Mohon tunggu...
Muhammad Reza Santirta
Muhammad Reza Santirta Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis adalah seni

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Obrolan dengan Gadis di Bus

16 Maret 2020   00:03 Diperbarui: 16 Maret 2020   01:27 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gadis di dalam bus

Seorang penumpang wanita langsung duduk di kursi samping Handai begitu bus berjalan. Ia merebahkan badannya dengan santai sambil menatap ke depan. Mata ia fokuskan pada telepon genggam.

Handai merasakan wangi parfum di dekitarnya. Wangi yang membuat hatinya berdebar dan berbunga. Namun, ia tidak pedulikan hal itu.

Umurnya terlihat muda sekitar 23-24 tahun. Kulitnya kecoklatan dan bibirnya terlihat merah. Badannya agak tinggi sekitar 170-an cm. Wanita itu tersenyum begitu Handai menatapnya.

Bus berjalan meninggalkan kota Solo. Kaca bus itu terlihat silau dengan cahayanya yang semburat terang. Langit jingga masih menyisakan silau.

Wanita itu terus menatap telepon genggamnya. Handai hanya menatapnya sekilas dan kembali menatap jendela. Beberapa kendaraan seperti mobil, bus, dan truk berjalan perlahan saat masuk kota Semarang.

Setelah memasuki tol, bus langsung melesat menembus jalanan. Alam yang jingga itu bertransformasi menuju malam. Membuat jalanan berasa syahdu.

Handai bergumam sendiri. Tidak tahu apakah ia mengagumi gadis di sampingnya. Matanya nanar ke depan. Ia merebahkan diri di kursi empuk dan lebar itu.

Ia menyelonjorkan kakinya ke depan di bawah lantai yang luas. Tak tahan melihat gadis itu begitu lehernya memutar ke kanan.

"Masnya turun di mana nanti?" Tanya gadis itu.

Handai merasakan sesuatu menelusup ke dalam hatinya. Suara itu terdengar renyah dan lembut. Ukuran suara seorang perempuan yang membuat respon alami laki-laki bangkit.

"Mau ke Cikarang mbak. Lha mbaknya mau kemana?" Jawab Handai memberanikan diri. Cukup berani untuk anak lelaki umur 17 tahunan.

"Sama mas, saja juga mau ke Cikarang. Nengok saudara tapi mau turun di Jakarta untuk magang di DPR." Balas gadis itu dengan santun.

Handai mengangguk saja. Ia kagum dengan caranya menggerakkan bibir atasnya yang anggun. Walaupun kulitnya coklat, namun terlihat manis seperti gula merah.

"Masnya ke Cikarang ada acara apa?" Ucap gadis itu.

"Saya mau jenguk saudara juga." Jawab Handai dengan santai.

Bus melesat dengan kecepatan tinggi. Kini, bus memasuki kota Batang.

"Masnya kuliah?" Tanya gadis itu datar.

"Wah tidak mbak. Saya masih SMA gini bukan kuliah hehe." Ucap Handai.

"Mau kuliah dimana nanti rencananya?" Tukas gadis itu.

"Rencananya sih di Jakarta ambil jurusan arsitek mbak sesuai cita-cita." Jawab Handai.

"Oh... emang cita-citamu apa mas?" Tanya gadis itu.

"Arsitek mbak. Saya penyuka seni."

Mengucap 'cita-cita' rasanya seperti kekanak-kanakan. Walaupun begitu, gadis itu tetap menanggapinya dengan santai tanpa ada tendensi tertandingi.

Bus melesat dengan cepat meninggalkan deretan rumah makan.

"Aku suka sekali ada teman ngobrol seperti mbak. Jadi pengalaman pertama." Ucap Handai ketika gadis itu merogoh sesuatu di bagasi atas. Spontanitas itu kembali terucap kedua kalinya.

Gadis itu kembali duduk dan memencet tombol power. Layar laptopnya langsung menyala dan menampilkan sebuah gambar. Setelah itu, ia memutar video sebuah serial kartun tentang kehidupan bawah laut.

"Terima kasih mas. Kalau diam saja rasanya dunia seperti ada yang kurang. Apalagi masnya tadi gumam sendiri. Makanya, aku ngomong aja biar ada teman gitu." Tukas gadis itu dengan senyum merekahnya.

Bus memasuki area hutan gelap yang minim penerangan. Ada rasa yang menelusup tanpa ia sadari, kenapa suasananya bisa menjadi ramai.

"Aku bukannya ngomong sendiri lho mbak. Tapi suka mikir saja dan syukur kalau ada yang mau ajak ngobrol. Bukannya aku gila lho. Hehe." Cengir Handai.

"Santai saja mas, aku biasa dekat dengan orang yang begituan. Kalau aku amati, orang seperti itu sangat butuh empati. Obrol aja biar suasananya tidak buntu." Jawabnya dengan suara yang terdengar renyah. Senyumnya terpampang.

"Terima kasih lho mbak."

"Hehehe....." Tawa renyahnya membelah kesunyian kabin. Ia langsung melanjutkan, "Ngobrol santai aja. Tak ada yang perlu ditakuti apalagi dihina hehe."

Bicaranya santai seperti gadis ibu kota. Pas seperti obrolan gadis yang ada di sinetron maupun film FTV.

"Aku suka sekali ada yang terus terang kalau ngomong. Aku cuma mikir, mau jalan sendirian apa tidak takut dijahati orang. Padahal, di rumah saja kita tidak luput. Malas kalau ditemani terus." Ucap Handai dengan lugu.

"Enggak apa-apa masih muda jalan sendiri. Aku saja sejak kecil sudah biasa begitu. Orang tua malah senang anaknya mandiri. Emang tujuan mas ke Cikarang apa?" Tanya gadis itu.

"Kalau itu sih, hanya ingin silaturahmi. Simpel saja buat anak SMA yang suka liburan. Cuma, katanya suka menghabiskan uang hanya untuk jalan-jalan." Gerutu Handai.

"Santai saja mas, mencapai tujuan butuh uang sebagai pengorbanan. Apalagi ke Cikarang atau manapun. Pasti tidak mungkin jalan kaki.... ya kan mas. Aku juga biasa jalan-jalan tanpa tujuan naik bus."

"Masalahnya aku dibilang suka jajan terus."

"Ya... kalau jalan terus tentu jadi masalah. Solusinya adalah harus hemat biar bisa ditabung. Sukses aja butuh pengorbanan juga mas, berupa pengorbanan hati. Iya tidak hehe...." Ucap gadis itu dengan tawa renyahnya.

Bus itu melesat meninggalkan daerah hutan.

Gadis itu kembali menatap layar laptopnya. Tanda kursor ia pencet ke tombol stop/next button pada video itu.

"Suka nonton kartun ya mbak?" Ucap Handai basa-basi.

"Iya mas, biasa buat mengurangi kadar kebosanan. Perjalanan itu melelahkan makanya nonton itu hiburanku selain bus eksekutif ini."

Handai ikut menonton kartun yang baru saja di-pause. Kedua penumpang itu terlihat seperti kakak-adik jika sudah berdekatan.

"Kalau nonton begini di bus kelas eksekutif lebih nyaman. Lebih nyaman menikmati hobi. Bisa juga mengurangi kadar kegalauan." Ucapan gadis yang terakhir itu memantik rasa penasaran Handai.

"Santai saja mbak, enggak usah dibawa pikiran."

Tiba-tiba wajahnya menjadi sayu saat bercerita tentang pacarnya. Lelaki yang ia maksud satu kampus dengannya di Solo. Setiap hari, ia sering berpapasan dengan pria itu. Saking sering bertemu, mereka akhirnya berpacaran.

"Sudah berapa lama pacarannya mbak?"

"Sudah lama sih. Lupa persisnya." Ucap gadis itu dan mulai bercerita. Namun, mukanya mulai terlihat kusut saat bercerita tentang keadaan pacarnya saat ini. Menurutnya, Ia sudah jarang komunikasi walau hanya menyapa di pagi hari apalagi mengajak jalan-jalan.

"Apa karena dekat dengan.... cewek lain begitu?" Tanya Handai pelan.

"Iya... aku kurang enak kalau cerita ini. Makanya aku tanya sama dia, kamu dekat dengan orang lain selain aku apa tidak. Tapi, dia tidak jawab. Maaf ya kalau aku mau kasar, apa pantas cewek yang dipacarinya ini diuperlakukan sebagai boneka. Yang bisa dipeluk namun diabaikan."

"Boneka diabaikan saja tidak protes." Ucap Handai mencoba menghibur.

"Hahaha.... bisa saja melawaknya mas. Tapi iya juga sih, susah jelasinnya." Acuh gadis itu tanpa memerhatikan Handai.

Tak lama, telepon genggam gadis itu berdering. Ia langsung mengangkatnya dan pembicaraan itu dimulai. Awalnya terdengar seperti memohon. Suasana itu terdengar serius. Namun, suasana berubah tegang dan akhirnya terjadilah perang mulut.

Gadis itu marah dengan seseorang di telepon. Kedengarannya, yang ditelepon adalah pacarnya karena ucapan bernada cemburu dari gadis itu. Suaranya yang samar masih bisa didengar.

Handai memalingkan muka ke jendela bus. Tiba-tiba, tampaklah mobil Ferrari F430 yang diangkut truk melesat meninggalkan bus yang ditumpanginya. Mobil itu mengalihkan dirinya dari konflik internal gadis itu.

Gadis itu langsung mematikan telepon genggam dengan kasar. Setelah itu, ia masukkannya ke dalam tas tangannya. Ia kembali menatap laptop dan menutup kepalanya dengan selimut.

Handai hanya menatapnya sekilas gadis itu. Ia tidak tahu siapa namanya apalagi nomor teleponnya. Tak lama, gadis itu tertidur.

Bus itu tiba di sebuah pool daerah Pasirgombong, Cikarang Utara jam 4.30 pagi. Beberapa penumpang langsung turun begitu juga dengan gadis itu. Handai yang lebih dulu terbangun hanya mendengar gadis itu berucap terima kasih.

Setelah itu pergi menuju mobil jemputan. Kepergian gadis itu menyisakan memori tentang keterbukaan dan kegalauannya. Namun ada satu yang belum terungkapkan, siapa nama gadis itu dan berapa nomor teleponnya.

Siapa tahu ia bisa menjadi teman obrolan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun