamin sama, maka petugas yang ada tetap memandikan dengan syarat jenazah tetap memakai pakaian. Kalau tidak, maka jenazah cukup ditayammumkan saja.
Bagaimana jika ada najis pada tubuh jenazah sebelum jenazah terpapar Covid-19 dimandikan? Langkah yang harus diambil petugas adalah dengan membersihkan najis tersebut terlebih dahulu sebelum memandikannya.
Petugas kemudian memandikan jenazah dengan cara mengucurkan air secara merata ke seluruh tubuh jenazah.
"Adapun jika (tidak dikhawatirkan) akan rontok bila sekadar dituangi air, maka tidak boleh ditayamumi, namun harus dimandikan dengan cara dituangi air tanpa digosok" (al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arbaah, I/476).
Jika atas pertimbangan ahli terpercaya bahwa jenazah tidak mungkin dimandikan, maka prosesmemandikan jenazah dapat diganti dengan tayammum sesuai ketentuan syariah, dengan cara mengusap wajah dan kedua tangan minimal hingga pergelangan jenazah dengan debu.
Pentayammuman juga bisa dilakukan ketika air tidak mencukupi untuk memandikan, atau hanya cukup untuk menghilangkan najis saja (Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, 1/272). Untuk menjaga keselamatan diri, petugas tetap menggunakan Alat Pelindung Diri (APD).
Adapun jika dilakukan pemandian atau tayammum menurut ahli akan membahayakan petugas, maka jenazah tidak perlu dimandikan atau ditayamumkan berdasarkan ketentuan dharurat syar'iyyah, namun langsung dikafani dan sibungkus.
Cara Mengkafani
Kewajiban lain yang harus dilaksanakan bagi orang yang meninggal dunia adalah mengafani jenazah. Menurut Dr. Musthafa Said al-Khin dalam kitabnya al-Fiqhul Manhaji ala Madzahib al-lmam Asy-Syafii menjelaskan bahwa mengafani jenazah minimal membungkusnya dengan kain putih yang dapat menutupi seluruh anggota badan dan menutup kepala, jika jenazah bukan orang yang sedang ihram (HR. al-Turmudzi dari sahabat Ibnu Abbas)
Untuk jenazah yang terpapar Covid-19, maka setelah dimandikan atau ditayammumkan, atau karena dlarurat syariyyah tidak dimandikan dan ditayammumkan, maka jenazah terpapar Covid- 19 tersebut dapat dikafani dengan menggunakan kain yang menutup seluruh tubuh.
Jika sesudah dikafani petugas menemukan najis pada jenazah, maka petugas dapat mengabaikan najis tersebut, untuk langsung dimasukkan ke kantng jenazah.
Kemudia jenazah dimasukkan ke dalam kantong jenazah yang aman dan tidak tembus air demi menjaga keselamatan petugas dan mencegah penyebaran virus. Karena kantong jenazah juga ikut dikuburkan, maka itu bisa saja dihitung sebagai salah satu lembar lapisan kafan, walaupun makruh (Nihayat al-Zain, 139).
Setelah proses pengafanan jenazah selesai, jenazah kemudian dimasukkan ke dalam peti jenazah yang tidak tembus air dan udara dengan dimiringkan ke kanan, sehingga jenazah terpapar Covid-19 tetap menghadap ke arah kiblat saat dikuburkan.
Jika diperlukan pada pembungkus kedap air bisa diberikan disinfeksi dengan cairan klorin 0,5%. Dan pemulasaraan itu dianggap aman jika tida ada kebocoran pada pembungkus dan peti jenazah.
Menshalatkan
Menshalati jenazah adalah fardhu kifayah. Adapun tata cara pelaksanaan shalat jenazah untuk jenazah terpapar Covid-19 adalah dengan menyegerakan shalat setelah jenazah dikafani atau dipeti, karena ini disunnahkan.
Shaiat jenazah terpapar Covid-19 sebaiknya dilakukan di tempat yang aman dari penularan Covid-19 dan dilakukan oleh minimal satu orang.
Dalam hal jika kondisi tidak memungkinkan, maka jenazah terpapar Covid-19 boleh dishalatkan di kuburan sebelum atau sesudah dimakamkan.
Jika tidak memungkinkan, maka jenazah boleh dishalatkan dari jauh atau yang disebut dengan shaiat ghaib.
Namun, yang tidak kalah penting diperhatikan adalah orang atau pihak yang melakukan shaiat jenazah terpapar Covid-19 wajib waspada dan menjaga diri dari penularan Covid-19 dengan memperhatikan protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah.
Terhadap jenazah yang banyak, shalat bisa dilakukan hanya dengan sekali shalat dengan niat dijama, baik menyebut semua jenazah atau cukup sebagian saja. Misalnya Usholli alaa man hadlara min amwaatil muslimin. (Fath al-Allam, 3/225).
Menguburkan
Berdasarkan Fatwa MUI tersebut, penguburan jenazah terpapar Covid-19 harus dilakukan sesuai ketentuan syariat dan protokol medis.
Jenazah yang sudah siap dikuburkan, diantarkan dengan mobil jenazah khusus yang langsung menuju pemakaman.
Lokasi penguburan jenazah terpapar Covid-19 harus berjarak setidaknya 50 meter dari sumber air tanah yang digunakan untuk minum.
Lokasi penguburan juga harus berjarak setidaknya 500 meter dari pemukiman terdekat. Jenazah Covid-19 harus dikubur pada kedalaman 2 meter, lalu ditutup dengan tanah setinggi minimal satu meter.
Sesampainya jenazah di lokasi kuburan, maka langsung dimasukkan ke makam bersama dengan peti ke dalam liang kubur tanpa dengan membuka peti, plastik, dan kafan dari jenazah Covid-19 tersebut.
Penguburan beberapa jenazah dalam satu liang lahat diperbolehkan karena sudah termasuk dalam ketentuan al-dharurah al-syariyyah atau kondisi darurat. Diupayakan dalam penguburan massal ini untuk memisahkan antara pria dan wanita. Kalaupun terpaksa harus satu liang dipakai untuk jenazah pria dan wanita, maka diantara pria dan wanita harus ada sekat, baik tanah atau benda lain yang memisahkan di dalam lubang tersebut (al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab, 5/241).Â
Penguburan bisa bertingkat atau menumpuk, dengan diberikan sekat antar jenazah, atau bisa juga menyamping, dengan dbuatkan banyak liang lahat dalam satu lubang besar. Jika sangat terpaksa, dalam satu lubang besar dijejerkan sekian banyak jenazah, untuk langsung dikuburkan bersama. Penguburan seerti ini asalnya tidak diperbolehkan, tetapi jika memang sangat darurat maka diperkenankan (al-Iqna Hamisy Bujairami ala al-Khathib, 2/272).
Bisa jadi karena dahsyatnya wabah, maka dmungkinkan untuk menghadapkan jenazah ke arah kiblat menjadi kesulitan. Maka dalam hal ini diperbolehkan menguburkan mayat dengan tidak dihadapkan ke arah kiblat karena sifatnya yang sangat dlarurat (Asna al-Mathalib, 2/331; al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab, 5/252).
Jika semua prosedur dilaksanakan dengan baik, maka pihak keluarga dapat turut dalam penguburan jenazah. Namun harus dengan menjaga protokol kesehatan, dan maksimal 20 orang.
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat penguburan jenazah terpapar Covid-19. Diantaranya:
Petugas yang mempersiapkan jenazah harus mengenakan sarung tangan sebelum kontak dengan jenazah. Jenis APD yang ditentukan dalam pemakaman COVID-19.
Masyarakat dan keluarga tidak diperbolehkan menyentuh jenazah. Masyarakat dan keluarga yang mengikuti prosedur pemakaman harus mencuci tangan dengan sabun dan air setelah selesai proses pemakaman.
Orang dengan gejala pernapasan tidak boleh ikut dalam pemakaman, atau menggunakan masker medis untuk mencegah penularan COVID-19.
Petugas yang meletakan jenazah untuk dimakamkan harus mengenakan sarung tangan dan mencuci tangan dengan sabun dan air setelah proses penguburan.
Anak-anak, orang dewasa dengan usia >60 tahun, dan orang memiliki penyakit imunosupresi tidak boleh berinteraksi langsung dengan jenazah.
Barang-barang milik jenazah tidak perlu dibakar atau dibuang. Barang barang tersebut dibersihkan dengan deterjen diikuti oleh desinfeksi dengan larutan setidaknya 70 persen etanol atau 0,1 persen (1000 ppm) pemutih. Pakaian dan kain lainnya milik jenazah harus dicuci dengan mesin air hangat di 6090 derajat Celsius dan deterjen. Jika tidak menggunakan mesin cuci, linen direndam dalam air panas dan sabun menggunakan alat pengaduk dan berhati-hati untuk menghindari percikan. Kemudian, linen direndam dalam 0,05 persen klorin selama sekitar 30 menit selanjutnya dibilas dengan air bersih dan linen dikeringkan di bawah sinar matahari.
Jenazah Terpapar Covid-19 Non-Muslim
Menurut Salim bin Abdullah Al-Hadrami dalam Sullamu al-Taufiq h. 36-38, bahwa jenaza non-muslim wajib untuk dikafani dan dikubur, tetapi tidak dishalati.
"Memandikan mayit, mengafani, menyolati dan menguburnya adalah Fardlu Kifayah. Hal itu jika mayit adalah seorang yang beragama Islam yang lahir dalam keadaan hidup. Sedangkan mayit kafir dzimmy hanya wajib untuk dikafani dan dikubur, begitu juga janin yang (belum mencapai umur 6 bulan dan lahir) dalam keadaan mati hanya wajib untuk dimandikan, dikafani, dikuburkan dan keduanya tidak boleh disholati".
"Batas minimal memandikan mayit adalah dengan menghilangkan najis dan meratakan air yang menyucikan ke seluruh kulit dan rambutnya walaupun lebat. Batas minimal menguburkan mayit adalah galian/liang yang mampu menyembunyikan bau mayit dan menjaga tubuh mayit dari binatang buas. Disunahkan memperdalam liang kira-kira seukuran berdirinya orang yang mengangkat tangan. Selain memperdalam disunahkan juga untuk memperluas liang. Dan wajib menghadapkan mayit ke arah kiblat".
Adapun langkah pemulasaraan jenazah terpapar Covid-19 non-muslim adalah:
Pihak keluarga diberikan edukasi tentang protokol perawatan jenazah terpapar Covid-19.
Perawatan jenazah dilakukan berdasarkan protokol medis, sembari memperhatikan ajaran agama dan budaya yang dipakai dan dipedmani.
Setelah diberikan pakaian sepantasnya atau yang lain, maka langsung dimasukkan ke kantong jenazah kedap air, dan diberikan disinfeksi pada pembungkus tersebut.
Lalu jenazah tersebut dimasukkan ke dalam peti jenazah, dan selanjutnya dibawa ke tempat pemakaman atau tempat kremasi.
pada saat pemakaman atau kremasi, peti dan pembungkus tidak boleh dibuka.
keluarga dapat ikut mengantar dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan dan aturan pemerintah.
Jika Jenazah telah Membusuk
Pada situasi wabah yang tidak terkendali, bisa saja adanya mayat yang sudah terlanjur membusuk. Dalam hal ini maka perawatannya adalah sebagai berikut:
Tetap harus dimandikan jika tidak ada kekhawatiran rontoknya anggota badan, atau tidak membahayakan petugas perawat jenazah. Jika tidak dimandikan bisa ditayammumkan.
Diberikan kafan minimal satu lapis yang menutup seluruh tubuh dan auratnya.
Dishalatkan jika tubuh jenazah dan kafan suci. Namun menurut Imam al-Darami, walaupun kondisi jenazah sulit dsucikan maka tetap dishalatkan.
Dimakamkan dengan protokol kesehatan. (Hasyiyah al-Bujairami 'ala al-Minhaj, 1/452).
Jika ada anggota tubuh atau potongan tubuh yang ditemukan setelah pemakaman, atau bagian anggota tubuh tidak lengkap dan tidak tahu milik siapa, maka potongan tubuh tersebut tetap wajib dimandikan, dibungkus selembar kain, dishslati dengan niat menshalati jenazah utuh, dan dikuburkan (Hasyiyah al-Qalyubi wa 'Umairah, 1/505).
Takziyah
Melayat, dalam bahasa agama ialah "takziah". Takziah artinya "menghibur", "menyampaikan belasungkawa", "turut berduka", dan "mengupayakan bersabarnya keluarga yang ditinggal almarhum". Hukum takziah ialah sunnah. Takziah mengandung unsur amar makruf, yaitu mengajak bersabar. Takziah juga termasukyang diperintahkan Allah SWT dalam QS. al-Ma'idah [5]: 2, "Tolong- menolonglah kalian dalam mengerjakan kebajikan dan takwa". Demikian kurang lebih menurut al-Nawawi dalam al-Adzkar-nya.
Takziah tidak sekadar menengok atau melayat orang yang meninggal. Takziah harus dibarengi dengan memotivasi keluarga yang ditinggalkan untuk bersabar, berteguh hati, dan menerima musibah kematian orang terdekatnya. Tujuan takziah untuk menghibur dan membesarkan hati keluarga almarhum. Bentuk takziah bisa bervariasi, dari membantu mengurus jenazah almarhum, menyiapkan keperluan keluarga yang ditinggal, baik dalam wujud materi maupun non-materi.
Bagi keluarga almarhum akibat Covid-19, diingatkan kemuliaan yang diraih oleh orang yang meninggal semacam itu, yakni meraih kedudukan seperti orang yang gugur syahid. Suatu kedudukan yang cukup langka pada zaman ini. Dapat pula dibesarkan hatinya dengan mengingatkan bahwa di antara sahabat Nabi SAW ada yang meninggalnya karena penyakit pandemi, misalnya Abdullah bin Zubair, Mu'adz bin Jabal dan sebagainya. Kegiatan takziah juga berisi doa memohon kasih sayang dan ampunan Allah SWT bagi almarhum atau almarhumah semoga mendapat tempat yang layak di alam sana.
Dalam kondisi pandemi Covid-19, bentuk takziah dapat disesuaikan, misalnya dengan tetap menjaga jarak fisik satu sama lain minimal satu setengah meter. Itu jika memang harus menghadiri secara fisik acara takziah dimaksud. Adapun jika tidak menghadiri, maka dapat dengan mendoakan secara verbal dalam pesan singkat, atau melalui media sosial, atau melalui sambungan telepon. Sebaiknya, itu ditambah dengan mendoakan secara sirr, yakni tanpa sepengetahuan orang yang ditakziahi.
Kremasi Jenazah Covid-19 Muslim
Manusia adalah makhluk mulia, baik hidup dan matinya. "Merusakkan" tubuh mayat sama saja dengan merusak tubuh sewaktu hidupnya. Oleh karenanya, jenazah terpapar Covid-19 tetap harus dirawat. Dalam hal ini kremasi jenazah, baik dengan tujuan menghemat lahan atau mencegah penyebaran virus tidak perlu dilakukan.
Kremasi adalah pengabuan atau pembakaran jenazah, biasanya dilakukan di krematorium. Beberapa negara telah melakukannya dan dijadikan sebagai alternatif cara penguburan karena keterbatasan lokasi pemakaman. Dalam tinjauan Islam, penguburan di tanah menjadi cara yang diatur dalam syariat, selain penguburan di laut bagi jenazah yang meninggal di laut.
Untuk mengatasi keterbatasan lahan pemakaman dilakukan dengan cara "tumpang", yaitu jenazah diletakkan di atas jenazah lain dalam lubang kubur yang sama.
Kremasi jenazah dilarang dalam Islam dengan dalil kecaman Rasulullah SAW terhadap orang yang menggali kuburan kemudian mengeluarkan tulang jenazah dan mematahkannya dengan ungkapan,"Mematahkan tulang orang yang telah mati sama dengan mematahkannya pada waktu hidup" (HR. Malik, Abu Dawud, dan lbnMajah).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H