Handai ikut menonton kartun yang baru saja di-pause. Kedua penumpang itu terlihat seperti kakak-adik jika sudah berdekatan.
"Kalau nonton begini di bus kelas eksekutif lebih nyaman. Lebih nyaman menikmati hobi. Bisa juga mengurangi kadar kegalauan." Ucapan gadis yang terakhir itu memantik rasa penasaran Handai.
"Santai saja mbak, enggak usah dibawa pikiran."
Tiba-tiba wajahnya menjadi sayu saat bercerita tentang pacarnya. Lelaki yang ia maksud satu kampus dengannya di Solo. Setiap hari, ia sering berpapasan dengan pria itu. Saking sering bertemu, mereka akhirnya berpacaran.
"Sudah berapa lama pacarannya mbak?"
"Sudah lama sih. Lupa persisnya." Ucap gadis itu dan mulai bercerita. Namun, mukanya mulai terlihat kusut saat bercerita tentang keadaan pacarnya saat ini. Menurutnya, Ia sudah jarang komunikasi walau hanya menyapa di pagi hari apalagi mengajak jalan-jalan.
"Apa karena dekat dengan.... cewek lain begitu?" Tanya Handai pelan.
"Iya... aku kurang enak kalau cerita ini. Makanya aku tanya sama dia, kamu dekat dengan orang lain selain aku apa tidak. Tapi, dia tidak jawab. Maaf ya kalau aku mau kasar, apa pantas cewek yang dipacarinya ini diuperlakukan sebagai boneka. Yang bisa dipeluk namun diabaikan."
"Boneka diabaikan saja tidak protes." Ucap Handai mencoba menghibur.
"Hahaha.... bisa saja melawaknya mas. Tapi iya juga sih, susah jelasinnya." Acuh gadis itu tanpa memerhatikan Handai.
Tak lama, telepon genggam gadis itu berdering. Ia langsung mengangkatnya dan pembicaraan itu dimulai. Awalnya terdengar seperti memohon. Suasana itu terdengar serius. Namun, suasana berubah tegang dan akhirnya terjadilah perang mulut.