Pendidikan, di mata sebagian besar orang adalah sarana untuk mengubah manusia menjadi mesin yang lebih baik. Mesin yang lebih terampil, lebih pintar, dan lebih produktif.
Dalam banyak kasus, dunia pendidikan kini lebih fokus pada hasil yang terukur daripada proses yang memanusiakan.
Itulah mengapa kita sering kali kita mendengar ungkapan seperti "Anak-anak harus siap bersaing di pasar kerja global" atau "Sistem pendidikan harus menyiapkan mereka untuk dunia yang kompetitif."
Namun hal tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah kita benar-benar sedang menyiapkan manusia yang lebih manusiawi atau hanya mencetak robot dengan kemampuan teknis yang tinggi?
Di tengah hiruk-pikuknya reformasi pendidikan yang berfokus pada standar, ujian dan produktivitas, muncul sebuah pendekatan yang sudah mulai terdengar seperti angin segar di tengah kebisingan, yakni pendidikan humanis.
Pendidikan humanis ini mengingatkan kita pada sebuah pemikiran besar dari Paulo Freire, seorang pendidik dan filsuf Brasil yang menantang paradigma pendidikan tradisional.
Melalui pendekatan ini, Freire tidak hanya ingin menghasilkan individu yang cerdas secara intelektual, melainkan sadar secara sosial, kritis, dan memiliki rasa empati terhadap sesama.
Bayangkan saja, sebuah dunia dimana pendidikan bukan hanya tentang angka atau peringkat, tetapi tentang menjadi lebih manusiawi. Sungguh sangat revolusioner.
Kendati demikian, apakah pendidikan humanis ini masih relevan di zaman sekarang yang serba cepat dan terobsesi dengan algoritma? Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas lebih jauh terkait hal tersebut. Mari kita bahas bersama.
Berpikir Kritis atau Berpikir Algoritmik?
Dalam teori Paulo Freire, pendidikan bukanlah proses satu arah yang dimulai dari guru yang mengalirkan pengetahuan ke dalam kepala siswa. Sebaliknya, pendidikan yang humanis adalah dialog antara guru dan murid, dimana keduanya belajar dan berkembang bersama.
Di sinilah tempatnya keinginan untuk membentuk manusia yang bukan hanya pintar, tetapi juga bijaksana. Dalam hal ini, Freire menekankan pentingnya kesadaran kritis (conscientização) yang memungkinkan siswa untuk memahami dunia sosial mereka dengan cara yang lebih mendalam dan penuh empati.
Namun demikian, apakah kita masih bisa berharap pada pendidikan yang berbasis pada dialog dan refleksi kritis di tengah derasnya arus pendidikan yang lebih mengutamakan ujian dan evaluasi berbasis angka?
Di era sekarang, banyak sekolah yang lebih mengutamakan penguasaan kompetensi dan keterampilan teknis daripada pemahaman akan nilai-nilai kemanusiaan.
Bahkan, sering kali siswa lebih dihargai karena kemampuan mereka menjawab soal ujian dengan tepat daripada kemampuan mereka berpikir secara kritis tentang dunia yang mereka hadapi.
Mari kita ambil contoh sederhana. Ketika seorang siswa dihadapkan dengan soal ujian yang berkaitan dengan masalah sosial, apakah dia diajarkan untuk merenungkan dampak sosial dari masalah tersebut atau sekedar mencari jawaban yang paling tepat di kertas?
Hal lainnya, apakah ada ruang untuk pertanyaan kritis tentang ketidaksetaraan ekonomi, perubahan iklim, maupun masalah sosial lainnya dalam ujian yang mereka jalani? Atau justru yang lebih penting adalah “bisa mengerjakan soal dengan benar”?
Dalam konteks ini, kita bisa melihat bagaimana pendidikan terkadang lebih menekankan pada kemampuan teknis untuk menjawab soal daripada pemahaman yang mendalam tentang dunia di sekitar mereka.
Pengaruh Teknologi antara Pendidikan atau Algoritma?
Di era digital yang serba canggih ini, pendidikan tidak bisa lepas dari pengaruh teknologi. Kita berada di dunia yang penuh dengan gadget, aplikasi, dan sistem yang dirancang untuk memudahkan hidup kita.
Namun di balik kemudahan tersebut, muncul tantangan baru. Di satu sisi, teknologi memberikan banyak keuntungan. Dan sisi lain, teknologi juga membawa dampak besar pada cara kita mendidik generasi berikutnya.
Sistem pendidikan modern kini semakin terintegrasi dengan berbagai alat digital. Mulai dari platform pembelajaran online hingga aplikasi pengukur kemampuan siswa. Di sini, pendidikan lebih terasa seperti “produk” yang dikemas rapi dengan algoritma yang cerdas.
Tidak sedikit aplikasi pendidikan yang berfokus pada peningkatan skor dan prestasi siswa dalam waktu singkat. Tentu saja, ini membuat segalanya lebih terukur dan mudah dievaluasi. Tapi, apakah kita benar-benar mendidik manusia dengan cara yang lebih manusiawi?
Freire berpendapat bahwa pendidikan seharusnya bukanlah tempat untuk menghafal informasi atau menyelesaikan soal-soal dengan cepat. Sebaliknya, pendidikan harus menjadi ruang bagi siswa untuk bertanya, meragukan, dan membangun pemahaman mereka tentang dunia.
Dengan demikian, ketika kita menghadapi fenomena penggunaan teknologi dalam pendidikan, kita harus bertanya bahwa apakah kita hanya menghasilkan individu yang cerdas dalam menjawab soal ataukah kita juga menghasilkan individu yang peduli terhadap keadilan sosial, mampu berpikir kritis, dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan mereka?
Pendidikan yang Memanusiakan
Pendidikan yang humanis seperti yang digagas oleh Paulo Freire, mengajak kita untuk tidak hanya mengukur kesuksesan siswa berdasarkan angka-angka atau hasil ujian semata, tetapi lebih kepada kemampuan mereka untuk berempati, berpikir kritis, dan berinteraksi secara sosial.
Tentunya, pendidikan tidak dapat mengabaikan aspek-aspek keterampilan teknis. Namun dalam konteks pendidikan humanis, keterampilan ini tidaklah menjadi satu-satunya tujuan.
Tujuan yang lebih besar adalah menjadikan siswa sebagai individu yang tidak hanya pintar, tetapi juga bijaksana dalam menggunakan pengetahuan mereka untuk tujuan yang lebih mulia.
Pendidikan humanis mengajarkan kita bahwa pemahaman tentang dunia sosial, kesadaran akan ketidaksetaraan, dan kemampuan untuk mengajukan pertanyaan kritis jauh lebih penting daripada sekedar menghafal fakta atau mendapatkan nilai tinggi. Bukankah kita sering kali melupakan bahwa pendidikan adalah tentang membentuk karakter manusia yang utuh?
Jika tujuan pendidikan hanya untuk mencetak mesin-mesin produktif yang pandai berhitung dan memecahkan soal-soal ujian, kita akan kehilangan jantung dari apa yang seharusnya menjadi tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu untuk memanusiakan manusia.
Apa yang Bisa Kita Lakukan untuk Mewujudkan Pendidikan Humanis di Era Sekarang?
Untuk mewujudkan pendidikan yang lebih humanis di tengah dunia yang semakin mengarah pada standar dan angka-angka, ada beberapa langkah yang bisa kita ambil. Berikut langkah-langkahnya.
1. Pendidikan yang menumbuhkan rasa empati
Di tengah maraknya teknologi, kita tidak boleh lupa bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang bisa berpikir, merasakan, dan berperan aktif dalam masyarakat.
Oleh karena itu, kita harus memberikan ruang bagi siswa untuk berdiskusi, merenung, dan bertanya, bukan hanya sekedar menghafal atau mengikuti instruksi. Mendidik bukan hanya soal menguasai materi, tetapi juga soal mengenali dan memahami sesama.
2. Pendidikan yang menghargai perbedaan
Dunia sekarang penuh dengan keberagaman, dan pendidikan humanis mengajarkan kita untuk menghargai dan merayakan perbedaan.
Pendidikan bukanlah tempat untuk mengubah semua orang menjadi satu sosok yang seragam, melainkan untuk membantu siswa memahami dan menghargai keberagaman budaya, pandangan, dan pengalaman.
3. Pendidikan yang mengajak siswa untuk lebih peduli
Dunia saat ini penuh dengan tantangan sosial yang kompleks. Mulai dari kemiskinan, ketidaksetaraan, perubahan iklim, dan berbagai isu lainnya.
Pendidikan harus mampu mengajarkan siswa untuk melihat dunia bukan hanya dari kaca mata mereka sendiri, tetapi dari perspektif orang lain yang mungkin tidak seberuntung mereka. Ini adalah pendidikan yang mengajak siswa untuk peduli terhadap sesama dan bertindak untuk perubahan yang lebih baik.
Mencari Kembali Jiwa Pendidikan
Pendidikan humanis, sebagaimana yang digagas oleh Paulo Freire adalah tentang menjadikan pendidikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia, bukan hanya sebagai mesin penghasil angka atau kompetensi.
Dalam dunia yang serba cepat ini, kita perlu mempertimbangkan kembali apakah kita sedang mendidik manusia atau sekedar mencetak robot-robot pintar?
Jika tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan individu yang mampu berpikir kritis, peduli terhadap sesama, dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi, maka pendidikan humanis adalah jawabannya.
Di tengah dominasi teknologi dan standar yang semakin ketat, kita harus terus berusaha untuk menjadikan pendidikan sebagai ruang untuk pertumbuhan manusiawi, bukan hanya tempat untuk mengejar angka.
Pada akhirnya, pendidikan bukan soal nilai ujian yang akan mengukur sejauhmana kita berhasil mendidik, melainkan seberapa besar kita mampu menumbuhkan empati, kesadaran sosial, dan rasa tanggung jawab terhadap dunia di sekitar kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H